APAKAH faktor agama dan kepercayaan turut mendorong warga
keturunan Cina untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan tadi, pada awal 1978 Departemen P & K
bekerjasama dengan Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional
(Leknas-LlPI) telah melakukan suatu penelitian.
Penelitian tersebut dilakukan di tiga kota: Pontianak
(sebagai kota pelabuhan besar di luar Jawa yang memiliki
perbandingan jumlah penduduk keturunan Cina dengan pribumi 1:4),
Semarang (pemusatan golongan Cina terbesar di Ja-Teng: 180 ribu
dari jumlah penduduk kota 900 ribu) dan Sukabumi (kota pedalaman
yang pernah mengalami kerusuhan anti-Cina). Para responden
berdiri terdiri dari kalangan "pri" ataupun "nonpri" yang
diminta mengisi daftar kuestioner atau diwawancarai secara
mendalam.
Hasil analisa kualitatif penelitian itu menunjukkan adanya
kecenderungan integrasi antara golongan "nonpri" dan "pri". Itu
tampak pada beberapa gejala, antara lain: pemakaian bahasa
Indonesia dan daerah yang makin meluas dalam komunikasi
sehari-hari. Pada umumnya generasi muda Cina banyak yang tidak
dapat membaca, menulis an berbicara bahasa Cina.
Perkawinan antar golongan juga seakin sering terjadi, malah
sekarang tidak lagi hanya searah (pria Cina mengawini wanita
pribumi). Selain itu, terlihat adanya penerimaan adat-istiadat,
kebiasaan dan kesenian pribumi yang makin meluas oleh golongan
Cina, terutama generasi mudanya.
Di bidang agama, makin banyak goIongan Cina yang beralih ke
agama seperti yang dipeluk golongan mayoritas pribumi: Islam,
Kristen dan Katolik. Ini mengurangi, bahkan memutuskan orientasi
mereka terhadap negeri leluhur (Tiongkok) dan pindah pada kultur
Indonesia.
Penelitian itu juga mengungkapkan, dalam kalangan Cina
batas-batas kesukuan menjadi kabur. Mereka tidak lagi terlalu
fanatik dengan lapangan-lapangan pekerjaan dan beberapa adat
kebiasaan yang menjadi simbol suku maslng-masing.
Hasil penelitian yang menarik adalah mengenai perbedaan
pandangan antara kalangan Cina dan pribumi. Golongan Cina
melihat, pemerintah dan masyarakat pribur4i mempunyai prasangka
terhadap mereka. Misalnya kurang percaya bahwa golongan Cina
sungguh-sungguh inlgin berintegrasi dan berpartisipasi dalam
pembangunan.
Golongan Cina juga menganggap mereka selalu diperlakukan
diskriminatif, hampir di semua bidang. Misalnya tetap
diperlakukan sebagai golongan asing meskipun sudah WNI. Mereka
merasa banyak "dipakai" daripada dibina dan dihargai. Sebaliknya
kesalahan dan kecurangan yang dibuat golongan Cina selalu
ditonjol-tonjolkan.
Akibatnya, golongan Cina merasa "takut" berinisiatif dan
aktif dalam usaha-usaha pembangunan dan perbaikan lingkungan
bersama karena takutdicurigai pasti ada apa-apanya.
Sebaliknya kalangan pribumi juga mempunyal pandangan
tertentu pada golongan Cina. Hal pertama yang dilihat adalah
adanya ajaran (agama dan kepercayaan) yang sangat berbeda dengan
masyarakat pribumi. Mereka melihat golongan Cina selalu
berorientasi pada negeri leluhur, dan selalu mengarahkan
pikiran, perasaan dan perbuatannya untuk negeri leluhur ini.
Masyarakat pribumi juga melihat, golongan Cina merasa lebih
super dan menilai golongan pribumi rendah, malas dan sukar
dipercaya. Golongan Cina juga dianggap menguasai sektor
perekonomian. Golongan pribumi beranggapan, sejak zaman
penjajahan Belanda sampai setelah kemerdekaan, golongan Cina
merupakan "alat" yang baik untuk mengeksploitasi kekayaan
Indonesia sambil memperkaya diri. Pada zaman sekarang mereka
merupakan golongan yang pandai "menggunakan' pejabat untuk
kepentingan sendiri.
Golongan Cina juga dianggap pasif untuk diajak dalam usaha
pembangunan. Mereka lebih suka mengupah atau membayar dengan
uang daripada berpartisipasi secara langsung.
Negeri Leluhur
Hasil analisa kuantiratif penelitian antara lain
menunjukkan tinggi rendahnya integrasi sosial tidak dapat
diramalkan dari dasar agama karena ternyata korelasi antara
keduanya negatif dan rendah. Di antara ketiga kota yang
diteliti, ternyata golongan Cina di Semarang yang paling
berintegrasi dengan pribumi setempat.
Bertolak dari hasil yang diperoleh penelitian tersebut,
bisa disusun beberapa penafsiran. Antara lain: agama dan
kepercayaan yang berbeda menyebabkan orientasi kultural yang
berbeda. Karena itu terlihat kecenderungan golongan Cina pada
daerah penelitian masih berorientasi pada negeri leluhur, namun
tingkat integrasi ditentukan oleh kehidupan keagamaan dan
kepercayaan di kalangan pribumi.
Orientasi kultural golongan Cina ditentukan antara lain
oleh tempat tinggal, lapangan kerja dan pendidikan. Makin
berkelompok mereka secara tradisional, makin kuat mereka
berorientasi pada tali kultur leluhur. Sifat serupa ini juga
terdapat padagolongan asing lain, namun Cina merupakan etnis
asing yang besar jumlahnya serta peran mereka yang kuat di
bidang ekonomi hingga timbul masalah. Dalam sejarah hubungan
pribumi Indonesia dan Cina, ketegangan (krisis) ekonomi
berpengaruh terhadap berbagai masalah integrasi sosial berupa
ketegangan atau konflik-konflik sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini