Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

"Pri" & "Nonpri" Perlu Waktu

Dengan adanya stereotif negatif/ketidakpahaman antara pribumi dengan non pribumi, maka sentimen anti Cina akan gampang disulut. Beberapa insiden rasial anti Cina. (nas)

27 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGKOPKAMTIB Sudomo kembali berbicara tentang peristiwa Jawa Tengah. Pekan lalu pada pers Sudomo menjclaskan tentang cara penyelesaian mereka yang terlibat kerusuhan anti-Cina di Ja-Teng bulan lalu. Tanpa mengungkapkan berapa jumlah yang ditahan, Sudomo mengatakan ada 2 cara penyelesaiannya: dilepaskan dengan jaminan atau diselesaikan melalui penga Jilan yang sedang dipersiapkan. Menurut Sudomo, mereka yang dilepaskan harus disertai jaminan tertulis dari pondok pesantrennya bahwa kejadian itu tak akan terulang lagi di masa mendatang. Pangkopkamtib juga tidak menjelaskan, pesantren mana yang dimaksudnya Hanya dikatakannya, ada pondok pesantren yang langsung memecat anak didiknya yang terlibat. Pelit Buat masyarakat, apa yang disebut Sudomo sebagai "Peristiwa Jawa Tengah" memang masih gelap. Yang juga terus dipersoalkan adalah: mengapa aksi anti-Cina itu begitu gampang diledakkan, dan menyebar dengan cepat? Apa dan bagaimana usaha untuk mencegahnya agar kejadian seperti itu tak terulang lagi? Masalah Cina di Indonesia bukan masalah baru. Sejarah Indonesia banyak di lumuri berbagai insiden rasial anti-Cina bahkan beberapa kali terjadi sebelum kemerdekaan. Sentimen anti-Cina agaknya merupakan bagian dari sentimen pribumi terhadap golongan yang dipandang asing (di Sala pada 1971 pernah terjadi kerusuhan anti-Arab). Lebih seringnya sentimen anti-Cina meledak tampaknya terutama disebabkan jumlahnya yang memang banyak serta latar belakang budaya--khususnya agama--yang berbeda dengan masyarakat pribumi. Stereotip Negatif Jumlah warga keturunan Cina yang hidup di Indonesia. saat ini diperkirakan sekitar 3 juta orang--atau sekitar 2% dari penduduk Indonesia. Mereka terdiri dari para imigran yang datang dari daratan Cina serta keturunannya yang lahir di Indonesia. Dalam proses sejarah ratusan tahun, sebetulnya telah terjadi percampuran darah, hingga sulit untuk menentukan siapakah yang betul-betul bisa disebut Cina 100% menurut kriteria ras yang biasa. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bergaul secara luas dan intensif dengan warga pribumi. Namun secara keseluruhan belum terlihat adanya integrasi kebudayaan yan mendalam. Walau pergaulan sehari-hari antara warga "pri" dan "nonpri" cukup erat, ternyata itu belum mengubah kesan masing-masing kelompok terhadap yang lain. Kesimpulan itu bisa dilihat dari hasil penelitian Suwarsih Warnaen yang dituangkan dalam disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam llmu Psikologi di UI tahun lalu Stereotip Etnik Dalam Suatu Bangsa Multietnik. Subyek studiya yang dimulai 1972 itu adalah 1.291 siswa SMA kelas III yang berumur antara 16-20 tahun. Salah satu golongan yang ditelitinya, di samping suku bangsa yang ada di Indonesia, adalah golongan Cina. Hasil penelitian itu mengungkapkan adanya stereotip negatif: orang Indonesia pribumi umumnya menilai "orang Cina" sebagai licik, pelit, curiga dan mempunyai ikatan keluarga yang kuat. "Ikatan keluarga vang kuat," ujar Suwarsih, "dapat mengakibatkan eksklusivisme." Stereotip ini kemudian didukung oleh kenyataan skandal atau manipulasi ekonomi yang dilakukan oknum Cina, misalnya Robby Cahyadi dan Ny. Kartika. Solidaritas Golongan Cina memang menilai orang pribumi ramah dan sopan, tapi tidak menganggap mereka jujur. Hanya dua etnik yang dinilai jujur: "orang Sunda" dan Jawa. Akan tetapi, golongan Cina sendiri menilai diri mereka humoristis, sopan, penuh perasaan, bisa dipercaya, jujur, periang dan senang menerima tamu. "Mereka juga mengakui mereka senang berkelompok," kata Suwarsih dalam suatu wawancara. Patutkah menuding salah satu pihak sebagai pihak yang bersalah karena adanya stereotip seperti itu? Bagaimana sebaiknya usaha mendekatkan pandangan yang tampaknya begitu dalam tertanam di masing-masing kelompok? Selama stereotip seperti itu masih kuat--yang menyedihkan itu terdapat juga di kal,angan generasi muda, seperti terungkap dari penelitian Suwarsih, selama itu pula sentimen anti-Cina akan gampang disulut. Insiden anti-Cina yang terjadi umumnya terbagi dalam dua tingkatan. Tingkat pertama berupa aksi spontan sekelompok massa, umumnya merupakan aksi solidaritas kelompok pribumi atas suatu insiden dengan warga "nonpri". Tahap kedua berupa pengembangan dan pemanfaatan aksi tingkat pertama tadi. Menghadapi persoalan yang berakar sejarah abad yang lalu ini, beberapa konsep pernah diajukan dan dijalankan: pembauran, penggantian nama, dikeluarkannya berbagai peraturan untuk memperkuat kedudukan ekonomi golongan pribumi serta penyederhanaan prosedur memperoleh kewarganegaraan RI Toh semuanya belum cukup. Barangkali karena ini perkara memang memerlukan waktu panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus