Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rizky Alif Alvian
Mahasiswa Master of International Relations di School of Political Science and International Studies, University of Queensland, Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Label Islam "radikal" dan "moderat" semakin sering digunakan secara kurang cermat di Indonesia. Alih-alih digunakan sebagai kerangka analisis untuk mendorong praktik keagamaan yang moderat di Indonesia, label radikal dan moderat justru kerap digunakan demi kepentingan politik yang sempit. Sikap gegabah ini berbahaya bagi semangat kampanye keagamaan moderat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap gegabah dalam menggunakan label radikal tampak dalam sejumlah kasus. Dalam kasus revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya, KPK dituduh telah disusupi oleh kelompok Islam garis keras. Demonstrasi yang dimotori mahasiswa di berbagai kota di Indonesia pada beberapa pekan terakhir juga disebut ditunggangi oleh kalangan radikal.
Dalam kasus-kasus ini, label radikal telah digunakan secara strategis untuk melemahkan legitimasi dari kelompok-kelompok yang memiliki aspirasi yang bertentangan dengan kelas politik berkuasa di Indonesia. Praktik ini dapat ditemui di berbagai negara. Berbagai penelitian tentang strategi kontra-radikalisasi telah menunjukkan bahwa istilah "radikal" sering disematkan bukan pada kelompok-kelompok yang percaya terhadap tafsir keagamaan yang intoleran dan mendukung kekerasan, melainkan pada kelompok-kelompok yang berusaha mendorong perubahan politik yang substantif dan progresif (Schwedler, 2011). Dalam konteks ini, pemberian label radikal sebetulnya mencerminkan usaha kelas politik berkuasa untuk mempertahankan kekuasaannya dari upaya-upaya reformasi yang mungkin akan mengancam posisinya.
Penggunaan label radikal untuk kepentingan politik yang demikian sempit sebetulnya mengancam semangat kampanye moderasi keagamaan. Tulisan ini menyorot tiga aspek krusial.
Pertama, menyempitnya ruang demokrasi. Salah satu tujuan utama dari kampanye moderasi keagamaan adalah untuk mencari titik temu antara praktik keagamaan dan demokrasi. Dalam konteks ini, moderasi keagamaan bisa dipahami sebagai upaya mendorong umat beragama untuk saling berdialog dalam kerangka demokrasi tanpa melepaskan keyakinan masing-masing. Penggunaan label radikal sebagai strategi untuk melemahkan pandangan politik alternatif karena bertentangan dengan semangat moderasi.
Kedua, melemahnya ikatan sosial dalam masyarakat. Kampanye moderasi keagamaan bertujuan untuk menciptakan masyarakat multikultur yang rukun dan solider. Ini dilakukan dengan melawan dan mentransformasi pandangan keagamaan yang eksklusif menjadi lebih inklusif. Sayangnya, misi ini akan terhambat oleh penggunaan label radikal yang sembarangan. Pasalnya, strategi labelisasi semacam itu akan membangkitkan rasa curiga yang berlebihan di antara sesama warga negara. Ini bisa berujung pada meningkatnya ketegangan atau bahkan aksi persekusi.
Ketiga, melemahnya kepercayaan publik pada kampanye moderasi. Proses ini terpantik ketika publik yang sebetulnya mendukung tujuan-tujuan moderasi keagamaan justru dicurigai sebagai kelompok yang radikal atau kurang moderat. Hal ini akan mendorong masyarakat untuk berpikir bahwa kampanye moderasi keagamaan menyimpan kepentingan-kepentingan tertentu yang merugikan mereka. Imbasnya, dukungan terhadap kampanye moderasi keagamaan bisa jadi bakal melemah.
Kampanye moderasi keagamaan masih dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang demokratis, rukun, dan solider di Indonesia. Berbagai pihak hendaknya tidak menggunakan narasi moderasi sebagai alat untuk melindungi kepentingan mereka sendiri.