Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Senjakala Mubarak

7 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Mesir sejarah sedang memasuki episode yang niscaya, ketika despotisme sekarat dan masa depan menjanjikan kehidupan yang lebih baik dan terbuka. Sejak dua pekan lalu sekitar satu juta warga Mesir menggelar parlemen jalanan. Jika Presiden Husni Mubarak masih bertahan, sesungguhnya dia hanya sedang mencoba mengulur waktu untuk kejatuhan yang lebih tidak berharga.

Tak ada yang memperkirakan rakyat Mesir berani mengabaikan jam malam, menghadang tank, mengepung markas besar partai berkuasa, dan membalas serangan para harafeesh atau preman bayaran yang berpura-pura pro-Mubarak. Amerika Serikat, yang menjadikan Mesir sekutu terpentingnya di Timur Tengah, semula juga yakin—bahkan ketika demonstrasi telah masif—bahwa pemerintah Mubarak stabil dan sedang mencari cara merespons tuntutan rakyat.

Realitanya ternyata bertolak belakang. Seperti di negeri-negeri lain yang lebih dulu mengalaminya, rakyat Mesir sesungguhnya sudah kehilangan kesabaran. ”Bahkan andai kata anjing bisa bicara,” kata seorang demonstran di Kairo, ”mereka akan mengatakan bahwa mereka muak akan Husni Mubarak.”

Keinginan rakyat Mesir akan perubahan mudah sekali dipahami. Ada dorongan politik, juga dorongan ekonomi. Selama memerintah, Mubarak mengunci pintu perbedaan pendapat. Dia cenderung menumpas lawan-lawannya, paling tidak menebar ketakutan. Generasi yang lahir pada awal dia berkuasa, 1981, hidup dalam kekangan undang-undang keadaan darurat. Intel ada di mana-mana dan bisa memberangus siapa pun yang tak disukai. Kini, misalnya, lebih dari 1.200 anggota dan pendukung Ikhwanul Muslimin—salah satu kekuatan oposisi—meringkuk di penjara.

Pemilu memang diselenggarakan, seperti pada November lalu, untuk memilih anggota parlemen. Juga pemilu presiden, yang direncanakan berlangsung lagi pada September nanti. Tapi, untuk pemilu yang mana pun, setiap kontestan oposisi tahu benar betapa mustahil mengalahkan partai berkuasa manakala kecurangan meluas dan para calon serta pendukung mereka diintimidasi.

Selama itu Mubarak terus mengkonsolidasi kekuasaannya—seraya memupuk kleptokrasi di antara kroninya—ketimbang menyejahterakan rakyat. Mesir kini dijangkiti kemiskinan kronis, mulai dari pedesaan hingga perkotaan. Untuk bertahan hidup, kaum melarat harus banting tulang di jalanan, di pasar-pasar, mengantre pembagian roti, seraya terus-menerus berharap dengan sia-sia bisa memperoleh pekerjaan. Lebih dari 40 persen rakyat Mesir hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 2 per hari.

Masalahnya, demi mengubah nasib, mereka harus menghadapi Mubarak yang masih punya sejumlah kartu berharga. Sebagai diktator yang tersudut, dia telah memberikan konsesi kepada dua ”konstituen” utamanya, yakni masyarakat internasional, dalam hal ini Amerika Serikat dan para sekutunya, serta militer. Dia merombak kabinet dan mengangkat dua mantan petinggi penting militer sebagai wakil presiden dan perdana menteri.

Langkah itu memang tak menggoyahkan pendirian siapa pun di Kairo dan kota-kota lain. Tapi reaksi Amerika bisa dilunakkan dan peluang kudeta militer bisa diminimalkan. Amerika, meski gusar, hanya mengirimkan pesan keras berupa permintaan agar Mubarak mengakhiri jabatannya pada September nanti—permintaan yang sebenarnya merupakan penghinaan bagi orang-orang yang turun ke jalan. Militer pun, meski masih memberi angin kepada demonstran, kehilangan alasan untuk berbalik menentang Mubarak sebagai panglima tertingginya.

Boleh jadi Mubarak berilusi masih bisa bertahan. Walau demikian, situasinya tetap saja berpeluang menjadi sangat berbahaya. Jika demonstran bertahan, apalagi meluaskan aksinya dengan mengepung istana kepresidenan, pertumpahan darah bakal tak terhindarkan. Kecuali terus didukung masyarakat internasional, terutama Amerika Serikat dan para sekutunya, tragedi yang pernah menimpa etnis Kurdi di Irak ketika memberontak pada 1991 bisa terulang.

Masyarakat internasional memang tak boleh campur tangan, tapi satu-satunya cara masuk akal yang bisa dilakukan adalah menekan dan memaksa Mubarak menyerah. Setelah itu, biarkan Mesir merumuskan masa depannya dan menuliskan sejarahnya dengan damai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus