Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal Februari 2019, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menarik peredaran salah satu buku pelajaran tematik Kurikulum 2013. Desakan ini disampaikan karena buku itu memuat deskripsi bahwa NU adalah organisasi radikal.
Elite PBNU tampaknya tak nyaman dengan sebutan itu karena kata radikal telanjur mengalami peyorasi. Dalam pemakaian sehari-hari, kata itu sering digunakan untuk menyebut kelompok atau pemikiran yang berorientasi pada tindak kekerasan dan teror.
Jika ditelusuri, peyorasi kata radikal berlangsung cepat. Pada awal 2000-an, makna kata radikal relatif masih netral. Kata itu digunakan untuk menyebut cara berpikir yang mendasar hingga ke akar-akarnya. Makna itu relevan dengan makna kata radic yang berarti akar. Kamus Besar Bahasa Indonesia bahkan mencatat makna lain yang lebih positif, yaitu “maju dalam berpikir atau bertindak”.
Dalam pembicaraan tentang ideologi, dulu kata radikal sering digunakan untuk menyebut organisasi berhaluan kiri. Sebutan ini tidak keliru karena organisasi jenis itu memang lazim menghendaki perubahan mendasar. Mereka ingin struktur politik dan ekonomi negara diubah dengan cepat.
Pada 1960-an, kata ini juga digunakan sebagai atribusi bagi aliran pemikiran yang bersikap lebih tegas dalam menyikapi sesuatu. Di kalangan feminis, ada kelompok yang disebut sebagai “feminis radikal”. Di kalangan demokrat pun ada sayap gerakan yang disebut “demokrat radikal”.
Agak sulit memastikan kapan kata radikal mulai bermakna cenderung negatif. Tapi perang wacana yang terjadi setelah tragedi 11 September patut dicatat secara khusus. Penyerangan dua gedung di Amerika Serikat itu membuat negara adikuasa ini menyerang Afganistan dan kemudian Irak. Amerika mendapat perlawanan tidak hanya oleh tentara di kedua negara itu, tapi juga oleh kelompok Islam di berbagai negara.
Kelompok yang melakukan perlawanan itulah yang dalam pertarungan wacana disebut sebagai “Islam radikal”. Dengan demikian, penggunaan kata radikal merupakan bagian dari perang wacana antara Amerika dan kelompok milisi yang melawannya. Dengan menggunakan kata itu, Amerika berusaha mendelegitimasi milisi yang dengan heroik menyebut tindakannya sebagai “jihad”.
Peyorasi kata radikal membuktikan bahwa kata memiliki lapisan makna menyerupai irisan bawang. Titik paling tengah adalah makna otoritatif. Makna ini biasanya ditahbiskan lembaga resmi, baik pemerintah, media massa, maupun lembaga pengetahuan. Namun makna otoritatif itu tidak tetap. Makna sebuah kata bisa digeser jika kondisi yang memungkinkan terpenuhi. Pada kondisi pertama, lembaga otoritatif sengaja menggesernya. Ini bisa terjadi jika makna lama dinilai tidak lagi menguntungkan. Pada kondisi kedua, muncul otoritas alternatif yang pengaruhnya lebih besar. Pada zaman sekarang, otoritas alternatif itu bisa berupa orang biasa yang mendadak menjadi influencer di Internet.
Pola pergeseran makna yang sama dapat ditemukan pada kata birokratis. Meskipun birokrat adalah pekerjaan yang dinilai baik dan diidamkan banyak orang, kata birokratis bermakna sangat buruk. Kata ini berfungsi seperti tong sampah yang digunakan untuk menampung semua sifat buruk pegawai atau lembaga pemerintah: lamban, korup, nepotis, terlalu berjenjang, dan sebagainya.
Secara formal, kata birokratis bermakna “bersifat birokrasi”. Tapi tidak ada satu pun orang yang menggunakan kata itu untuk mengekspresikan sifat baik birokrasi. Dalam konteks apa pun, misalnya, kata birokratis tidak pernah digunakan secara implisit untuk menyebut sifat cepat, ramah, tertib, atau disiplin. Justru jika ada birokrat atau lembaga birokrasi yang memberikan pelayanan berkualitas seperti itu, publik akan menyebutnya “tidak birokratis”.
Meski polanya sama, bentuk pergeseran kedua kata itu cukup unik. Pada kata radikal, perebutan makna dilakukan secara terencana. Agen-agennya melibatkan teknologi wacana yang canggih dan masif. Bahkan, menurut Bennett, Lawrence, dan Livingston (2007), pemerintah Bush-Cheney harus memanipulasi media massa agar mendukung strategi wacananya.
Namun, pada contoh kata birokratis, makna negatif diteguhkan melalui pengalaman sehari-hari warga. Karena muncul terus-menerus, makna negatif kata tertancap kuat. Artinya, sebagaimana lembaga pemerintah atau media massa, publik memiliki otoritas memperkukuh makna kata. Karena itu, kalau masih ada lembaga birokrat atau lembaga birokrasi yang terlalu birokratis, boleh saja disebut “birokratis radikal”.
*) Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo