Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Siapa Meracun Munir

22 November 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KECURIGAAN muncul sejak awal. Sejak Munir dikabarkan wafat dalam pesawat terbang yang membawanya ke Belanda pada 7 September silam. Ia belum pantas meninggal?usianya belum genap 39 tahun. Aktivis pembela hak-hak asasi manusia itu sekali pernah dirawat karena levernya ngadat, walau setelah itu ia tak pernah sakit gawat. Menjelang berangkat ke Belanda untuk menempuh program master pada bidang hukum, ayah dua anak ini kelihatan happy. Ia berfoto dengan istri dan rekan-rekannya di bandara dalam suasana penuh canda tawa. Maka, hasil otopsi yang dilakukan Nederlands Forensich Instituut dan diumumkan dua pekan lalu, yang menyebutkan Munir meninggal tidak wajar akibat zat arsenik, seakan-akan mengkonfirmasi kecurigaan bahwa ada yang sengaja memaksa hidupnya berakhir.

Kecurigaan seperti ini ada dasarnya. Hasil otopsi menunjukkan bahwa kandungan zat arsenik di tubuh Munir mencapai 465 mg?padahal, 150 mg saja sudah cukup membuat hidup kita tamat. Cara masuknya zat mematikan itu ke dalam tubuh Munir juga bukan tergolong "kronis" atau perlahan-lahan; misalnya karena mengkonsumsi obat, makanan, minuman yang mengandung arsen dalam periode panjang. Tapi tergolong "akut" atau datang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Ditemukannya arsen di lambung?selain di dalam darah dan urine?memperkuat dugaan bahwa zat arsen itu belum terlalu lama mengendap.

Dari mana arsen itu berasal? Bagaimana bisa "bersarang" di tubuh kurus sang aktivis? Dua pertanyaan ini belum akan mendapat jawaban memadai sebelum penyelidikan dilakukan. Dengan demikian, dugaan-dugaan mengenai siapa yang menginginkan Munir "pergi" juga belum segera berjawab.

Kita tahu Munir pernah membela dengan gigih keluarga para aktivis prodemokrasi yang secara politik "dilenyapkan" oleh sebuah satuan militer. Dia pernah menjadi koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada 1998. Setelah itu, ia bergiat memonitor pelanggaran hak asasi manusia. Sebagai Direktur Eksekutif Imparsial, The Indonesian Human Right Monitor, Munir memang secara terbuka menyatakan kritiknya terhadap operasi militer di Aceh yang dinilainya sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia. Semua aktivitasnya kerap bersentuhan dengan aparat keamanan, tapi aktivitas itu sudah lama dijalaninya, bahkan sejak sebelum era reformasi 1998 yang dianggap "masa-masa gawat" bagi para aktivis prodemokrasi.

Bukankah dengan begitu "momentum" untuk menghentikan Munir sudah lewat? Secara awam "hipotesis" begini bisa diterima, tapi tak ada yang bisa menjamin kebenarannya. Lagi pula, spektrum kegiatan Munir luas. Dalam hiruk-pikuk pemberantasan korupsi di negeri ini, dia juga bergiat menyelidiki kasus-kasus yang dianggapnya penting. Belum semua kasus bisa dilacak, diangkat ke permukaan, lalu diharapkan ada tindakan hukum atas pelakunya. Karena itu, perlu bukti lebih kuat untuk mengatakan bahwa racun itu adalah reaksi pihak yang merasa "terusik".

Sebelum duga-menduga di masyarakat merebak luas, dalam jangka pendek ini, bukti yang perlu dicari adalah asal-muasal arsen itu. Penyelidikan bisa dimulai sebelum ia terbang, sebab seorang ahli forensik mengatakan, bisa saja proses peracunan itu berlangsung sejak empat hari terakhir sebelum wafat. Ahli lain menekankan bahwa Bandara Soekarno-Hatta, perjalanan pesawat Jakarta-Singapura, dan Bandara Changi (pesawat Garuda yang ditumpanginya transit satu jam di sana), adalah tempat yang paling layak dicurigai sebagai sumber zat arsenik itu.

Tentu penting benar memeriksa passenger list, untuk memastikan siapa saja di pesawat itu. Di sini juga harus dipastikan, siapa yang "berbaik hati" memberikan tiket kelas bisnis kepadanya, padahal ia membeli tiket kelas ekonomi. Munir mengaku mereguk orange juice, tapi sebaiknya dicari tahu apakah tak ada makanan lain yang disantapnya, misalnya mi goreng atau muslim meal seperti yang dikabarkan sejumlah sumber.

Dalam penyelidikan ini, bisa dibayangkan bahwa Munir adalah sosok yang mengkalkulasi setiap langkahnya, mengingat risiko tinggi pekerjaan yang dijalaninya. Ia tidak mudah menerima ajakan orang "asing" untuk makan atau minum sembarangan, apalagi di tempat yang tidak dikenalnya. Kalau benar sumber arsen ini makanan atau minuman, dan itu datang sebelum ia terbang atau di tiga lokasi tadi, si pelaku jelas orang yang punya kedekatan hubungan dengannya. Setidak-tidaknya, orang yang tidak membuat Munir curiga walau berada dalam jarak yang dekat. Dia bisa saja orang yang sebelumnya sudah "beredar" dalam hidup Munir.

Biarlah penyelidikan nanti yang memastikan kebenaran jejak-jejak itu. Penyelidikan dituntut transparan dan melibatkan kalangan independen, agar hasilnya bisa diterima dan dipercaya masyarakat luas. Untuk itu, perlu sebuah tim yang memasukkan orang yang ahli, tepercaya, dan dikenal punya integritas baik. Hasil tim itu akan jadi tolok ukur keseriusan pemerintah SBY menangani kasus pelanggaran hak asasi berat ini, sekaligus menyingkap tanda tanya yang berkecamuk di masyarakat: mengapa aktivis yang bekerja membuat Indonesia lebih baik itu harus diracun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus