Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sahabat Karib Yang Malang

Sahabatku yang berambisi menjadi anggota parlemen, besar keyakinannya setiap berobat ke dokter spesialis yang tarifnya mahal. tapi ia tiba-tiba meninggal begitu tarif dokter spesialis turun.

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN karena dapat mimpi atau bisikan gaib yang masuk lubang kupingnya--sama sekali bukan--sahabat karib saya telah mengambil kepastian bahwa satu-satunya pekerjaan yang cocok baginya adalah menjadi anggota parlenen. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu. Ini sudah harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tak terbayangkan olehnya, misalnya, dia bisa hidup layak dan terhormat sebagai tukang bakso, kusir dokar, makelar tanah, bahkan bengkel vulkanisir sekalipun. Pokoknya anggota parlemen, habis perkara. Seribu geledek boleh menghadang, tapi misi rohani ini mesti jalan terus. Dia punya alasan kuat mempertahankan pilihan ini, dan siap adu argumen dengan siapa pun juga selama tiga hari tiga malam, kecuali berhenti sebentar buat buang hajat besar. Berat badan memenuhi syarat, gemuk tidak kurus pun tidak. Ilmu pengetahuan aneka macam diketahuinya belaka walau serba sedikit. Dia memusuhi spesialisasi seperti orang memusuhi penjahat yang menghantam tempurung kakeknya hingga meninggal dunia. Dan di atas semuanya itu dia mencintai rakyat sepenuh hati, kalau perlu mengecup dahi mereka satu persatu walau memerlukan waktu tidak kurang dari 100 tahun lamanya. Kata orang, tangan mencencang bahu memikul. Segala sesuatu itu ada risikonya, dan dia tentu saja siap menerima dengan dada terbuka. Misalnya, setiap mendekati masa pemilu seluruh bagian mukanya, kecuali gigi, bertumbuhan jerawat yang tcramat lebat sehingga seekor semut pun tidak bisa lolos di sela-selanya. Pada saat-saat itu penampilan fisiknya mengalami ,perubahan besar, seakan-akan orang yang baru muncul dari comberan. Tapi, apa arti jerawat diukur dengan tekadnya yang membaja? Tetek-bengek. Yang terasa lebih mengganggu adalah perut terasa kembung, kadang-kadang perih, tengkuk berat seperti ada ember penuh air menindihnya, dada sesak, tulang belulang ngilu, susah kencing, dubur gatal, tensi naik hingga langkahnya sempoyongan seperti layaknya seorang astronot baru kehlar dari pesawat antariksa, dan di atas segala-galanya adalah degup jantungnya yang lebih keras dari biasa seakan alat vital itu berusaha melompat dari tempat duduknya yang ini membuatnya tidak bisa tidur sepanjang malam tak ubahnya seperti burung hantu di atas ranting pohon durian. Lazimnya risiko macam ini dari satu pemilu ke pemilu yang lain dapat diatasinya tanpa kurang suatu apa. Sebagai orang yang lebih menyukai hidup daripada jadi bangkai, dia sccara teratur pergi ke dokter spesialis, bukan semata-mata atas dasar anggapan dokter spesialis itu mampu menahannya terjungk ke liang lahat, tapi tarif mahal yang mesti dibayarnya memrtebal rasa yakinnya. Keyakinan - menurut hematnya--sudah separuh penyembuhan. George Bernard Shaw orang Irlandia yang nyinyir itu boleh berceloteh sesuka hati dalam dia punya drama The Doctor's Dilemma, bahwa dokter itu tidak bisa digolongkan orang berkarakter terpuji, bahwa dokter yang mau kesohor mesti memotong kaki seperti dia potong wortel dan bukannya sckcdar mengompres dengan handuk dingin, dan kalau dia mau lebih terpuji lagi dia iris-iris isi perut orang seperti jagal babi. Bernard Shaw boleh ketus sesuka hati, pokoknya dokter spesialis dengan tarifnya yang tinggi berkaitan erat dengan gengsi, khusus gengsi seorang yang ditakdirkan jadi anggota parlemen hingga lembaga itu lenyap ditelan bumi. Tapi, tiba-tiba terjadi keadaan yang mengerikan yang menimpa sahabat karib saya itu. Begitu Ikatan Dokter Indonesia berkongres dan memilih ketua barunya dr. Cholil, orang yang jadi mandornya dokter-dokter seluruh Indonesia itu bikin seruan supaya dokter-dokter spesialis jangan pasang tarif terlalu tinggi karena perbuatan ini bisa bikin susah orang yang sudah susah. Tanpa disadari oleh Ketua IDI yang baru itu, seruannya memhawa pengaruh fatal bagi sahabat saya. Karena tarif turun, dia pun menganggap martabat dokter spesialis ikut turun gairahnya berkurang dan kepercayaannya menyusut. Meski semakin dekat pemilu jerawatnya berkembang biak sebesar kacang polong dan sukar dihitung jari, meski kembung perutnya terasa setiap saat mau meletus, perihnya tak tertanggungkan, tengkuknya bukan lagi seperti ditindih seember penuh air melainkan sedrum besar minyak solar, bernapas sudah merupakan barang yang amat luks, meski tulang belulang seperti copot berantakan dari engselnya, kencing sudah nyaris mustahil, langkahnya sudah tidak karu-karuan seperti orang baru keluar dari bal, jantungnya serasa sudah berpindah tempat ke bagian pinggang, dan bermalam-malam tidak bisa tidur seperti ronda profesional, sahabat karib saya ini tidak punya selera lagi mendatangi dokter spesialis yang sudah menurunkan tarifnya. Segala-galanya sudah tidak ada artinya lagi buatku, katanya pada suatu hari. Dan persis seminggu kemudian dia meninggal dunia dengan tenang tapi penasaran. Bukan saja sanak familinya kehilangan, tapi juga demokrasi mengucurkan air mata hingga titik yang penghabisan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus