Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ariel Heryanto
Maraknya berbagai wacana tentang ”terorisme” belakangan ini menunjukkan keberhasilan berbagai negara menaklukkan pemikiran dan bahasa publik. Dalam berbagai pembahasan tentang teror, hampir selalu yang dijadikan kambing hitam adalah warga sipil dan kelompok organisasi non-negara.
Berbagai tanggapan defensif seperti ”Islam menentang terorisme” menjadi bukti keberhasilan negara untuk ”cuci tangan” dari lumuran darah, sambil melemparkan tanggung jawab kepada berbagai kelompok non-negara yang tidak bersalah atau tidak sendirian ikut bersalah dalam peristiwa kekerasan sebelumnya.
Bertolak belakang dari pemahaman umum selama ini, terorisme negara sesungguhnya merupakan bentuk pemerintahan yang sangat lazim dan awet pada abad ke-20, walau gaya, cakupan, dan keganasannya berbeda-beda. Boleh dikatakan, bentuk pemerintahan seperti itu telah menjadi praktek baku, bukan penyimpangan di banyak negara mutakhir. Terorisme negara memiliki sifat-sifat modern dan rasional, setidaknya yang tampil di permukaan. Yang jelas, terorisme negara boleh dianggap terbukti menjadi cara jitu untuk mempertahankan—bukannya merongrong—”stabilitas nasional” dan ”ketertiban umum”.
Bertolak belakang dengan pemahaman umum, terorisme negara bukan ciri khas negara-negara berkembang di ”Timur”. Tidak kurang negara yang terbilang ”liberal demokratis” juga terjangkiti penyakit ini. Sudah cukup banyak sarjana di Barat yang membahas bagaimana negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, menjadi pelaku terorisme negara yang sangat menonjol sejak tahun 1980-an. Walau terorisme negara tidak kurang lazim dan berbahaya ketimbang yang ”anti-negara” atau ”non-negara”, hanya yang tersebut belakangan berkali-kali diwartakan, dibahas khalayak, dan diadili sebagai pelaku kejahatan.
Apa itu terorisme negara? Terorisme negara dapat didefinisikan tidak semata-mata berdasarkan pelakunya yang menjadi pejabat negara. Berbeda dengan terorisme jenis lain yang bisa bersifat tambal sulam, atau tumbuh-tenggelam secara acak, terorisme negara biasanya lebih bersifat permanen, terencana, dan dengan lingkup luas. Juga, berbeda dengan banyak jenis teror lainnya, yang menjadi tujuan utama terorisme negara bukanlah sekadar penghancuran musuh secara jasmaniah, atau menyakiti musuh karena dendam.
Hampir semua sarjana mengakui betapa sulitnya membuat definisi gejala sosial, termasuk terorisme negara. Dalam sebuah buku yang baru terbit, saya mengajukan sebuah pilihan definisi sebagai berikut. Terorisme negara merupakan serangkaian tindakan yang disponsori negara dan menciptakan rasa ngeri yang sangat mendalam dan meluas di masyarakat, serta mengandung lima unsur. Pertama, rasa ngeri dalam masyarakat dipicu oleh serangkaian kekerasan yang luar biasa kejamnya, dilakukan entah oleh petugas negara ataupun pihak swasta yang mewakili negara. Kedua, tindak kekerasan itu diarahkan secara sengaja kepada warga negara tertentu sebagai korban utama.
Ketiga, korban utama itu dipilih sebagai pihak yang mudah dipahami khalayak umum sebagai wakil atau bagian dari kelompok masyarakat yang lebih luas (kelompok sasaran). Tidak peduli apakah korban-korban utama itu memang benar ”mewakili” kelompok lebih besar yang telanjur dibayangkan khalayak. Yang penting, begitulah dampaknya.
Keempat, seluruh tindak kekerasan itu secara sengaja dipamerkan kepada khalayak umum dan rekaman peristiwa itu disiarkan berulang-ulang untuk menebarkan rasa ngeri, ketidakpastian, dan saling curiga.
Kelima, sebagai akibat semua itu, masyarakat terpancing untuk ikut-ikutan menyebarluaskan wacana tentang kekerasan itu dan berbagai kisah horor yang berkait, sambil menambah-nambahkan ”bumbu” gosip yang justru meningkatkan rasa takut bagi mereka sendiri.
Di berbagai negara pada masa ini, khususnya di bandar udara, tercipta rasa curiga dan takut terhadap orang-orang di bawah usia 40 tahun yang bertampang Timur Tengah. Pemakaian jilbab di kalangan muslimah, atau peci dan pemilikan jenggot lebat, menjadi sebagian pemicunya. Bahkan memiliki nama-nama berbau Timur Tengah atau Islam bisa menimbulkan syak yang berlebihan. Tak mengherankan, muncul berbagai kampanye tentang ”Islam menentang terorisme” sebagai tanggapan defensif.
Pada masa sebelumnya, menggunakan bahasa kerakyatan, apalagi membawa gambar palu-arit, memiliki stigma yang sama. Di berbagai bagian sejarah yang lain, memiliki warna kulit dan jenis rambut Afro, atau oriental (Asia Timur), bisa berakibat gawat. Berkali-kali kita menyaksikan rumah dan bangunan kantor ditempeli poster ”milik pribumi”. Di Indonesia, pertengahan November 2005 lalu, terjadi kecemasan di berbagai kota di Jawa gara-gara beredarnya SMS kaleng yang menyerukan akan terjadinya kekerasan anti-Cina. Jika tidak pernah ada sejarah traumatis sebelumnya, gertakan semacam itu tidak akan digubris orang.
Dengan menggunakan definisi seperti di atas, kita perlu membedakan terorisme dari tindak kekerasan politis, walau keduanya berkaitan. Teror mengacu pada rasa takut yang sangat mendalam dan berjangka panjang sebagai akibat terjadinya suatu kekerasan yang dahsyat. Tetapi kekerasan itu sendiri tidak sama dengan teror. Kekerasan di New York (2001) dan Bali (2002) sangat serius dan mencabut banyak nyawa orang yang tidak bersalah. Peristiwa itu meneror ratusan juta orang lain, termasuk mereka yang tidak pernah menginjakkan kaki di kedua tempat.
Tidak semua peristiwa kekerasan—betapapun luas lingkup dan korbannya—menimbulkan teror. Sebaliknya, teror bisa berkembang biak tanpa harus terus-menerus diberi umpan kekerasan secara besar-besaran. Pada masa Orde Baru, teror dipelihara secara berkesinambungan oleh kampanye ”bahaya laten komunis” dan kebijakan ”bersih lingkungan”. Semua itu disertai penayangan berulang-ulang gambar, kenangan, dan trauma masyarakat tentang pembantaian massal pada tahun 1965-6. Di balik semua itu, terselip pesan bahwa kekerasan pada masa lampau itu tidak mustahil terjadi lagi.
Sekitar satu juta orang Indonesia terbantai dalam waktu yang sangat singkat di antara akhir tahun 1965 dan awal tahun 1966. Ratusan ribu lainnya diperlakukan lebih buruk ketimbang ternak selama belasan tahun. Sampai sekarang masih cukup banyak yang belum dapat kita pahami atau sepakati tentang sejarah kelam itu.
Sementara itu, atau lebih tepatnya mungkin karena hal itu, berbagai kekerasan berdarah terus berkecamuk di tanah air ini. Kadang-kadang peran negara tampak cukup gamblang, kadang-kadang remang-remang.
Ironisnya, sebagian besar analisis tentang berbagai kekerasan itu, seperti juga atas ”teror” pasca-September 2001, mengasumsikan negara sebagai pihak yang terancam, atau pihak netral yang bertugas atau berjasa mengendalikan jaringan teroris. Berbagai konsep teologis (misalnya jihad) dibahas. Juga berbagai kajian tentang hubungan antar-ras dan agama. Faktor ekonomi kadang-kadang diperdebatkan sebagai salah satu kemungkinan penyebab meluasnya terorisme. Yang jelas, sosok teroris dikarikaturkan sebagai individu atau kelompok non-negara yang ingin menguasai dan menggantikan dasar negara.
Undang-undang keamanan negara dan undang-undang anti-terorisme disiapkan di berbagai negara dengan dukungan sebagian khalayak. Yang hilang dari berbagai bahasan seperti itu adalah perlunya undang-undang yang mengatur keamanan masyarakat sipil terhadap bahaya terorisme negara.
Pada paruh abad ke-20 perang dingin menjadi pemicu suburnya operasi terorisme negara dari dua kubu yang saling berperang. Secara resmi, masa itu sudah berakhir. Tetapi terorisme negara terbukti lebih panjang umur, dan masih segar-bugar beroperasi dengan nama, penampilan, dan sasaran berbeda.
Sesudah September 2001, dunia dicekam rasa takut. Sebagian pihak menderita rasa takut akan kemungkinan terjadinya teror oleh apa yang disebut fundamentalis, radikalis, atau militan Islam. Sebagian lain menderita rasa takut yang tidak kalah hebat karena kemungkinan dituduh secara membabi-buta oleh khalayak umum atau petugas negara sebagai pihak yang ”terlibat” terorisme.
Di tengah badai saling takut itulah, banyak aparat negara di dunia berpesta-pora. Bukan saja mereka mendapat panen dana, kehormatan, dan proyek. Yang lebih penting, bila rakyat sudah kalang-kabut dan panik dan merasa tak berdaya, mereka mudah diatur, dibohongi, ditahan, atau diadu-domba. Akal sehat dan peradaban mudah diinjak-injak. Hak asasi dan sipil seakan-akan menjadi sebuah kemewahan yang mubazir.
Dalam situasi mencekam seperti itu, rakyat mudah terpancing dan siap jika diminta negara untuk berkorban demi ”stabilitas keamanan” dan ketertiban umum. Ini dapat diamati di sepanjang sejarah berbagai negara, tak peduli sosoknya ”liberal demokratis”, ”komunis”, ataupun ”teokratis”. Terorisme tampil seakan-akan menjadi sebuah keniscayaan, rasional, lazim, dan baku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo