Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESEKALI mari bicara tentang pesantren—saat bulan puasa melintas kembali tahun ini. Lembaga pendidikan Islam itu kerap diidentikkan dengan sebuah kerajaan kecil yang mencetak para ahli agama. Di bilik bilik mungil seadanya bermukim ratusan atau bahkan ribuan santri. Mereka belajar ilmu fikih, tafsir, hadis, logika, dan gramatika, lewat segepok buku klasik yang biasa disebut kitab kuning—karena lembarannya berwarna kuning. Sistem pengajarannya pun beragam, dari yang tradisional ala bandongan dan wetonan sampai yang ahlan wa sahlan terhadap kurikulum pelajaran ”umum” yang diajarkan secara klasikal.
Figur sentralnya seorang kiai, ajengan, atau tuan guru yang merupakan pendiri sekaligus pemilik pesantren. Kelak, ”raja kecil” itu akan mewariskan kepemimpinan pesantren kepada anak cucunya. Sejumlah tata nilai dijaga ketat: santri kudu patuh kepada kiai, hidup sederhana, dan menjaga harga diri. Tak berlebihan jika lembaga ini dianggap sebagai stasiun bagi jenius lokal, sekaligus produk budaya yang unik, yang mensintesiskan dimensi sosial, budaya, dan agama. Tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara bahkan mendukung pesantren sebagai model sistem pendidikan nasional.
Belakangan muncul upaya untuk mereformulasi peran ideal pesantren di tengah masyarakat pada zaman Facebook ini. Perhatian yang pantas diberikan, apalagi jika menilik angka statistik bahwa pertumbuhan pesantren di Indonesia luar biasa. Artinya, permintaan akan pendidikan pesantren meningkat tajam. Departemen Agama mencatat ada sedikitnya 21 ribu pesantren di seluruh Tanah Air, dengan hampir empat juta santri. Angka ini meningkat empat kali lipat dalam 20 tahun terakhir, atau dua kali lipat dalam enam tahun belakangan ini.
Mereka bisa saja dikategorikan secara sederhana dalam dua kutub: ”salafi” alias kolot versus modern. Namun setiap pesantren punya ciri khas dan wajahnya sendiri. Ada yang memberikan tekanan pada ilmu fikih, ada yang mumpuni dalam mengajarkan bahasa Arab. Tak sedikit yang menekankan ilmu tasawuf, atau menonjol dalam teknik hafalan Quran, atau bahkan sekadar menulis kaligrafi. Belakangan ada pula yang mencampur kekuatan pemahaman teks klasik Islam itu dengan keterampilan yang ”sekuler”, keterampilan berbisnis misalnya.
Pesantren jelas akan diuji menghadapi tantangan dikotomi yang terus menggoda ini. Akankah mereka tetap bertahan dengan tradisi klasiknya, yang ortodoks, atau bermetamorfosis menjadi institusi modern yang sekuler tanpa kehilangan pijakan spiritualitasnya. Pesantren modern menggunakan perangkat organisasi masa kini untuk mengatur seluruh asetnya. Sedangkan yang tradisional tetap bergantung pada otoritas sang kiai yang diyakini menjalankan misi dan tugas agama.
Sejarah membuktikan, banyak pesantren yang gagal menjaga otonomi, identitas, dan spirit tradisionalismenya menghadapi tantangan dunia modern. Pesantren kondang Tebuireng Jombang, misalnya, termasuk yang melakukan adaptasi ke arah ”modernitas” ini.
Bukanlah sikap tercela kalau kemudian pesantren mulai menambah materi subyek subyek sekuler ke dalam kurikulumnya. Ini dinilai para analis pesantren sebagai cara untuk bernegosiasi terhadap modernitas. Harus diakui bahwa keputusan ini punya konsekuensi berat. Penambahan kurikulum yang diakui negara telah mempengaruhi pesantren tradisional dalam banyak hal. Adanya kontrol yang lebih besar dari pemerintah tak bisa dihindari. Pesantren jelas tak punya pilihan selain harus berkompromi.
Pesantren dituntut berubah. Ia bukan hanya institusi pendidikan dan pelayanan agama. Namun, di sisi lain, transformasi internal sedang terjadi secara perlahan tapi pasti, melalui sekularisasi yang menembus pesantren. Secara langsung atau tidak langsung, pesantren harus memperlengkapi diri dengan ”keterampilan sekuler” untuk menggunakan sumber sumber dayanya. Proses tawar menawar antara tradisi dan modernitas akan terus terjadi.
Fenomena inilah yang kemudian ditunjukkan oleh Pesantren Sidogiri di Pasuruan, misalnya. Mereka tetap berpijak pada teks teks klasik Islam, meski berkembang dengan koperasi dan usaha kecil lain. Pesantren Al Ashriyyah Nurul Iman di Parung juga terkenal dengan kemandirian dan usaha kecilnya. Pesantren Salafiyah Safi’iyah di Gorontalo malah bersahabat dengan komunitas pemeluk Kristen dan Hindu. Adapun Pondok Pesantren Qamarul Huda di Lombok, sambil terus mengaji, juga mengkampanyekan penyelamatan lingkungan.
Modernisme tak bisa dielakkan. Pesantren mestinya tetap bisa berperan sebagai lembaga pendidikan, pencetak kader ulama, dan pengembangan sosial masyarakat. Pesantren perlu terus berdiri sebagai sebuah simbol peradaban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo