KORAN seperti juga teater, pembacaan sajak atau grup diskusi,
biasanya diangap sebagai sarana komunikasi, tempat berita dan
informasi lalu-lalang dari satu tempat ke tempat lain. dari satu
orang ke orang laim Lewat koran pemerintah tahu apa yang
bergolak di masyarakat, rakyat tahu apa yang diputuskan
pemerintah, langganan tahu apa yang disiapkan penjual, dan yang
butuh rekreasi tahu juga malam ini nonton apa di Gitabahari atau
New Garden Hall.
Tetapi lebih dari itu. koran dan sarana-sarana lain seperti
tersebut di atas adalah juga sarana katharsis. Di situ sempat
tersalur uneg-uneg, ketidak-puasan keresahan dan kritik. Semua
beban jiwa yang menumpuk dan mengeras menjadi dynamit explosi,
sudah encer sendiri karena sempat disalurkan tanpa kekerasan.
Dengan itu sebetulnya diciptakan dua keuntungan sosial yakni
tercegahnya proses menjadi mampatnya keresahan, dan dengan
demikian terbebas juga orang-orang yang tidak puas dari suatu
sikap reaksioner yang terus-menerus.
Kiranya kita tak harus mendalami teori Freud tentang represi
misalnya, hanya untuk memahami bahwa seberat-berat mata
memandang lebih berat jiwa memikul. Manusia bukan lautan yang
tanpa henti dapat menampung banjir sungai Brantas atau daerah
Rembang yang mampu mengungsikan 18.140 penduduk. Mungkin kita
lebih mirip sebuah gelas. Kalau beban masuk ke dalamnya, maka
daya tampung selalu terbatas. Lebih dari itu air meluap dan meja
makan jadi jorok.
Kalau kita perhatikan ucapan Sudomo misalnya, maka alasan
pembreidelan koran yang 7 buah di Jakarta itu, lebih didasarkan
pada pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional. Tulisan ini
bermaksud menanggapi masaiah pembreidelan dari segi yang sama.
Pertanyaannya adalah: apakah dengan ditutupnya 7 koran ibukota
(buat sementara) keresahan masyarakat memang berkurang, bila
diingat bahwa dengan itu berarti hilang juga 7 sarana katharsis
sosial bagi masyarakat Indonesia? Pertimbangan pemerintah
adalah bahwa pemberitaan koran-koran itu akhir-akhir ini justru
menyebarkan keresahan. Tetapi sebetulnya dengan itu, pada hemat
kita, terjadi juga proses penyaluran keresahan, mengencernya
kegelisahan, terbebasnya orang orang dari keharusan menekan
semua ketidakpuasan ke dalam jiwa secara terus-menerus. Dengan
katharsis semacam itu, maka suatu keadaan yang, katakanlah,
normal dapat tercipta tanpa suatu security approach.
Seminggu sekali beberapa teman saja suka datang ngobrol.
Bahannya tidak pernah 'sistimatis', pokoknya utara selatan
bioskop, pacar, buku baru atau kekesalan di tempat kerja.
Pembicaraan seperti itu tidak pernah ada kesimpulannya, dan
nampaknya semua kami diam-diam sadar bahwa ngumpul begituan
tidak untuk membahas masalah - analisa soal lalu problem
solving. Itu hanya proses pembebasan jiwa, saat membuang sampah,
suatu psikoanalisa dalam tanda-petik.
Semua kami tahu juga bahwa pembicaraan jenis ini agak sukar
dibreidel. Tetapi kalau seandainya dilarang, wah bisa pusing
tujuh keliling.
Rupanya katharsis seperti itulah yang dimaksud pemerintah
Inggeris. ketika mereka menyediakan Hyde Park sebagai tempat
orang boleh maki atas cara yang paling gila, menyembur semua
uneg-uneg sampai lega.
Kita mungkin tidak membutuhkan Hyde Park - sekurang-kurangnya
begitulah yang pernah dikatakan oleh Prof Doddy Tisnaamijaya.
Betul Pak! Tapi tolong bilang, apa kita perlu koran nggak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini