Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
M. Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika mendatangi museum perumusan naskah proklamasi di Jalan Imam Bonjol, Jakarta, saya terbayang propaganda Jepang yang mengklaim dirinya sebagai saudara tua. Karena itulah Bung Karno dan para tokoh nasional bersikap akomodatif, kendati ada juga kelompok yang menentang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Museum itu merupakan bekas rumah Laksamana Maeda, perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang di Hindia Belanda. Di situlah Sukarno-Hatta merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang hendak dibacakan keesokan harinya, 17 Agustus 1945.
Sebagai saudara tua, Jepang mendekonstruksi banyak hal. Pengorganisasian masyarakat diatur ulang. Organisasi rukun tetangga pun konon bikinan Jepang. Cara bertanam padi yang rapi karena memakai galah ukuran, juga cara Jepang. Militerisasi memang memerlukan disiplin tinggi, kendati kadang berlebihan. Melayangnya ribuan nyawa dalam kerja paksa romusha dan perang tentu tak dapat dilewatkan. Jepang tetaplah imperialis yang menindas rakyat.
Dalam peta global saat itu, Jepang hadir sebagai representasi kekuatan militer dan politik yang mencengangkan dalam Perang Asia Pasifik. Tapi, jauh sebelum itu, sebagai bangsa Asia, Jepang telah mampu menghadirkan harapan baru nasionalisme Asia yang virusnya merembet ke mana-mana. Pankaj Mishra dalam From the Ruins of Empire: The Intellectuals Who Remade Asia (2012) mencatat kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905 merupakan pangkal naiknya rasa percaya diri dan nasionalisme Asia.
Apakah Sukarno di Hindia Belanda, Nehru di India, dan Mustafa Kemal di Turki Usmani sama-sama terinspirasi oleh kejadian tersebut? Mereka menemukan kisah nyata bahwa bangsa Asia yang selama berabad-abad terpuruk oleh bangsa Eropa ternyata mampu bangkit dan menang. Mitos bangsa Asia yang ditakdirkan tak mungkin mampu melawan Eropa patah oleh kemenangan Jepang atas Rusia pada 1905.
Dari sini bisa dipahami, ketika Jepang hadir menggantikan Belanda, banyak tokoh nasional memandangnya sebagai kekuatan alternatif untuk menyingkirkan penjajah Belanda. Bahkan, pada 1943, Buya Hamka pun berpidato panjang di depan ribuan orang mendukung propaganda Jepang di Medan. Rasa-rasanya semakin mantaplah Indonesia sebagai saudara muda.
Tapi perubahan politik terjadi. Setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, pada 14 Agustus 1945, Jepang resmi menyerah. Para tokoh bangsa memanfaatkan peristiwa itu untuk menyatakan kemerdekaan. Fakta diterbangkannya Bung Karno, Hatta, dan Radjiman ke markas Jepang di Asia Tenggara, Dalat, untuk bertemu dengan Jenderal Besar Terauchi pada 9 Agustus 1945 dan kembali ke Jakarta pada 15 Agustus 1945 menggambarkan pentingnya faktor Jepang, juga kontribusi Laksamana Maeda.
Kini, 74 tahun setelah kemerdekaan Indonesia, kondisi saudara tua telah melesat jauh sebagai negara maju. Kendati pada 1945 jatuh terpuruk, porak-poranda karena perang, Jepang mampu bangkit kembali sebagai negara maju di Asia Timur. Khisore Mahbubani dalam Can Asians Think? (1998) mencatat, Jepang merupakan satu-satunya bangsa di Asia yang paling cepat menerapkan pola Barat dalam pembangunannya.
Saya berdiri di depan poster tua propaganda Jepang di museum itu. Saudara tua itu seolah-olah terheran-heran dengan saudara mudanya, mengapa setelah sekian lama tidak maju-maju sebagai bangsa. Saya terkesiap. Barangkali kita memang telah mampu melakukan proses pemerdekaan. Merdeka dari penjajahan fisik kolonial Belanda dan Jepang. Merdeka dari sistem lama yang tidak demokratis. Dan merdeka sebagai semacam jimat sakti yang selalu hadir pada 17 Agustus, tapi kurang dalam pencerdasan.
Mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sekadar sepotong kalimat sakral Pembukaan UUD 1945. Kalimat itu harus terus-menerus kita ikhtiarkan. Hanya dengan kecerdasan tingkat tinggilah kita bisa mengejar bangsa-bangsa maju. Sumber daya manusia unggul, sebagaimana jargon hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-74, menegaskannya. Unggul sudah otomatis cerdas.
Jelaslah bahwa strategi pendidikan dan kebudayaan penting. Hal itu harus bertumpu pada paradigma keadilan sosial. Kesenjangan mutu pendidikan harus diatasi. Kolaborasinya dengan dunia industri harus terus ditingkatkan. Kebijakan zonasi dalam penataan pendidikan sekaligus peningkatan pendidikan vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah tepat. Kebijakan zonasi yang tidak berhenti pada penerimaan peserta didik baru, tapi juga rotasi guru dan perbaikan sarana-prasarana, bukan saja konsekuensi politik pendidikan berkeadilan sosial, melainkan juga menjawab ragam masalah pelik pendidikan dari level mikro. Hambatan birokrasi jelas harus dipangkas.
Itu baru satu langkah yang harus dilakukan secara konsisten. Sinergi antarlembaga, antara pemerintah pusat dan daerah, serta kolaborasi antarpemangku kepentingan harus dipacu. Riset-riset strategis dikembangkan secara keilmuan kolaboratif. Manajemen pemanfaatan potensi diaspora Indonesia harus lebih diefektifkan. Juga dalam konteks pencarian dan penumbuhan bakat-bakat unggul Indonesia.
Kita harus terus bergerak agar bangsa ini semakin cerdas dan cepat bisa menyusul kemajuan saudara tua.