SEORANG tokoh Afrika pernah mengusulkan, dengan penuh empati, perlunya segera diadakan "dialog Selatan dengan Selatan": dialog antara negara-negara Dunia Ketiga. Menurut dia dialog yang demikian akan jauh lebih berguna bagi Dunia Ketiga ketimbang "dialog Utara-Selatan" yang sering digembar-gemborkan itu. Dialog dengan negara industri maju akan sering tertumbuk pada tembok besar persepsi kepentingan dan kebutuhan kedua pihak yang tak akan mungkin terlampaui. Asumsi dan yang tersirat dari pendapat di atas adalah seperti akan dengan sendirinya terjadi suatu dialog seronok antara awak samo awak bila negara-negara Dunia Ketiga bertemu. Betulkah? Percakapan dan perundingan awak samo awak mensyaratkan adanya bahasa dan idiom yang sama. Musyawarah yang diadakan dalam kerapatan suatu nagari di Sumatera Barat (tempat istilah awak samo awak berasal), misalnya, dengan segala baso-basi, pepatah petitih serta berbagai metafora meliuk-liuk akan berjalan mulus (meski bukan tanpa perbedaan paham) bukan hanya karena tiap-tiap pembicara menguasai bahasa Minangkabau dengan baik, tetapi juga karena yang tersirat dalam metafora mereka tiada lain persamaan dalam persepsi budaya. Tevoedjre (TEMPO I Juni, kolom Umar Kayam) memang mengusulkan hal-hal yang sangat kongkret dalam dialog Selatan samo Selatan itu. Yaitu dialog dan rencana tukar-menukar ngelmu tentang pertanian, pengobatan tradisional, serta arsitektur perumahan rakyat. Tetapi bukankah yang diusulkan itu hal-hal teknis, yang sesungguhnya sudah merupakan hasil karya yang berasal dari evolusi persepsi budaya yang sudah berkembang dan berproses bertahun dan bergenerasi? Suatu proses, yang bagaimanapun mungkin lambat, selalu merupakan proses penyuntingan, meng-edit, berbagai unsur konsepsi - baik yang sakral, profan, maupun yang pragmatis, dari suatu tahapan perkembangan budaya? Dan setiap tahapan perkembangan yang mantap selalu akan berakar untuk beberapa lama dalam suatu masyarakat, sampai ia ditantang perkembangan baru dan dipaksa membuat penyesuaian baru? Semacam dialektika budaya, begitu? Misalnya pertanian Jawa. Sebelum ia terjebak dalam kondisi involusi Geertz, suatu kondisi tingkat kemahiran yang canggih tetapi macet dan tidak produktif lagi, pertanian Jawa ini - saya kira adalah suatu evolusi dialektis dari budaya-pertanian tropika yang subur dengan lebensraum yang longgar, yang kemudian dibentuk oleh suatu kondisi feodalisme yang canggih (tetapi ketat menekan) dan akhirnya dijebak kemakmurannya sendiri dengan pertumbuhan penduduknya yang nyaris tak terkendalikan lagi. Dan, bila sekarang kondisi evolusi itu dicoba didobrak dengan program bimas dan strategi swasembada pangan, akan berkembang bagaimanakah wajah pertanian Jawa itu di kemudian hari? Musnahnya pertanian gurem, untuk diganti oleh pertanian komersial yang lebih besar, modern, tidak padat karya, dan lebih efisien? Dengan skenario perkembangan persepsi pertanian seperti ini, bagaimanakah bahasa dialog pertanian antara sepotong Selatan (yang dalam hal ini diwakili oleh suatu unsur dari pertanian Indonesia) dan sepotong Selatan lain (yang mungkin suatu unsur dari pertanian Nigeria atau Ghana, misalnya) dilaksanakan? Pertanian samo pertanian. Tapi apa nan samo di sini ? Persepsi serta skenario evolusi dialektika pertanian yang mungkin berbeda antara Selatan yang satu dengan Selatan yang lain. Dan pengobatan tradisional serta arsitektur perumahan rakyat, bagaimana pula perbedaan skenarionya? Barangkali agenda dialog itu, kalau mesti diadakan, mesti dimulai dengan saling bercerita dahulu tentang idiom, bumbu-bumbu, dari sejarah persepsi dan evolusi dialektika masing-masing. Sama-sama dicari kemungkinan persamaan dan perbedaan, misalnya, kondisi involusi dalam berbagai bidang. Alangkah akan kelihatan beragamnya variabel (baik yang bebas maupun yang tergantung) yang membentuk kondisi involusi itu nanti. Dari saling mengisahkan berbagai skenario itu diharapkan proses saling belajar (tema utama simposium tempat Tevoedjre melemparkan gagasannya) itu berjalan pada jalannya yang mulus dan mudah-mudahan juga kaya. Penjajahan asing yang panjang, dengan segala keserakahan dan kekurangajarannya, memang telah memberi bekas luka yang dalam. Perih dan sakitnya sering masih sangat terasa pada negara-negara muda. Keputusasaan, frustrasi, serta kejengkelan mereka pun datang waktu melihat (sesudah merdeka) bagaimana gerak mereka begitu terbingkai oleh kekuatan dahsyat pasaran dunia serta kemauan ideologis negara-negara industri. Maka, Selatan berpaling ke Selatan dengan penuh harap. Seakan-akan kegotong-royongan Selatan, yang senasib, akan dapat memecahkan persoalan, dan dengan sendirinya terjadi. Pengalaman negara-negara Nonblok menunjukkan bahwa kegotong-royongan itu tidak dengan sendirinya terjadi, dan perjalanannya yang sudah cukup lama itu masih jauh dari kerukunan sejati. Bahkan secara ironis Selatan-Selatan atau bekas-bekas Selatan itu masih terus sibuk berguru dari Utara yang satu kepada Utara yang lain. Korea Selatan dan Singapura muncul perkasa karena berguru dengan baik kepada Utara. Cina, waktu kecewa, berpaling dari guru Utara yang satu ke guru Utara yang lain - tidak kepada Selatan yang lain. Dan Jepang- bukankah dulu, waktu masih "Selatan", juga berguru kepada Utara hingga akhirnya berhasil menjadi Utara yang perkasa? Atau mau model Schumacher, small is beautiful, seperti Birma? Yang tidak berani melongok ke Utara atau ke Selatan, tidak ke mana-mana, tetapi menatap dirinya sendiri terus-terusan? Pilihan bagi Selatan memang tidak selamanya mulus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini