Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kamal Firdaus
Singkat cerita, terjadilah apa yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dan mestinya tidak dan jangan sampai terjadi: Komisi Pemberantasan Korupsi memeriksa hakim agung dan menggeledah ruang Ketua Mahkamah Agung. Mahkamah Agung (MA), yang kedudukan dan wewenangnya diatur di dalam undang-undang dasar, menjelma seolah-olah berada di bawah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang kedudukan dan wewenangnya hanya diatur dalam undang-undang. Semua ”keastagaan” itu terjadi gara-gara apa yang selama ini dikenal sebagai praktek mafia pengadilan.
Tidak ada alasan kuat, sebenarnya, untuk memuji KPK. Cara yang ditempuh oleh KPK hanya mengingatkan kita pada sebuah mitologi Yunani Kuno tentang seorang tokoh yang selalu mempunyai tujuan luhur, tetapi langkah yang diambilnya justru selalu menjauhkannya dari tujuannya itu. Tindakan KPK hampir pasti justru kontra-produktif dalam membongkar praktek mafia pengadilan.
Sebaliknya, tidak kuat pula alasan untuk mengasihani MA. Korupsi sudah merajalela di negeri ini. Korupsi telah menimbulkan kemelaratan bagi bangsa. Salah satu—untuk tidak menyebut satu-satunya—cara untuk memberantas korupsi adalah adanya suatu lembaga pengadilan dan proses peradilan yang bersih, imparsial, dan berwibawa. Sayangnya, lembaga pengadilan dan proses peradilan kita bukan saja bersih, imparsial, dan berwibawa, melainkan sudah lama dinodai oleh praktek mafia pengadilan.
Rata-rata hakim mengeluh betapa kecil gajinya dibandingkan dengan hakim di negara lain, dibandingkan dengan hakim di Jepang misalnya. Sebaliknya, kita juga tahu betapa besar kekayaan rata-rata hakim, yang tidak mungkin diperolehnya dari gajinya yang relatif kecil itu. Lalu, dari mana sang hakim memperoleh uang sehingga mereka menjadi relatif kaya sedemikian itu kalau bukan dari praktek mafia pengadilan? Kecuali kalau bisa dibuktikan kekayaan itu diperoleh dari warisan.
Sudah silih berganti mereka yang dipercaya menjabat Ketua MA. Namun, belum satu pun yang betul-betul punya semangat dan betul-betul memiliki komitmen memberantas praktek mafia pengadilan. Rata-rata lebih banyak bicara belaka, tanpa tindakan nyata dalam membongkar praktek mafia pengadilan.
Dahulu, ketika Purwoto Gandasubrata menjabat Ketua MA, dibukalah kotak pos pengaduan tentang praktek mafia pengadilan. Namun pada akhirnya kotak pos pengaduan itu masuk kotak. Kemudian dibukalah layanan informasi 121 di lantai satu gedung MA. Usaha itu juga mubazir. Demikian juga puluh (bahkan mungkin ratusan) miliar dana yang dikucurkan oleh lembaga-lembaga internasional untuk membenahi alias mereformasi jajaran MA. Sejak awal mula saya pun meragukan manfaat kucuran dana dimaksud.
Dan yang paling signifikan dari itu semua adalah penyatuan atap kekuasaan kehakiman. Rata-rata hakim sangat menggebu-gebu semangatnya supaya kekuasaan kehakiman berdiri sendiri, lepas dari kekuasaan eksekutif, dengan berbagai alasan. Pada pokoknya masih campur tangannya kekuasaan eksekutif ke dalam kekuasaan kehakiman selama ini seolah-olah laksana kambing hitam dari rusaknya dunia peradilan. Pernyataan yang populer dari mereka yang berpendapat demikian adalah ”otaknya sang hakim di Mahkamah Agung, perutnya di Departemen Kehakiman”.
Aspirasi para hakim itu akhirnya terkabul. Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004, kekuasaan kehakiman berada di satu atap, yaitu MA. Sejak itu, mutasi dan promosi hakim, misalnya, menjadi wewenang MA. Tetapi, justru di bawah undang-undang itu pula hakim agung diperiksa dan ruang kerja Ketua MA digeledah oleh KPK.
Kini, baik praktek korupsi maupun praktek mafia pengadilan terus merajalela. Padahal selama praktek mafia pengadilan masih merajalela, tipis kemungkinan praktek korupsi bisa diberantas, paling tidak diminimalkan. Meski jalannya terlalu panjang, mau tidak mau ada dua langkah yang harus diambil.
Pertama, berupa perombakan undang-undang, yaitu kekuasaan kehakiman di bawah satu atap yaitu MA harus diakhiri. Kembalikan kekuasaan kehakiman di bawah dua atap. Cuma beda dengan dahulu, di mana atap yang satunya lagi adalah Departemen Kehakiman, sekarang atap yang satunya lagi adalah Komisi Yudisial (KY). Terutama menyangkut rekrutmen, mutasi, dan promosi hakim, wewenangnya jangan lagi berada di MA sepenuhnya, melainkan diberikan kepada MA bersama-sama KY.
Kedua, dahulu Daniel S. Lev pernah mengusulkan supaya semua hakim diberhentikan, diganti dengan orang-orang baru. Usul demikian terlalu ekstrem dan dapat menimbulkan sejumlah persoalan baru yang pada akhirnya merugikan pencari keadilan. Sebaiknya ditempuh jalan tengah dengan merujuk pada Pasal 22 UUD 1945, yaitu dengan mempertimbangkan bahwa praktek korupsi dan mafia pengadilan sudah merupakan ”hal ihwal kegentingan yang memaksa”, presiden menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (perpu) yang berisi proses seleksi terhadap hakim di semua tingkatan pengadilan dan di semua lingkungan pengadilan, mulai pengadilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung.
Dengan asumsi bahwa di samping banyak hakim yang nakal lebih banyak hakim yang baik, dengan perpu itu hakim yang nakal diberhentikan, hakim yang baik justru akan bisa lebih tenang dan penuh kebanggaan menjalankan profesinya sebagai hakim.
Diyakini bahwa Perpu Seleksi Hakim dimaksud akan mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Kalau DPR ternyata tidak menyetujui dan dengan demikian berarti perpu itu harus dicabut, wajar kalau publik memprasangkai DPR mentoleransi praktek korupsi dan mafia pengadilan. Dan hukuman setimpal untuk mereka tidak cuma ”dikutuk” Firaun, tetapi jangan dipilih lagi dalam Pemilu 2009, baik partai maupun orangnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo