Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sadli

14 Januari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nono Anwar Makarim

  • Pendiri Yayasan Aksara

    Pada 1993, James Redfield, pengarang Amerika, menulis buku The Celestine Prophecy. Pada Mei 2005, sudah 20 juta kopi buku itu terjual di seluruh dunia, diterjemahkan dalam 34 bahasa. Esensi buku itu adalah bahwa di dunia ini tidak ada yang sekadar kebetulan. Semua kejadian pada diri kita, semua orang yang kita jumpai, sudah diatur sebelum kita lahir. Tugas kita adalah menemukan, dan belajar dari pesan yang dibawa peristiwa dan orangorang tersebut.

    Acara televisi Oprah Winfrey ditonton oleh 23 juta orang di 107 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat sendiri acaranya disaksikan oleh 49 juta orang. Oprah juga yakin bahwa di dunia tidak ada yang kebetulan. Pak Sadli meninggal pada umur 85 tahun pada 9 Januari 2008. Entah mengapa, selama lebih dari setengah abad jalan hidupnya berlintaslalu dalam kehidupan saya.

    Pada mulanya ada laporan masuk pada 1950an tentang seseorang di tepi kolam renang Cibulan yang tiada hentinya membaca buku. Sadli namanya. Rambut di atas kepalanya sudah jarang. Si pelapor, pengagum orang pintar, mengidentikkan baca dengan inteligensi, dan inteligensi diasosiasikannya dengan kepala botak. Tampaknya jarang rambutkepala sudah menjadi ciri Pak Sadli sejak 1950an. Belum berjumpa Pak Sadli, saya sudah diberi laporan tentang eksistensi seorang pembaca buku di tepi kolam renang. Sa­dli, pragmatis yang senantiasa merasa perlu terusmenerus belajar.

    Baru 15 tahun kemudian saya berjumpa Profesor Sadli di Jalan Tosari, rumah Emil Salim. Di situ berkumpul semua orang yang oleh majalah Ramparts disebut Berkeley Mafia. Dua orang mafiosi datang pakai sandal, Pak Sadli dan Ali Wardhana. Sampai sekarang saya tidak paham mengapa saya hadir di sana. Saya ambil kesempatan ngomong panjanglebar tentang bahaya birokrasi yang membelit negara bagaikan gurita. Rupanya ocehan saya terlalu panjang sehingga ditegur halus oleh Pak Sadli. Teguran halus Sadli kirakira dua oktaf di bawah bentakan sopranonya. Usia lanjut telah memperlembut ekspresi kejengkelannya kalau menghadapi orang yang kurang tahu diri.

    Beberapa tahun yang lalu saya dengar rumor bahwa Cosa Nostra Berkeley di bawah pimpinan Pak Widjojo sowan ke kantor seseorang yang baru saja diangkat dalam suatu jabatan penting. Mereka menawarkan bantuan, bila diperlukan. Gosip mewartakan bahwa yang ditawari bantuan kemudian memberikan ceramah kepada para senior selama dua jam. Gosip memang harus berlebihan. Mungkin ”ceramah”nya hanya berlangsung 30 menit. Tapi ”dua jam” terdengar lebih dramatis. Ketika suatu hari Pak Sadli menelepon, saya memutuskan untuk menanyakan langsung peristiwa yang digosipkan itu: ”Apa benar ketika menawarkan jasa, orang yang ditawari langsung kasih ceramah selama dua jam?” Telepon saya hening sejenak, lalu Pak Sadli berseru: ”Ah, nggak benar itu. Kami datang mau menawarkan bantuan, kalau butuh. Lalu dia bicara… terus kami pulang!”

    Humor adalah salah satu aspek kecerdasan. Berbeda dengan kesan saya ketika ia bercerita tentang si pejabat yang suka ceramah, menurut orang banyak Sadli orang yang ceplasceplos, tegas, tidak suka bicara samarsamar atau bermetafora. Dalam hal ini ia menahan diri. Kesimpulan saya, Pak Sadli sayang kepada si penceramah.

    Pada 1973, saya ditawari untuk ”nganggur” (begitu bunyi tawaran tersebut) setahun di suatu perguruan tinggi di luar negeri. Ketika itu saya bekerja dobel, sebagian di surat kabar, sebagian lagi di LSM. Kerja di surat kabar sangat meletihkan badan dan hati. Lagi pula temannya ituitu juga, sedangkan musuh bertambah terus. Saya putuskan untuk menerima undangan nganggur setahun itu. Periksa punya periksa, salah seorang pendahulu saya dalam pengangguran itu adalah Pak Sadli, yang ketika itu Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

    Saya minta konsultasi dengan beliau tentang lokasi perguruan tinggi tersebut. Konon kabarnya musim salju di situ, ambil waktu setengah tahun. Pak Sadli antusias. Daerah itu menyenangkan sekali, katanya. Sedemikian rupa meng­asyikkan sehingga kalau bisa ia ingin melakukan sentimental journey setiap tahun. Saya dengar dari sumber yang la­yak dipercaya bahwa sentimental journey tersebut intinya makan es krim Bailey’s di Harvard Square, dan bawa pulang 23 stoples teh lemon instan dari Star Market. Kesederhanaan gaya hidupnya terpancar dari semangkuk es krim dan segelas teh es lemon.

    Ada website kekirikirian yang mengkritik Sadli sebagai penjual Indonesia kepada pihak asing secara gratis. Yang dimaksudkan adalah pembebasan sementara pajak penghasil­an. Website tersebut menyatakan bahwa Pak Sadli bangga atas prestasi tersebut. Saya yakin penulis kritik itu belum pernah membaca UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang ditandatangani Presi­den Soekarno. Bebas pajak untuk jangka waktu paling lama lima tahun diberikan dengan catatan bahwa selama menikmati tax holiday tersebut perusahaan PMA tidak boleh merepatriasi keuntungan ke negeri asalnya.

    Si penanam modal asing didesak untuk berjoint venture dengan perusahaan Indonesia. Di situ juga ada pasalpasal yang paling dibenci oleh modal asing, yaitu pasal tentang kewajiban divestasi dalam jangka waktu tertentu serta pa­sal yang menutup sektorsektor vital dan menyangkut pertahanan terhadap modal asing. Kapitalis asing menganggap UndangUndang Penanaman Modal Asing tahun 1967 nasionalistis, terlalu banyak mengandung pembatasan, dan terlalu pelit. Pak Sadli, pengelola undangundang tersebut pada 19671973, bahkan menitip pesan ”rahasia” kepada Hayati Suroredjo, bos perseroan terbatas di Departemen Kehakiman, agar ”melindungi” partner Indonesia yang berjoint venture dengan pihak asing. Kepala BKPM 19671973 tidak berbicara tentang cintabangsa. Ia berbuat.

    Suatu hari saya dikejutkan rumor bahwa Sadli menolak melanjutkan duduk di jabatan menteri kabinet. Bayangkan, di masamasa orang menjilat penguasa agar diberi jabatan, ketika orang menyogok agar didudukkan dalam jabatan yang ”basah”, Sadli minta berhenti. Orang apa ini? Latar belakang budaya seperti apa yang memproduksi orang seperti ini? Saya langsung menghadap, langsung juga bertanya: ”Apa Pak Sadli bersikap begini sebagai pelambang protes?” Tipikal Sadlinya muncul dalam menjawab pertanyaan saya. Bebas dari minat terkesan sebagai pahlawan, Pak Sadli tertawa lebar. Katakatanya ketika itu: ”Nggak ada protesprotesan, orang modern sebaiknya ganti pekerjaan sebisa mungkin setiap lima tahun!” Integritas setinggi ini untuk pemuliaan diri semata, tidak untuk ditontonkan kepada orang banyak. Saya menduga saat itu Pak Sadli sudah sampai ke dataran tinggi, tidak menginginkan apaapa, tidak takut apaapa.

    Pada suatu waktu kami berjalan kaki di pagi hari sambil mengobrol tentang soalsoal penting dan soalsoal sepele. Kadang kala absen. Jika absen lebih dari 45 hari, saya mencari alasan untuk mengetahui mengapa. Lalu ia berta­nya apakah saya berminat untuk duduk di organisasi persahabatan IndonesiaAmerika. Saya tidak berminat. Pada kesempatan lain ia bertanya apakah saya bersedia menjadi penasihat hukum Kamar Dagang dan Industri. Saya menuruti keinginannya. Di situ saya untuk pertama kalinya menyaksikan Om Liem berpidato dalam bahasa yang mirip bahasa Indonesia.

    Saya meminta Pak Sadli duduk sebagai Ketua Dewan Penyantun Yayasan Aksara. Ia bersedia dan setia menghadiri diskusidiskusi tertutup Yayasan. Kemudian ia tidak berjalan kaki pagi lagi, tapi masih terus menulis. Saya dikirimi semua tulisannya. Semuanya diliputi akal sehat yang kekar. Lalu ia tidak menulis lagi. Bertemu di Financial Club, wajahnya tampak agak berubah, kelihatan capek. Fungsi ginjalnya terganggu. Kerapuhannya kentara. Mungkin kali itu saja.

    Ketika berita angin sampai pada saya bahwa ia jatuh sakit dan harus menjalani cuci darah, saya minta izin untuk bertemu. Kami ngobrol tentang ingatannya mengenai tahuntahun 1950an. Hanya satu kesannya tentang masa itu yang bisa saya tangkap: chaos. Berkalikali menulis biografi saya usulkan kepadanya. Setiap kali ia menolak. Saya pun tidak berhasil menemukan riwayat hidupnya di Google. Tapi, kembali pada James Redfield dan Oprah Winfrey, saya mengerti benar pesan yang ditinggalkan Pak Sadli dalam lintaslalunya yang bersinambung dalam kehidupan saya. Namun, mengerti tidak berarti sanggup melaksanakan. Sang Suhu terlalu besar untuk ditiru. Biarkan dia menjadi peta jalanan kehidupan saja. Supaya kita tahu mana yang salah dan mana yang benar.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus