Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari Tiga Kota

Penelitian masalah integrasi keturunan Cina ke dalam masyarakat indonesia, dilakukan di pontianak, semarang dan sukabumi.(nas)

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH faktor agama dan kepercayaan turut mendorong warga keturunan Cina untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tadi, pada awal 1978 Departemen P & K bekerjasama dengan Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional (Leknas-LlPI) telah melakukan suatu penelitian. Penelitian tersebut dilakukan di tiga kota: Pontianak (sebagai kota pelabuhan besar di luar Jawa yang memiliki perbandingan jumlah penduduk keturunan Cina dengan pribumi 1:4), Semarang (pemusatan golongan Cina terbesar di Ja-Teng: 180 ribu dari jumlah penduduk kota 900 ribu) dan Sukabumi (kota pedalaman yang pernah mengalami kerusuhan anti-Cina). Para responden berdiri terdiri dari kalangan "pri" ataupun "nonpri" yang diminta mengisi daftar kuestioner atau diwawancarai secara mendalam. Hasil analisa kualitatif penelitian itu menunjukkan adanya kecenderungan integrasi antara golongan "nonpri" dan "pri". Itu tampak pada beberapa gejala, antara lain: pemakaian bahasa Indonesia dan daerah yang makin meluas dalam komunikasi sehari-hari. Pada umumnya generasi muda Cina banyak yang tidak dapat membaca, menulis an berbicara bahasa Cina. Perkawinan antar golongan juga seakin sering terjadi, malah sekarang tidak lagi hanya searah (pria Cina mengawini wanita pribumi). Selain itu, terlihat adanya penerimaan adat-istiadat, kebiasaan dan kesenian pribumi yang makin meluas oleh golongan Cina, terutama generasi mudanya. Di bidang agama, makin banyak goIongan Cina yang beralih ke agama seperti yang dipeluk golongan mayoritas pribumi: Islam, Kristen dan Katolik. Ini mengurangi, bahkan memutuskan orientasi mereka terhadap negeri leluhur (Tiongkok) dan pindah pada kultur Indonesia. Penelitian itu juga mengungkapkan, dalam kalangan Cina batas-batas kesukuan menjadi kabur. Mereka tidak lagi terlalu fanatik dengan lapangan-lapangan pekerjaan dan beberapa adat kebiasaan yang menjadi simbol suku maslng-masing. Hasil penelitian yang menarik adalah mengenai perbedaan pandangan antara kalangan Cina dan pribumi. Golongan Cina melihat, pemerintah dan masyarakat pribur4i mempunyai prasangka terhadap mereka. Misalnya kurang percaya bahwa golongan Cina sungguh-sungguh inlgin berintegrasi dan berpartisipasi dalam pembangunan. Golongan Cina juga menganggap mereka selalu diperlakukan diskriminatif, hampir di semua bidang. Misalnya tetap diperlakukan sebagai golongan asing meskipun sudah WNI. Mereka merasa banyak "dipakai" daripada dibina dan dihargai. Sebaliknya kesalahan dan kecurangan yang dibuat golongan Cina selalu ditonjol-tonjolkan. Akibatnya, golongan Cina merasa "takut" berinisiatif dan aktif dalam usaha-usaha pembangunan dan perbaikan lingkungan bersama karena takutdicurigai pasti ada apa-apanya. Sebaliknya kalangan pribumi juga mempunyal pandangan tertentu pada golongan Cina. Hal pertama yang dilihat adalah adanya ajaran (agama dan kepercayaan) yang sangat berbeda dengan masyarakat pribumi. Mereka melihat golongan Cina selalu berorientasi pada negeri leluhur, dan selalu mengarahkan pikiran, perasaan dan perbuatannya untuk negeri leluhur ini. Masyarakat pribumi juga melihat, golongan Cina merasa lebih super dan menilai golongan pribumi rendah, malas dan sukar dipercaya. Golongan Cina juga dianggap menguasai sektor perekonomian. Golongan pribumi beranggapan, sejak zaman penjajahan Belanda sampai setelah kemerdekaan, golongan Cina merupakan "alat" yang baik untuk mengeksploitasi kekayaan Indonesia sambil memperkaya diri. Pada zaman sekarang mereka merupakan golongan yang pandai "menggunakan' pejabat untuk kepentingan sendiri. Golongan Cina juga dianggap pasif untuk diajak dalam usaha pembangunan. Mereka lebih suka mengupah atau membayar dengan uang daripada berpartisipasi secara langsung. Negeri Leluhur Hasil analisa kuantiratif penelitian antara lain menunjukkan tinggi rendahnya integrasi sosial tidak dapat diramalkan dari dasar agama karena ternyata korelasi antara keduanya negatif dan rendah. Di antara ketiga kota yang diteliti, ternyata golongan Cina di Semarang yang paling berintegrasi dengan pribumi setempat. Bertolak dari hasil yang diperoleh penelitian tersebut, bisa disusun beberapa penafsiran. Antara lain: agama dan kepercayaan yang berbeda menyebabkan orientasi kultural yang berbeda. Karena itu terlihat kecenderungan golongan Cina pada daerah penelitian masih berorientasi pada negeri leluhur, namun tingkat integrasi ditentukan oleh kehidupan keagamaan dan kepercayaan di kalangan pribumi. Orientasi kultural golongan Cina ditentukan antara lain oleh tempat tinggal, lapangan kerja dan pendidikan. Makin berkelompok mereka secara tradisional, makin kuat mereka berorientasi pada tali kultur leluhur. Sifat serupa ini juga terdapat padagolongan asing lain, namun Cina merupakan etnis asing yang besar jumlahnya serta peran mereka yang kuat di bidang ekonomi hingga timbul masalah. Dalam sejarah hubungan pribumi Indonesia dan Cina, ketegangan (krisis) ekonomi berpengaruh terhadap berbagai masalah integrasi sosial berupa ketegangan atau konflik-konflik sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus