Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MANUSIA tak bisa melarikan diri dari sejarah. Pesan itu jugalah yang tersurat dalam judul pidato kenegaraan Presiden Sukarno di masa akhir kekuasaannya, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Judul ini kemudian secara sinikal diringkas oleh para perintis Orde Baru sebagai "Jas Merah", untuk menyindir kedekatan Bung Karno dengan Partai Komunis Indonesia, yang dituding menggagas Gerakan 30 September 1965.
Zaman kemudian bergerak ke arah yang ditentukan oleh banyak hal. Sejarah mengalir, tapi jejaknya tak selalu lurus. Pelbagai pengalaman membuat orang percaya: sejarah selalu ditulis oleh pihak yang menang. Di Cina prapembaruan, rekaman fotografis bahkan bisa diubah-ubah menurut selera rezim yang bertakhta. Foto Jiang Qing, misalnya, bisa hilang dari adegan bersama Mao Zedong dan Deng Xiaoping di Yenan, ketika "The Gang of Four" dikutuk. Padahal, sebelumnya, ketika "Revolusi Kebudayaan" bergolak, foto Deng Xiaoping-lah yang dihapus....
Pengalaman itu memperkenalkan kita dengan "sejarah yang dibengkokkan". Karena sejarah merupakan urusan besar yang tidak sederhana, "pelurusan"-nya tentu tak gampang. Tapi, betapapun kecilnya, diperlukan upaya untuk, paling tidak, menyingkap kabut dan mencari seberkas titik terang. Pelurusan sejarah, bagi majalah ini, merupakan upaya mendekati akurasi, yang merupakan mahkota profesionalisme setiap jurnalis.
Lebih dari itu, dari segala batasan yang diakui, kami percaya pada pertegasan yang menyatakan bahwa "jurnalistik adalah sejarah yang ditulis hari ini". Dengan kepercayaan itulah majalah ini berkali-kali menerbitkan "edisi sejarah", dari era Kebangkitan Nasional hingga pasca-Kemerdekaan. Edisi H.O.S. Tjokroaminoto, Mohammad Hatta, Natsir, dan Tan Malaka, antara lain bisa disebut sebagai contoh mendekati sejarah itu.
Dari sekian episode sejarah nasional, pasca-1965 merupakan penggal yang paling berkabut. Apalagi peluang menyingkap kabut itu ditutup rapat selama masa kekuasaan Soeharto—yang hampir empat dasawarsa. Selama itu pula periode pasca-1965 merupakan babak kelabu yang didominasi versi resmi—tanpa pilihan apa pun. Versi tunggal ini tidak menghasilkan yang lain kecuali kegelapan dan kebingungan bagi generasi yang datang kemudian, yang berusaha mencari kebenaran.
Mengenai episode "berkabut" itu pun majalah ini telah menulis beberapa kali. Tapi sebagian besar dari sisi "korban", yang juga sekaligus bisa dikategorikan "pelaku". Ada, misalnya, edisi khusus tentang D.N. Aidit, Njoto, dan Sjam Kamaruzaman. Kali ini pilihan jatuh pada Sarwo Edhie Wibowo, perwira lapangan yang sangat menentukan dalam gonjang-ganjing politik 1965.
Sarwo Edhie bukan perwira biasa. Soeharto, pada saat-saat yang sangat genting itu, hanya bisa mempercayakan penguasaan lapangan kepada opsir profesional kelahiran Purworejo itu. Sarwo juga memimpin pasukan elite berkemampuan khusus. Dia Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang kelak berganti nama menjadi Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha), dan terakhir Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Satuan tempur ini sangat diandalkan dalam mematahkan beberapa kali pergolakan bersenjata di dalam negeri, antara lain yang dilakukan PRRI/Permesta.
Kepercayaan Soeharto ternyata tak sia-sia. Awal aksi militer yang dipimpin Sarwo Edhie sekaligus merupakan titik balik sepenggal sejarah Republik. Gerakan satuan-satuan RPKAD ke bagian tengah dan timur Pulau Jawa, kemudian menyeberang ke Bali, merupakan penghancuran besar-besaran kekuatan yang dianggap memihak Gerakan 30 September—dalam hal ini Partai Komunis Indonesia dan semua suborganisasinya.
Tentu saja, aksi militer yang didukung "massa antikomunis" itu bukannya tanpa cela. Muncullah kemudian angka-angka korban sekitar pembunuhan massal, dari 78 sampai 780 ribu, bahkan jutaan orang. Angka-angka itu tidak bisa diverifikasi, karena Orde Baru selama berkuasa menutup peluang menghitungnya. Anehnya, setelah melaksanakan perintah penghancuran PKI, Sarwo Edhie berangsur-angsur surut dari lingkaran kekuasaan.
Jenderal lapangan yang dinamis itu ternyata tak cocok dengan lika-liku birokrasi dan konspirasi politik. Ia malah diperhitungkan berpotensi menjadi "matahari kedua" yang bisa mengancam Soeharto. Pada usia relatif muda, 64 tahun, ia wafat dalam damai.
Setelah lewat dua dasawarsa, peninggalannya secara beringsut dan tampak alamiah bergerak ke pusat kekuasaan, justru ketika negeri ini mengunggulkan demokrasi. Kita tiba-tiba menyaksikan "klan Sarwo Edhie" menghiasi panggung politik Indonesia. Pada bagian inilah peran sejarah Sarwo Edhie kembali harus diperhitungkan—dengan tenang dan adil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo