Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tamatkah Noordin?

10 Agustus 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGGEREBEKAN di Temanggung itu diyakini telah menewaskan buron kakap yang paling dicari polisi lebih dari tujuh tahun. Kuat diduga, yang tewas setelah serangan bom dan siraman peluru polisi itu adalah Noor Din M. Top, gembong teroris asal Malaysia. Kalau benar, ini prestasi besar: seorang yang bertanggung jawab atas serangkaian pengeboman di pelbagai tempat di Tanah Air, termasuk ledakan di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta pada 17 Juli lalu, telah dilenyapkan.

Ada yang istimewa melengkapi kerja polisi sekali ini. Drama penyerbuan dibuat sangat ”dekat” dengan pemirsa televisi, berkat kerja sama polisi dan pengasuh stasiun televisi swasta. Siaran langsung televisi itu sangat berbeda dengan penyergapan hampir empat tahun lalu, ketika tim detasemen antiteror menembaki pentolan Jamaah Islamiyah yang pakar perakit bom, Doktor Azahari, di sebuah perumahan di Batu, Jawa Timur. Bisa dibayangkan betapa hebat dampak lonjakan rating dua stasiun televisi swasta itu berkat tayangan langsung selama berjam-jam.

Drama mengerikan itu seakan menjadi tontonan mengasyikkan. Detik-demi detik penyergapan bisa disaksikan sambil menyeduh kopi dan mengunyah keripik singkong. Tampak sejumlah polisi berseragam hitam-hitam menggunakan tameng, melemparkan tiga bom berdaya ledak rendah, serta memberondongkan tembakan lewat senapan laras panjang dan pistol. Ini liputan tanpa tipuan kamera dan tanpa sensor.

Transparansi ini tak boleh berhenti sampai di sini. Liputan itu tentunya bukan untuk menyenangkan polisi semata, karena sukses melumpuhkan seorang pria yang dikabarkan ketika dikepung dan luka-luka di dalam rumah masih sempat menjawab pertanyaan polisi, ”Ya, saya Noor Din Top.” Pembuktian bahwa si lelaki benar-benar Noor Din semestinya dibuat segamblang tayangan luar biasa itu. Pengungkapan identitas korban kini justru menjadi pusat pertanyaan jutaan pemirsa.

Banyak yang percaya kasus ini ujungnya adalah happy ending jika nanti polisi mengumumkan secara meyakinkan hasil uji DNA bahwa yang tewas benar Noor Din M. Top. Kalau hasil uji genetis kelak menunjukkan lain, kenyataan itu tak mengecilkan nilai kinerja polisi dalam menumpas terorisme. Penghargaan setinggi-tingginya patut kita berikan kepada polisi.

Sudah tepat sikap Kepala Kepolisian RI Jenderal Bambang Hendarso Danuri, yang dalam konferensi pers beberapa jam setelah kejadian, tidak buru-buru memastikan bahwa jasad tewas adalah Noor Din. Kepala Polri mestinya juga memberikan penjelasan menyeluruh ketika menyebutkan bahwa beratus kilogram bom yang ditemukan di Bekasi akan dipakai teroris untuk meledakkan Istana Negara atau rumah pribadi Presiden Yudhoyono di Cikeas. Jika begitu adanya, ini berarti lahir motif baru bagi kelompok Noor Din, yang selama ini hanya menyerang properti atau warga Amerika Serikat dan negara yang dianggap bersekutu dengan AS. Motif baru itu sekaligus menimbulkan pertanyaan baru, karena selama ini bukanlah tipikal teroris itu untuk menyerang orang per orang.

Temuan lebih jauh di lapangan nanti diharapkan memecahkan ”misteri” ini. Sekarang biarlah perkara itu diselesaikan aparat penyidik. Bahwa kelak ditemukan benang merah antara penangkapan di Bekasi dan kekhawatiran Presiden Yudhoyono yang pernah menuduh bahwa ada pihak tertentu yang menjadikan dirinya sebagai sasaran tembak, itu perlu diungkapkan seterang-terangnya. Bekerja sekerasnya di lapangan mestinya menjadi prioritas utama polisi. Itu akan menghindarkan polisi dari tuduhan sekadar mencocok-cocokkan potongan puzzle yang masih hilang: hubungan antara teror bom dan hasil pemilu serta serangan terhadap Presiden.

Sembari menunggu hasil kerja polisi, ada baiknya dipahami, seandainya pun Noor Din yang tewas di Temanggung, bukan berarti ancaman terorisme telah berakhir. Tewasnya ”Noor Din”, terbunuhnya dua orang di Jatiasih, dan identifikasi dugaan pelaku pengeboman Mega Kuningan bernama Dani dan Nana, boleh jadi akan menurunkan eskalasi teror itu dalam jangka pendek.

Dalam jangka panjang, ancaman itu masih menganga. Harus diingat, jaringan Noor Din sudah tersebar ke seantero negeri ini, lewat sistem sel rahasia, dengan merekrut sejumlah kader—dikenal dengan ”pengantin bunuh diri”. Mereka siap ”berjihad” dan mati ”syahid” lewat modus bom bunuh diri. Bukan mustahil orang-orang yang seide dengan Azahari, Noor Din, Imam Samudra, dan lainnya masih banyak yang beroperasi.

Ingat Dulmatin alias Amar Usmanan atawa Joko Pitono? Teroris yang dihargai US$ 10 juta ini masih beredar entah di mana. Pria asal Pemalang, Jawa Tengah, ini sudah tiga kali diberitakan tewas tertembak militer Filipina, tetapi nihil hasilnya setelah dicek. Ia konon pernah belajar meracik bom di kamp-kamp Al-Qaidah di Afganistan dan berperan penting dalam bom Bali pada 2002. Umar Patek alias Abu Syeikh juga belum tertangkap. Artinya jelas, teror belum tamat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus