Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pekerja Migran dan Perdagangan Orang

Penanganan pelaku perdagangan orang tak cukup dengan Satgas TPPO, tapi juga di tingkat hulu. Korban kebanyakan pekerja migran.

22 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Satgas TPPO telah menetapkan 511 tersangka pelaku perdagangan orang.

  • Korban terbesar TPPO biasanya adalah pekerja migran ilegal.

  • Penanganan harus dilakukan sejak dari hulu di desa-desa.

Bagong Suyanto
Dekan FISIP Universitas Airlangga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang (Satgas TPPO), yang dibentuk Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, telah menangkap para pelaku perdagangan orang. Saat ini setidaknya sudah 511 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka selama Juni ini. Jumlah tersebut mungkin akan terus bertambah karena penyidik kepolisian terus mengejar para pelaku di berbagai daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hingga saat ini, Satgas TPPO telah menyelamatkan 1.476 korban, yang terdiri atas 766 laki-laki dewasa, 25 anak laki-laki, 605 perempuan dewasa, dan 80 anak perempuan. Semua korban adalah penduduk desa dan orang miskin yang tidak berdaya, memiliki posisi tawar yang lemah, serta ditekan kemiskinan yang kronis. Korban yang paling rentan dan rawan menjadi korban umumnya adalah perempuan serta anak-anak.

Korban terbesar praktik TPPO biasanya adalah para pekerja migran Indonesia (PMI) ilegal. Mereka kebanyakan adalah warga desa miskin yang tengah mencari pekerjaan untuk menyambung hidup. Modus yang dikembangkan pelaku TPPO untuk menjerat mereka umumnya dengan menawarkan pekerjaan sebagai pekerja rumah tangga atau pekerjaan lain yang ternyata hanya selubung untuk menjadikan korban sebagai pekerja seks.

Rawan Diperlakukan Salah

Data Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) memperkirakan saat ini ada 9 juta lebih pekerja migran di berbagai negara. Separuhnya berangkat melalui jalur ilegal. Posisi mereka sering kali lemah dan daya tawar sangat rendah sehingga rawan diperlakukan secara salah karena mereka tidak memiliki perlindungan yang memadai.

Secara garis besar, ada beberapa faktor yang membuat PMI rawan diperlakukan secara salah. Pertama, PMI tidak memiliki dokumen resmi yang bisa dijadikan acuan dalam penetapan status mereka. Selama ini mereka tidak memegang dokumen yang bisa ditunjukkan untuk menjamin keselamatan mereka selama bekerja di negeri orang. Dalam kebanyakan kasus, mereka tidak berdaya karena paspor dan dokumen kependudukan lain mereka disita penyalur atau pelaku TPPO. Para pelaku TPPO sengaja meniadakan perlindungan kepada PMI karena dengan cara itulah mereka dapat mengendalikan orang-orang yang masuk perangkap mereka.

Kedua, PMI tidak didukung sertifikasi keahlian atau keterampilan yang dapat dijadikan modal sosial untuk meningkatkan posisi tawar mereka. Mereka tentu akan lebih dihargai bila memiliki sertifikat keahlian dari lembaga resmi. Namun tidak banyak PMI yang memilikinya. Berbeda dengan pekerja migran dari Filipina, misalnya, yang rata-rata berangkat melalui jalur resmi dan mendapat perlindungan dari negara, kebanyakan PMI tidak memiliki perlindungan yang layak. Akibatnya, PMI sering kali terpaksa harus bersabar menjadi korban eksploitasi dan subordinasi para pelaku TPPO yang jahat.

Ketiga, PMI yang menyandang status ilegal sering kali menyulitkan negara untuk memberikan jaminan perlindungan. Pemerintah baru turun tangan ketika PMI ilegal ini mengalami masalah, seperti menjadi korban eksploitasi atau diperlakukan salah. Intervensi pemerintah pun biasanya tidak berjalan maksimal. Akibat status PMI yang tidak jelas ini, para pelaku TPPO sering berada di atas angin dan sulit ditangani secara hukum.

Upaya Penanganan

Untuk kepentingan penanganan yang lebih rinci, idealnya memang perlu dibedakan antara PMI yang tidak mengikuti prosedur resmi (unprocedural) dan TPPO. Korban TPPO sering kali tidak menyadari perangkap yang mereka hadapi dan baru sadar ketika mereka sudah berada di daerah tujuan serta bekerja di sektor yang eksploitatif. Sedangkan PMI unprocedural sejak awal sadar akan risiko yang dihadapi dan menjadi tidak berdaya ketika status mereka tidak didukung dokumen yang memadai.

Meski berbeda, dalam kenyataan sebetulnya kedua kelompok ini memiliki ciri yang sama: mereka sama-sama rentan dan rawan diperlakukan salah. Entah sadar atau tidak, baik korban TPPO maupun PMI unprocedural sering menjadi korban akibat ulah orang-orang yang memanfaatkan ketidakberdayaan mereka untuk meraup keuntungan.

Pelaku TPPO ataupun pengirim PMI selalu mencari korban-korban baru karena ini bisnis yang menguntungkan. PMI yang tanpa perlindungan bisa dikirim dan dijual ke siapa pun untuk kemudian dieksploitasi tenaganya. Adapun korban TPPO diperlakukan layaknya komoditas. Korban TPPO yang dijerumuskan menjadi PSK, misalnya, jelas akan diperas keringatnya dan diperdagangkan layaknya barang, bukan manusia. Semua ini dilakukan untuk tujuan mencari keuntungan yang besar.

Upaya untuk menangani TPPO bukan hal yang mudah. Tidak hanya membutuhkan komitmen yang jelas, penanganannya juga perlu dilakukan dari hulu agar tidak jatuh korban-korban baru dari waktu ke waktu. Pemerintah telah menunjukkan komitmennya dengan membentuk Satgas TPPO. Namun penanganan di hulu membutuhkan dukungan pemerintah daerah dan komunitas lokal.

Pemerintah perlu melibatkan para pionir, warga lokal yang memiliki kepedulian dan pengetahuan memadai tentang ancaman TPPO. Yang tak kalah penting adalah program intervensi yang benar-benar mendorong tumbuhnya keberdayaan masyarakat desa. Masyarakat tidak lagi dibiarkan dalam perangkap kemiskinan menahun. Mereka perlu diberi peluang untuk berkembang dan keluar dari tekanan kemiskinan.

Sepanjang kemiskinan masih menghantui dan kesempatan kerja masih jadi rebutan di desa, jangan harap upaya mencegah korban-korban baru praktik TPPO dapat direalisasi. Inilah kunci penanganan TPPO di Tanah Air.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Bagong Suyanto

Bagong Suyanto

Dekan FISIP Universitas Airlangga

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus