Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Cabut Label Teroris untuk Papua Merdeka

Kekerasan di Papua terjadi lagi. Menambah bensin ke bara konflik.

 

26 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TINDAKAN brutal polisi di Gereja Kemah Injil menambah panjang daftar kekerasan aparatur negara di Papua. Dalih mencari warga Kenyam, Kabupaten Nduga, yang terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM) telah menjadi alasan generik polisi terus-menerus memprovokasi Papua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OPM memang organisasi yang telah dilarang pemerintah. Namun dalih mengejar pendukungnya tak lantas membuat aparatur negara bisa berbuat sewenang-sewenang. Penangkapan di rumah ibadah tanpa surat penggeledahan merupakan tindakan main hakim sendiri. Apalagi penangkapan lima orang terduga anggota OPM itu dilakukan dengan merusak gereja dan menghajar anggota jemaat yang sedang tidur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tugas polisi adalah menjaga keamanan di seluruh wilayah Indonesia. Namun dalih menegakkan hukum dengan mengejar anggota OPM hingga ke gereja pada 17 September 2023 memakai kekerasan malah membuat polisi menjadi penyebab ketidakamanan. Tindakan keras aparatur negara itu juga membuat Papua terus bergejolak.

Akibatnya adalah antipati masyarakat Papua makin menebal kepada pemerintah. Slogan dialog dan cara damai yang didengungkan pemerintah untuk menyelesaikan problem Papua akan makin tak terlihat ujungnya. Orang Papua akan makin keras menuntut merdeka—keinginan yang dianggap terlarang oleh pemerintah Indonesia.

Pangkal tindak kekerasan oleh aparatur negara terhadap orang Papua adalah penetapan organisasi separatis seperti OPM sebagai kelompok kriminal bersenjata (KKB). Status ini disematkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. pada 29 April 2021. Akibat pelabelan ini, OPM masuk kategori teroris menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme.

Dengan status itu, aparat keamanan bisa menindak siapa pun yang mereka tuduh sebagai anggota OPM dengan tindak kekerasan. Maka, status KKB itu kian menjauhkan harapan damai dan penyelesaian konflik di Papua. Menurut studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada 2009, disebutkan ada empat sumber konflik Papua: marginalisasi orang asli Papua, kegagalan pembangunan, pelanggaran hak asasi manusia dan tindak kekerasan militer, serta proses integrasi Papua yang belum selesai.

Bukannya membuat solusi atas empat sumber konflik yang mendorong orang Papua hendak merdeka dari Indonesia, pemerintah dan aparat keamanannya malah memperburuk sumber konflik itu. Maka, jangan salahkan orang Papua jika mereka terus meminta merdeka karena penanganan konflik memakai kekerasan.

Tanpa melabeli OPM sebagai KKB saja, pada 2010-2021 terjadi 299 kasus kekerasan di Papua dengan jumlah korban meninggal 395 orang dan 1.579 orang lainnya terluka akibat tembakan, terkena panah, atau senjata tajam. Artinya, ada 27 kali kekerasan di Papua setiap tahun. Setelah pelabelan KKB, hingga 2023, jumlah kekerasan di Papua meningkat menjadi 51 kasus per tahun.

Studi-studi lain sudah pula menyodorkan saran ihwal solusi penyelesaian konflik Papua, yakni dialog dan meninggalkan pendekatan keamanan. Untuk mewujudkannya, pemerintah harus menarik polisi dan tentara dari Papua, lalu mengirim para diplomat ke sana. Orang Papua hanya ingin didengarkan keinginannya, sehingga menghadapinya bukan dengan senjata, melainkan dengan telinga.

Jika Indonesia masih menginginkan Papua tetap menjadi bagian dari NKRI, satu-satunya cara adalah merangkul orang Papua dan mengajaknya bicara. Solusinya memang tidak mudah karena masalah telah bertumpuk akibat kekeliruan pendekatan dalam menyelesaikan konflik Papua sejak masa Orde Baru.

Untuk memulainya, pemerintah bisa menapaki tangga paling awal, yakni menghentikan kekerasan. Cabut label KKB, stop melabeli siapa saja yang berbeda dari pemerintah sebagai anggota OPM, lalu bernegosiasi dengan mereka. Jika tidak, kekerasan yang terjadi di Gereja Kemah Injil di Nduga itu akan berulang terus di masa mendatang.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus