Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jangan harap kita mampu berswasembada daging bila setiap hari ribuan sapi betina produktif disembelih. Penyembelihan itu nyata-nyata melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Pasal 18 ayat 2 undang-undang ini tegas melarang penyembelihan sapi betina produktif demi menjaga populasi.
Pelanggaran itu banyak terjadi di pelbagai daerah. Para peternak lokal seakan-akan tak menghiraukan dampak buruknya bila sapi betina produktif terus-menerus dipotong. Pasokan daging sapi bakal terancam. Tak ada lagi "regenerasi" sapi untuk menjaga kecukupan persediaan daging dalam jangka panjang. Ini artinya, target swasembada daging sapi pada 2014 semakin sulit terjangkau.
Penyembelihan liar itu memang tak bisa dianggap sepele. Audit Badan Pemeriksa Keuangan sepanjang periode 2010 hingga semester pertama 2011 menemukan sapi betina produktif yang dipotong dalam setahun mencapai 200 ribu ekor. Angka ini setara dengan 11,8 persen dari total sapi yang disembelih pada periode yang sama. Bahkan ada kecenderungan pemotongan ilegal ini semakin meningkat.
Ada beberapa sebab mengapa peternak tetap memotong sapi produktif. Pertama, dampak pengurangan kuota impor sapi. Menurut ketentuan Organisasi Pangan Sedunia, Food and Agricultural Organization, Indonesia hanya bisa disebut berswasembada daging bila konsumsi daging impor maksimal 10 persen dari total seluruh kebutuhan nasional sebesar 484 ribu ton setahun. Demi target ini, kuota impor pun dipangkas. Hasilnya, pasokan daging berkurang sehingga daging menjadi mahal—harga daging kita pun termahal di dunia. Peternak lalu tergiur memotong sapi betina yang masih produktif.
Penyebab kedua, lemahnya pengawasan. Sebagian besar rumah potong hewan adalah milik swasta, sehingga pengawasan jauh lebih sulit dilakukan. Petugas dinas peternakan pun tak bisa berbuat banyak mencegah pemotongan liar. Pengawasan semakin sulit karena banyak daerah belum membuat peraturan daerah pelarangan memotong sapi betina produktif sebagai turunan dari Undang-Undang Peternakan tadi.
Penyebab ketiga, tidak efektifnya dana insentif penyelamatan sapi. Tahun lalu pemerintah menyisihkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rp 550 miliar untuk insentif mencegah pemotongan sapi betina. Melalui skema ini, pemilik sapi bunting diberi imbalan Rp 500 ribu bila tidak menjual induk sapi hingga anaknya lahir. Kelompok peternak juga dibantu membeli sapi untuk dipelihara. Cara ini diharapkan ampuh meningkatkan populasi sapi.
Dana insentif ini sangat rawan ditelikung. Audit BPK menemukan banyak terjadi penyelewengan terhadap pencairan dana yang menggunakan skema pemberian bantuan sosial atawa hibah itu. Tak ada pengawasan ketat. Penerima insentif bahkan tak diwajibkan mempertanggungjawabkan uang yang mereka terima. Lalu muncullah berbagai kisah konyol. Di Lombok Timur, penerima bantuan ternyata pesantren yang menggunakan dananya untuk membeli tanah. Di Sidoarjo, Jawa Timur, kelompok peternak membeli sapi, tapi sebulan kemudian dijual, diganti unggas. Alasan mereka, ongkos beternak unggas lebih murah.
Semua kelemahan ini harus segera diatasi. Penggunaan dana insentif kudu diperketat. Bantuan dengan skema hibah harus dihentikan. Dinas peternakan daerah juga harus lebih tegas mencegah pemotongan sapi betina produktif. Kalau perlu, cabut izin rumah potong yang melanggar. Daerah juga mesti didorong membikin peraturan daerah yang melindungi sapi produktif ini. Akhirnya, BPK perlu mengaudit penggunaan dana yang tergolong besar ini, dan para penilapnya harus dihukum.
berita terkait di halaman 84
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo