Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setidaknya ada dua hal yang menerbitkan kegusaran dan keprihatinan tatkala Komisi Pemberantasan Korupsi membekuk Damayanti Wisnu Putranti, anggota Komisi V DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pertama, bagi anggota Dewan, tertangkap dan dipenjara karena korupsi ternyata tak cukup menakutkan. Kedua, DPR sebagai institusi tak kunjung berhasil bersih-bersih diri, padahal sudah banyak kasus korupsi yang menghitamkan wajah parlemen kita itu. Buruknya wajah parlemen kembali terlihat saat Damayanti dan dua asistennya tertangkap tangan dalam urusan suap-menyuap.
Damayanti diduga menerima suap dari pengusaha asal Ambon, Abdul Khoir. Kasus ini juga melibatkan dua asistennya, Julia Prasetyarini dan Dessy A. Edwin. Keduanya menerima uang kontan Sing$ 33.000 per orang. Jumlah yang sama ditemukan di rumah Damayanti di Jalan Joe, Jakarta Selatan. Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan, Abdul Khoir, Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Kota Ambon, memberi komitmen pembayaran Sing$ 404 ribu atau sekitar Rp 3,9 miliar ke Damayanti.
PT Windhu Tunggal Utama menggarap sejumlah proyek jalan di Maluku. Proyek itu antara lain pembangunan jalan nasional ruas Tepa-Masbuar-Letwurung di Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya, senilai Rp 55,673 miliar. Ada juga proyek lain, yaitu pembangunan jalan Ilwaki-Lurang dan Tiakur-Weat, masing-masing bernilai Rp 68 miliar. Proyek-proyek itulah yang diduga juga dimainkan Damayanti agar lolos dan jatuh ke PT Windhu.
Kisah di atas bukan cerita baru di Senayan. Sejak KPK hadir pada 2002, sudah puluhan anggota Dewan masuk bui karena kasus korupsi. Alhasil, perbuatan Damayanti semakin mempertegas cacat di wajah Dewan. Lembaga ini seolah tak pernah putus dirundung kasus korupsi.
Kasus suap tak pernah lahir dari aksi tunggal. Kejahatan ini muncul karena permainan pejabat yang punya kekuasaan dan pelaku bisnis. Upaya memutus lingkaran setan korupsi mudah patah karena nafsu membarter kekuasaan dengan sogok tak kunjung padam. Itu sebabnya usaha membongkar korupsi sampai ke akar tidak pernah boleh berhenti, betapapun sulitnya.
KPK perlu menginvestigasi cara Damayanti bekerja dari dalam: Siapa yang bekerja sama; siapa mendapat apa; bagaimana dia membangun jaringan, dan mengegolkan proyek yang perlu anggukan rekan-rekannya di Komisi dan Badan Anggaran DPR.
Untuk membongkar kasus ini, Damayanti sebaiknya didorong menjadi justice collaborator, yaitu pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar jaringan kejahatannya. Untuk ini, ada kriteria yang harus dipenuhi: si calon kolaborator bersedia bekerja sama, harus punya informasi penting tentang kasusnya, taat proses hukum, dan bersedia mengembalikan uang hasil korupsi.
Kompensasinya, pelaku yang mau bekerja sama mendapat keringanan hukuman dan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Perlu dicatat, menjadikan seseorang sebagai justice collaborator harus berhati-hati. Jangan sampai pelaku korupsi justru memanfaatkan cara ini untuk mengejar keringanan hukuman belaka.
Kasus dugaan suap Ambon untuk Damayanti menjadi ujian bagi pimpinan KPK yang baru dilantik. Memang tak mudah menyeret keluar semua pelaku. Cara klasik yang selalu bisa dipakai adalah ini: mencongkel habis akar korupsi harus dilakukan di tempatnya bertumbuh. Dalam kasus Damayanti, akar itu merambat dari Senayan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo