EMPAT potong kue misterius tiba-tiba bermunculan di seluruh India suatu pagi pada bulan Maret 1857. Penguasa Inggis berdebar. Apa gerangan artinya? Siapa yang menyebarkan? Tak seorangpun tahu pasti, isyarat apa yang tersirat pada empat potong kue chupatty itu. Yang jelas, ada semacam gerakan rahasia untuk membuat dan menyebarkan juadah itu empat-empat, dari tangan ke tangan. Begitu mengesankan aksi kue berantai itu: diperkirakan, ribuan chupatty bergerak di seantero provinsi timur laut dalam tempo 24 jam. Seorang India yang arif kemudian menebak. Ayahnva, katanya, pernah bercerita tentang sebuah nubuat: kelak akan datang pertanda, berupa, setangkai padi dan sepotong roti, yang diedarkan dari dusun ke dusun. Itu berarti, suatu huru-hara besar akan terjadi. Udara India memang tengah pengap dan panas. Ketidakpuasan dan desas-desus berkecamuk. Konon, ada kembang teratai yang disebarkan dari tempat ke tempat - dan ini berlangsung dalam resimen sipahi, kesatuan orang pribumi yang berdinas sebagai tentara kolonial. Konon, ada suatu semboyan yang menjalar dari mulut ke mulut, "Semua akan jadi merah" Sub lal hogea hai. Pendeknya, api mengeluarkan asap yang pedas dari balik sekam. Tapi api iu kemudian memang menjilat ke luar, dan ledakannya menggelegar. Suatu pemberontakan terjadi - yang disebut sebagai "pemberontakan sipahi". Dalam kenyataannya yang angkat senjata terhadap penguasa Inggris tak cuma pasukan pribumi itu. Sejumlah raja dibeberapa bagian India juga melawan, menempuh suatu pergolakan yang singkat, tapi penuh darah, kegetiran, kekejaman. Yang terkenal adalah Nana Sahib, maharaja Bithur dengan dendam yang dalam kepada Inggris. Di Cawnpore, sebuah kota di tepi barat Sungai Gangga, ia dan pasukannya berhasil mengepung 1.000 orang Inggris sampai menyerah. Orang kulit putih yang hampir separuhnya wanita dan anak-anak itu kemudian diizinkan pergi melalui sungai untuk dijebak. Mereka diserbu dan ditembaki sebelum kapal berangkat. Sisanya disandera. Ketika kemudian pasukan bantuan Inggris tiba, para sandera itu - nyonya-nyonya dan sinyo-sinyo - pun dihabisi dengan pisau sembelih, sekaligus. India dan kekuasaan Inggris bergetar hebat setelah itu. Para sejarawan bertahun kemudian bertanya: Apa yang sebenarnya terjadi ? Suatu perang pembebasan yang mendahului abad ke-20? Suatu revolusi sosial - yang biasanya memang keras dan buas? Ada yang bilang ya, ada yang bilang tidak. Christopher Hibbet, yang menuliskan episode itu dengan sangat hidup dalam The Great Mutiny, bilang tidak. Seperti banyak orang Inggris, ia melihat "pemberontakan sipahi" justru "suatu nyanyian angsa dari India Lama" - teriakan serak yang pedih sebelum ajal datang. Sebab, di satu pihak berdiri bangsa Inggris. Mereka datang dengan semangat pembaharuan. Di lain pihak orang-orang India. Mereka merasa terancam, atau dirugikan, oleh pembaharuan itu. Nana Sahib, misalnya, ingin mengembalikan previlesenya yang lama dalam umur 35 ia tak lagi punya wewenang atas rakyatnya di Bithur. Inggris - yang menyatakan ingin membebaskan rakyat itu dari kesewenang-wenangan sang maharaja - membayar Nana Sahib dengan semacam pensiun. Ia terdesak. Pun para sipahi disebut sebagai contoh mereka yang terdesak oleh pembaharuan. Keresahan mereka terdengar ketika bedil model lama yang mereka pakai selama ini hendak diganti dengan model baru, buatan lnfield. Senapan baru ini pelurunya tak lagi dipisahkan dari mesiu, melainkan berada di satu wadah. Hanya ujungnya sebelum mengisi, harus digentas dulu di mulut agar isi mesiunya dapat menyala. Tentu, yang jadi gara-gara - seperti kita ingat dan buku sejarah - bukanlah teknik baru itu. Orang-orang India itu waswas, bahwa gemuk yang dipakai di pembungkus peluru itu adalah gemuk babi atau sapi. Menggentasnya berarti menjilat babi atau sapi - suatu pelanggaran bagi sipahi yang Muslim ataupun yang Hindi. Tapi para perwira Inggris pada masa itu, yang mereka panggil dengan hormat sebagai "Sahib", tak punya waktu untuk memahami keresahan mereka. Opsir-opsir itu bukanlah tipe perwira pada masa sebelumnya - masa ketika orang-orang Kompeni Hindia Timur datang hanya untuk berdagang. Zaman berubah. Sang Sahib baru telah masuk dengan cita-cita yang lebih besar: mengubah sang pribumi, menariknya dari posisi "terkebelakang" menjadi "maju". Tentu saja sebuah niat baik. Tentu saja sebuah sikap yang angkuh. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini