Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALAH-menang dalam proses peradilan memang merupakan soal biasa. Hal itu baru menjadi tidak biasa kalau ternyata sang pengadil yang menjatuhkan vonis tidak memiliki cukup keahlian dalam menangani perkara. Apalagi kalau hakim lebih "memilih" memenangkan pengusaha yang bersengketa hukum melawan negara.
Keganjilan itu terlihat pada vonis Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup terhadap PT Merbau Pelalawan Lestari, Selasa pekan lalu. Majelis hakim menolak gugatan pembayaran ganti rugi senilai Rp 16 triliun sebagai kompensasi kerusakan hutan dan lingkungan karena aktivitas usaha perusahaan tersebut sepanjang 2004-2006.
Putusan ini patut dipertanyakan karena bertolak belakang dengan vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, yang juga menyidangkan perkara kerusakan lingkungan. Di sana Kementerian Lingkungan Hidup menggugat PT Kallista Alam, yang dituding merusak lahan hutan gambut Rawa Tripa, Kabupaten Nagan, Aceh. Hakim yang menangani perkara itu berhasil membuktikan perusahaan tersebut dalam aktivitas usahanya telah merusak lingkungan.
Setelah dua kali dilakukan gelar pemeriksaan setempat atau persidangan di tempat kerusakan ekologis, Kallista dinyatakan bersalah dan wajib membayar ganti rugi kepada negara Rp 365 miliar. Sebaliknya, majelis hakim perkara Merbau Pelalawan, yang tidak memiliki keahlian khusus seperti koleganya di Meulaboh, seperti kehilangan akal menjerat perusahaan pemasok bahan baku Riau Andalan Pulp and Paper, pabrik bubur kertas milik taipan Sukanto Tanoto.
Walhasil, sejumlah prosedur resmi pembuktian hukum yang semestinya ditempuh tidak dipakai sama sekali. Sang hakim memilih tidak melakukan pemeriksaan setempat dengan alasan tak masuk akal: tidak sempat karena salah satu hakim dirotasi ke daerah lain. Padahal tahapan ini menjadi sangat penting untuk mengecek langsung di lapangan apakah memang terjadi kerusakan lingkungan atau tidak. Kesaksian guru besar bidang lingkungan, yang menguraikan secara ilmiah kerusakan ekologi di kawasan hutan gambut Pelalawan berikut kerugian yang ditanggung negara, diabaikan begitu saja.
Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru juga seperti menutup mata terhadap perjalanan kasus hukum yang pernah melibatkan Merbau Pelalawan. Perusahaan ini merupakan satu dari 14 perusahaan kehutanan di Riau yang mengantarkan mantan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar dan seorang Kepala Dinas Kehutanan Riau ke penjara. Komisi Pemberantasan Korupsi berhasil membuktikan mereka menerbitkan izin secara serampangan dan menerima suap dari perusahaan tersebut. Tapi, hingga sekarang, jerat hukum belum menyentuh korporasi yang menikmati keuntungan dari korupsi dua pejabat tersebut.
Dari beragam keganjilan itu, tepat sungguh langkah Kementerian Lingkungan Hidup menempuh upaya lanjutan dengan mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah harus memeriksa ulang secara cermat seluk-beluk kasus. Kealpaan majelis hakim melakukan pemeriksaan setempat dan pengabaian saksi ahli mesti mendapat catatan serius.
Kementerian Lingkungan Hidup juga harus melanjutkan gugatan terhadap perusahaan-perusahaan lain yang terindikasi melakukan kejahatan lingkungan. Delapan perusahaan lain yang sudah direncanakan akan digugat sejak tahun lalu seharusnya mendapat prioritas. Negara tidak boleh mundur dalam menegakkan hukum di bidang lingkungan.
berita terkait di halaman 82
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo