PANGKOPKAMTIB Sudomo kembali berbicara tentang peristiwa
Jawa Tengah. Pekan lalu pada pers Sudomo menjclaskan tentang
cara penyelesaian mereka yang terlibat kerusuhan anti-Cina di
Ja-Teng bulan lalu. Tanpa mengungkapkan berapa jumlah yang
ditahan, Sudomo mengatakan ada 2 cara penyelesaiannya:
dilepaskan dengan jaminan atau diselesaikan melalui penga Jilan
yang sedang dipersiapkan.
Menurut Sudomo, mereka yang dilepaskan harus disertai
jaminan tertulis dari pondok pesantrennya bahwa kejadian itu tak
akan terulang lagi di masa mendatang. Pangkopkamtib juga tidak
menjelaskan, pesantren mana yang dimaksudnya Hanya dikatakannya,
ada pondok pesantren yang langsung memecat anak didiknya yang
terlibat.
Pelit
Buat masyarakat, apa yang disebut Sudomo sebagai "Peristiwa
Jawa Tengah" memang masih gelap. Yang juga terus dipersoalkan
adalah: mengapa aksi anti-Cina itu begitu gampang diledakkan,
dan menyebar dengan cepat? Apa dan bagaimana usaha untuk
mencegahnya agar kejadian seperti itu tak terulang lagi?
Masalah Cina di Indonesia bukan masalah baru. Sejarah
Indonesia banyak di lumuri berbagai insiden rasial anti-Cina
bahkan beberapa kali terjadi sebelum kemerdekaan. Sentimen
anti-Cina agaknya merupakan bagian dari sentimen pribumi terhadap
golongan yang dipandang asing (di Sala pada 1971 pernah terjadi
kerusuhan anti-Arab). Lebih seringnya sentimen anti-Cina
meledak tampaknya terutama disebabkan jumlahnya yang memang
banyak serta latar belakang budaya--khususnya agama--yang
berbeda dengan masyarakat pribumi.
Stereotip Negatif
Jumlah warga keturunan Cina yang hidup di Indonesia. saat
ini diperkirakan sekitar 3 juta orang--atau sekitar 2% dari
penduduk Indonesia. Mereka terdiri dari para imigran yang datang
dari daratan Cina serta keturunannya yang lahir di Indonesia.
Dalam proses sejarah ratusan tahun, sebetulnya telah terjadi
percampuran darah, hingga sulit untuk menentukan siapakah yang
betul-betul bisa disebut Cina 100% menurut kriteria ras yang
biasa.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka bergaul secara luas dan
intensif dengan warga pribumi. Namun secara keseluruhan belum
terlihat adanya integrasi kebudayaan yan mendalam. Walau
pergaulan sehari-hari antara warga "pri" dan "nonpri" cukup
erat, ternyata itu belum mengubah kesan masing-masing kelompok
terhadap yang lain.
Kesimpulan itu bisa dilihat dari hasil penelitian Suwarsih
Warnaen yang dituangkan dalam disertasinya untuk memperoleh
gelar doktor dalam llmu Psikologi di UI tahun lalu Stereotip
Etnik Dalam Suatu Bangsa Multietnik. Subyek studiya yang dimulai
1972 itu adalah 1.291 siswa SMA kelas III yang berumur antara
16-20 tahun. Salah satu golongan yang ditelitinya, di samping
suku bangsa yang ada di Indonesia, adalah golongan Cina.
Hasil penelitian itu mengungkapkan adanya stereotip
negatif: orang Indonesia pribumi umumnya menilai "orang Cina"
sebagai licik, pelit, curiga dan mempunyai ikatan keluarga yang
kuat. "Ikatan keluarga vang kuat," ujar Suwarsih, "dapat
mengakibatkan eksklusivisme." Stereotip ini kemudian didukung
oleh kenyataan skandal atau manipulasi ekonomi yang dilakukan
oknum Cina, misalnya Robby Cahyadi dan Ny. Kartika.
Solidaritas
Golongan Cina memang menilai orang pribumi ramah dan sopan,
tapi tidak menganggap mereka jujur. Hanya dua etnik yang dinilai
jujur: "orang Sunda" dan Jawa. Akan tetapi, golongan Cina
sendiri menilai diri mereka humoristis, sopan, penuh perasaan,
bisa dipercaya, jujur, periang dan senang menerima tamu. "Mereka
juga mengakui mereka senang berkelompok," kata Suwarsih dalam
suatu wawancara.
Patutkah menuding salah satu pihak sebagai pihak yang
bersalah karena adanya stereotip seperti itu? Bagaimana
sebaiknya usaha mendekatkan pandangan yang tampaknya begitu
dalam tertanam di masing-masing kelompok? Selama stereotip
seperti itu masih kuat--yang menyedihkan itu terdapat juga di
kal,angan generasi muda, seperti terungkap dari penelitian
Suwarsih, selama itu pula sentimen anti-Cina akan gampang
disulut.
Insiden anti-Cina yang terjadi umumnya terbagi dalam dua
tingkatan. Tingkat pertama berupa aksi spontan sekelompok massa,
umumnya merupakan aksi solidaritas kelompok pribumi atas suatu
insiden dengan warga "nonpri". Tahap kedua berupa pengembangan
dan pemanfaatan aksi tingkat pertama tadi.
Menghadapi persoalan yang berakar sejarah abad yang lalu
ini, beberapa konsep pernah diajukan dan dijalankan: pembauran,
penggantian nama, dikeluarkannya berbagai peraturan untuk
memperkuat kedudukan ekonomi golongan pribumi serta
penyederhanaan prosedur memperoleh kewarganegaraan RI Toh
semuanya belum cukup.
Barangkali karena ini perkara memang memerlukan waktu
panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini