BUKAN karena dapat mimpi atau bisikan gaib yang masuk
lubang kupingnya--sama sekali bukan--sahabat karib saya telah
mengambil kepastian bahwa satu-satunya pekerjaan yang cocok
baginya adalah menjadi anggota parlenen. Tidak lebih dan tidak
kurang dari itu.
Ini sudah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tak terbayangkan olehnya, misalnya, dia bisa hidup layak dan
terhormat sebagai tukang bakso, kusir dokar, makelar tanah,
bahkan bengkel vulkanisir sekalipun. Pokoknya anggota parlemen,
habis perkara. Seribu geledek boleh menghadang, tapi misi rohani
ini mesti jalan terus.
Dia punya alasan kuat mempertahankan pilihan ini, dan siap
adu argumen dengan siapa pun juga selama tiga hari tiga malam,
kecuali berhenti sebentar buat buang hajat besar. Berat badan
memenuhi syarat, gemuk tidak kurus pun tidak. Ilmu pengetahuan
aneka macam diketahuinya belaka walau serba sedikit.
Dia memusuhi spesialisasi seperti orang memusuhi penjahat
yang menghantam tempurung kakeknya hingga meninggal dunia. Dan
di atas semuanya itu dia mencintai rakyat sepenuh hati, kalau
perlu mengecup dahi mereka satu persatu walau memerlukan waktu
tidak kurang dari 100 tahun lamanya.
Kata orang, tangan mencencang bahu memikul. Segala sesuatu
itu ada risikonya, dan dia tentu saja siap menerima dengan dada
terbuka. Misalnya, setiap mendekati masa pemilu seluruh bagian
mukanya, kecuali gigi, bertumbuhan jerawat yang tcramat lebat
sehingga seekor semut pun tidak bisa lolos di sela-selanya. Pada
saat-saat itu penampilan fisiknya mengalami ,perubahan besar,
seakan-akan orang yang baru muncul dari comberan.
Tapi, apa arti jerawat diukur dengan tekadnya yang membaja?
Tetek-bengek. Yang terasa lebih mengganggu adalah perut terasa
kembung, kadang-kadang perih, tengkuk berat seperti ada ember
penuh air menindihnya, dada sesak, tulang belulang ngilu, susah
kencing, dubur gatal, tensi naik hingga langkahnya sempoyongan
seperti layaknya seorang astronot baru kehlar dari pesawat
antariksa, dan di atas segala-galanya adalah degup jantungnya
yang lebih keras dari biasa seakan alat vital itu berusaha
melompat dari tempat duduknya yang ini membuatnya tidak bisa
tidur sepanjang malam tak ubahnya seperti burung hantu di atas
ranting pohon durian.
Lazimnya risiko macam ini dari satu pemilu ke pemilu yang
lain dapat diatasinya tanpa kurang suatu apa. Sebagai orang yang
lebih menyukai hidup daripada jadi bangkai, dia sccara teratur
pergi ke dokter spesialis, bukan semata-mata atas dasar anggapan
dokter spesialis itu mampu menahannya terjungk ke liang lahat,
tapi tarif mahal yang mesti dibayarnya memrtebal rasa yakinnya.
Keyakinan - menurut hematnya--sudah separuh penyembuhan.
George Bernard Shaw orang Irlandia yang nyinyir itu boleh
berceloteh sesuka hati dalam dia punya drama The Doctor's
Dilemma, bahwa dokter itu tidak bisa digolongkan orang
berkarakter terpuji, bahwa dokter yang mau kesohor mesti
memotong kaki seperti dia potong wortel dan bukannya sckcdar
mengompres dengan handuk dingin, dan kalau dia mau lebih terpuji
lagi dia iris-iris isi perut orang seperti jagal babi.
Bernard Shaw boleh ketus sesuka hati, pokoknya dokter
spesialis dengan tarifnya yang tinggi berkaitan erat dengan
gengsi, khusus gengsi seorang yang ditakdirkan jadi anggota
parlemen hingga lembaga itu lenyap ditelan bumi.
Tapi, tiba-tiba terjadi keadaan yang mengerikan yang
menimpa sahabat karib saya itu. Begitu Ikatan Dokter Indonesia
berkongres dan memilih ketua barunya dr. Cholil, orang yang jadi
mandornya dokter-dokter seluruh Indonesia itu bikin seruan
supaya dokter-dokter spesialis jangan pasang tarif terlalu
tinggi karena perbuatan ini bisa bikin susah orang yang sudah
susah.
Tanpa disadari oleh Ketua IDI yang baru itu, seruannya
memhawa pengaruh fatal bagi sahabat saya. Karena tarif turun,
dia pun menganggap martabat dokter spesialis ikut turun
gairahnya berkurang dan kepercayaannya menyusut. Meski semakin
dekat pemilu jerawatnya berkembang biak sebesar kacang polong
dan sukar dihitung jari, meski kembung perutnya terasa setiap
saat mau meletus, perihnya tak tertanggungkan, tengkuknya bukan
lagi seperti ditindih seember penuh air melainkan sedrum besar
minyak solar, bernapas sudah merupakan barang yang amat luks,
meski tulang belulang seperti copot berantakan dari engselnya,
kencing sudah nyaris mustahil, langkahnya sudah tidak
karu-karuan seperti orang baru keluar dari bal, jantungnya
serasa sudah berpindah tempat ke bagian pinggang, dan
bermalam-malam tidak bisa tidur seperti ronda profesional,
sahabat karib saya ini tidak punya selera lagi mendatangi dokter
spesialis yang sudah menurunkan tarifnya.
Segala-galanya sudah tidak ada artinya lagi buatku, katanya
pada suatu hari. Dan persis seminggu kemudian dia meninggal
dunia dengan tenang tapi penasaran. Bukan saja sanak familinya
kehilangan, tapi juga demokrasi mengucurkan air mata hingga
titik yang penghabisan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini