Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BLANTIKA pemberantasan korupsi di Indonesia memasuki lakon baru: ”Senandung Antasari”. Sebermula dari sahifah tulisan tangan empat halaman, inilah konon testimoni Antasari Azhar, Ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sedang dipasung polisi dengan tuduhan pembunuhan berencana.
Testimoni—atawa testimonium de auditu—merupakan ”kesaksian” orang ketiga, yang masih harus diuji sebelum mendapat kekuatan hukum. Dalam testimoni itu, sang tersangka pembunuhan menuliskan cerita yang didengarnya dari Direktur Utama PT Masaro, Anggoro Widjojo, tentang penyuapan terhadap dua anggota pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang melibatkan uang Rp 6 miliar. Masaro sedang diperiksa Komisi dalam selingkuh proyek Sistem Radio Komunikasi dan Radio Terpadu Departemen Kehutanan, yang menyebabkan kerugian negara Rp 13 miliar.
Ada cerita, testimoni ditulis sebelum Antasari berstatus tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen. Menurut cerita ini, kepolisian meminta konfirmasi Antasari dalam mengembangkan kasus penyalahgunaan wewenang pimpinan Komisi. Antasari diketahui menemui Anggoro di Singapura—sembari memeriksakan kesehatan—untuk ”mencari kebenaran”. Tapi, sebelum beranjak jauh, ia ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan.
Kalau cerita ini benar, Antasari telah berbuat lancung. Ia bukan saja melanggar Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melainkan juga menerabas Kode Etik Pimpinan Komisi. Pasal 36 Undang-Undang Komisi menyatakan, pimpinan Komisi dilarang berhubungan langsung atau tak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi, dengan alasan apa pun. Pelanggaran terhadap pasal 36 diancam hukuman penjara lima tahun.
Merunut jalan cerita, Antasari sebetulnya sedang memperdalam ”lubang kubur”-nya. Agak sulit menarik kesimpulan tentang perkembangan kejiwaan bekas jaksa itu selama berada di dalam tahanan polisi, dengan tuduhan tindak pidana yang bukan main-main: pembunuhan berencana. Dengan ”senandung”-nya yang terakhir, Antasari seperti membuka jalan bagi kepolisian untuk menambahkan tuduhan berlapis-lapis bagi dirinya sendiri.
Ada dugaan, Antasari sedang mencoba melakukan ”barter” dengan kepolisian. Di tengah gonjang-ganjing ”pertarungan cicak versus buaya”, sang ketua (nonaktif) Komisi seolah memperlihatkan goodwill dengan memberikan senjata pamungkas untuk meringkus teman-temannya sendiri sesama pimpinan Komisi. Dengan tindakan ini, Antasari berharap mendapat keringanan hukuman.
Kalau dugaan itu benar, Antasari tampaknya salah kaprah. Testimoni yang diberikannya telah membuka aibnya sendiri. Sadar atau tidak, Antasari masuk ke pusaran arus yang ingin menenggelamkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Lembaga superbody itu memang bukan institusi yang kalis dari dosa. Meski membantah keras tudingan Antasari, bahkan berniat melaporkan sang ketua (nonaktif) ke kepolisian, Komisi selayaknya diperiksa secara proporsional dan profesional.
Sudah waktunya pula, sekali lagi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turun tangan untuk mendudukkan perkara pada tempatnya. Tindakan prioritas adalah mengajukan Antasari ke pengadilan untuk kasus pembunuhan. Setelah itu, baginya masih tersisa urusan yang terpaut testimoni dan permainannya dengan Anggoro Widjojo. Benang kusut ini pasti terurai jika pihak yang tersangkut bermain jernih, tanpa kelembaman semangat menumpas korupsi di negeri ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo