Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalangan partai politik perlu mengkaji serius hasil pemilihan umum legislatif 2019 yang cukup mengejutkan. Politik uang masih merajalela, terutama di daerah-daerah. Tapi popularitas kini bukan jaminan untuk terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Tiga menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa bahkan diprediksi gagal masuk Senayan. Mereka adalah Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, serta Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo. Adapun Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dari Partai Persatuan Pembangunan hampir dipastikan tak terpilih sebagai anggota Dewan.
Sejumlah tokoh populer pun terancam gagal, seperti Ferdinand Hutahaean dari Partai Demokrat dan artis Tessa Kaunang dari Partai NasDem. Politikus Eva Sundari dan Budiman Sudjatmiko dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan diperkirakan pula tak lolos ke Senayan. Fenomena ini merupakan pelajaran penting bagi partai politik. Memajang tokoh tenar bukan lagi resep manjur untuk memenangi pemilu legislatif.
Dalam pemilu legislatif kali ini, muncul faktor lain yang cukup berpengaruh: afiliasi partai pada salah satu calon presiden. Realitasnya, sungguh sulit calon anggota legislatif bertarung di daerah yang dikenal sebagai “wilayah” calon presiden dari kubu lawan. Adapun partai yang satu basis dengan calon presiden yang disokong akan lebih diuntungkan. Komplikasi ini tidak terjadi andai kata setiap partai boleh mengusung satu calon presiden.
Persaingan pemilu legislatif juga makin sengit sekaligus kotor karena politik uang masih merajalela. Indikasi ini terlihat dalam kasus anggota DPR, Bowo Sidik Pangarso, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus suap. Terungkap, politikus Golkar itu telah menyiapkan miliaran rupiah untuk “serangan fajar” di sebuah daerah pemilihan di Jawa Tengah.
Sejumlah temuan lain memperlihatkan indikasi serupa. Menjelang pencoblosan, polisi menyita uang tunai Rp 1 miliar lebih dan atribut partai politik dalam sebuah razia di Kota Lamongan, Jawa Timur. Badan Pengawas Pemilu Kota Pekanbaru dan polisi juga menyita uang Rp 506 juta lebih di lobi sebuah hotel di Pekanbaru, Riau. Uang ini diduga akan dibagi-bagikan ke masyarakat buat memenangi pemilu legislatif.
Kalangan partai politik semestinya kompak memerangi politik uang. Praktik ini menyebabkan biaya politik makin tinggi. Hasil penelitian Policy Research Network serta Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia pada 2014 memberikan gambaran besarnya ongkos politik. Calon anggota legislatif umumnya menghabiskan uang antara Rp 1,18 miliar dan Rp 4,6 miliar. Duit itu digunakan untuk berbagai hal, dari pencetakan spanduk sampai pengerahan massa.
Partai politik perlu mengubah pola kampanye agar tidak membebani para anggota legislatif. Kampanye para calon legislator dari satu partai, misalnya, bisa dilakukan secara bersama-sama. Partai bahkan harus ikut membiayai kampanye para calon anggota legislatif. Mau tidak mau, partai politik harus memiliki dana yang cukup lewat pemasukan yang sah, seperti iuran anggota partai dan sumbangan.
Rekrutmen calon anggota legislatif pun dibenahi. Cara pragmatis mendongkrak perolehan suara partai dengan memasang figur terkenal sudah saatnya ditinggalkan. Idealnya, partai politik mengusung kader yang bermutu dan benar-benar berakar dalam masyarakat, bukan memajang artis atau calon yang punya banyak duit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo