Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI negeri yang dirundung teror, kita dituntut untuk pintar-pintar menjalankan "pendekatan keamanan" seraya tetap menghormati hak asasi manusia. Laju demokratisasi di Indonesia tentu tak bisa dihambat. Pekerjaan sulit itu kini kita hadapi: menjaga keamanan rakyat, namun tak melanggar prinsip hak asasi manusia. Pemerintah sepatutnya dapat memastikan kedua prinsip itu bisa berjalan bersama.
Delapan orang—empat di antaranya pelaku teror—tewas dan 27 luka-luka dalam rangkaian kekerasan bom bunuh diri, penembakan, dan pelemparan granat, yang menyentak kesibukan pagi di Jalan M.H. Thamrin, jantung Kota Jakarta—tak begitu jauh dari Istana Merdeka. ISIS, Negara Islam Irak dan Suriah, mengklaim bertanggung jawab. Selang beberapa jam setelah kejadian mengejutkan itu, pemerintah menyampaikan tekad merevisi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Setiap produk hukum memiliki asbabun nuzul. Pada 12 Oktober 2002, bom meledak di kawasan Kuta, Bali. Enam hari setelah peristiwa yang menewaskan ratusan orang itu, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Perpu berisi 47 pasal ini mengatur cukup terinci soal kejahatan terorisme dan penanganannya.
Kini ada teror di Jalan Thamrin, yang diharapkan akan melahirkan revisi terhadap undang-undang terorisme. Pemerintah meyakini revisi diperlukan agar aparat secara lebih dini dapat mencegah teror.
Undang-undang antiteror disusun pada 2002-2003 dengan berpedoman pada pola gerakan pelaku bom Bali. Tapi aksi dan pelaku teror sudah berubah. Para analis menyebutkan teror saat ini menggunakan metode serangan yang lebih terbuka dan menyasar area publik. Target pun ditentukan secara simultan dan acak.
Mereka memang tidak lagi menggunakan bom berdaya ledak tinggi—salah satu sebabnya adalah akses yang makin terbatas terhadap bahan baku. Bom Thamrin, kita tahu, menggunakan pupuk urea dengan pemantik sumbu– peledak yang tergolong sederhana. Tapi, dengan sebaran yang masif dan acak, bom paling sederhana pun tetap mampu mendatangkan korban dan memunculkan rasa takut.
Perpecahan di antara dua kelompok radikal—Al-Qaidah dan ISIS—belakangan ini juga lebih banyak menimbulkan kontestasi yang membahayakan publik ketimbang melemahkan keduanya. Mungkin tak lama lagi kontestasi mengerikan antara Al-Qaidah dan ISIS akan membawa lebih banyak kerusakan terhadap negeri ini: semakin destruktif, semakin banyak korban yang jatuh.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mungkin tidak cukup bergigi untuk mendeteksi secara dini dan mencegah para penebar dan pelaku teror beraksi. Tidak ada satu pun pasal yang membolehkan polisi menangkap atau mencegah mereka yang baru pulang atau hendak berangkat latihan militer dan bergabung dengan kelompok radikal seperti ISIS di luar negeri.
Di lain pihak, sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 sebetulnya cukup "longgar" dalam mendefinisikan terorisme. Misalnya definisi "ancaman kekerasan" yang menjadi faktor penentu bagi aparat bertindak. Pada bagian awal, di pasal 1 ayat 5, disebutkan "ancaman kekerasan" diartikan sebagai "setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas".
Dengan kata lain, revisi Undang-Undang Antiteror selayaknya tak cuma meluaskan wewenang aparat penegak hukum, tapi juga menyempitkan hal-hal yang semula berlebihan. Pemerintah seyogianya waspada terhadap para "penumpang gelap": mereka yang mengambil untung dengan semakin besarnya wewenang penegak hukum mencegah teror. Ujaran kebencian, misalnya, tak boleh dipidana, tapi cukup dijadikan alat untuk mengidentifikasi potensi teror.
Kita berharap bahwa pemerintah, polisi, dan DPR bisa melihat keinginan perubahan ini lebih jernih dan menempatkan revisi demi kepentingan publik, bukan kepentingan kelompok.
Di atas itu semua, revisi Undang-Undang Nomor 15 bukan satu-satunya cara untuk mengakhiri terorisme. Banyak fakta menunjukkan munculnya radikalisme lantaran negara gagal mewujudkan kesejahteraan, menghapus marginalisasi, pengangguran, dan kemiskinan. Program deradikalisasi yang selama ini berlangsung telah gagal mengembalikan orang-orang radikal ke jalan lurus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo