Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita bicara tentang Aceh. Dan yang mungkin dibutuhkan sekarang adalah interupsi, dan bukan kelanjutan sekuen kekerasan.
Kita tahu, ada ritual yang tak kunjung berubah di sepanjang setengah abad terakhir. Nama dan skalanya bisa macam-macam: ada daerah operasi militer, darurat militer, dan ada darurat sipil i, tapi tiap-tiap pemerintah menggunakan moncong senapan sebagai ujung tombaknya. Enam pemerintah yang berbeda telah tegak di puncak negeri ini, tapi masing-masing telah mencapai hasil sama: Aceh yang berdarah.
Kini darurat sipil II. Kita memang tahu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah membatasi kondisi itu hingga enam bulan, dan seraya membuat opsi terbuka: setiap bulan diadakan evaluasi. Ya, sebuah evaluasi yang akan memutuskan apakah keadaan itu dipertahankan hingga mencapai tenggat, atau cukup dihentikan di tengah jalan. Kebijakannya cukup luwes, kreatif, tapi satu hal mesti diingat. Operasi itu memang meliputi rehabilitasi sosial-ekonomi, penegakan hukum, dan pemberdayaan aparatur negara, tapi landasan yang memungkinkannya bergerak tetap sebuah operasi keamanan (militer dan polisional). Dengan kata lain, kemungkinan korban sipil tetap terbuka.
Aceh adalah soal kesenjangan pusat-daerah yang berpangkal di suatu titik yang jelas (baca: ketidakadilan ekonomi), tapi kini berujung entah di mana. Di Jakarta, kita hanya bisa merasa konflik di pucuk Pulau Sumatera itu bagian dari keseharian. Dan perlahan-lahan, mungkin tanpa disadari, kita telah kehilangan sensitivitas. Televisi tetap rajin memberitakan pertarungan TNI vs Gerakan Aceh Merdeka. Tapi mayat warga sipil yang bersaput debu, berselimut daun pisang di tepi jalan, bukan lagi pemandangan horor yang menyentak. Minimal, panorama seperti itu tak semenyakitkan-semenyedihkan minggu-minggu pertama kala darurat sipil I diterapkan. Desensitisasi istilah Freudian-nya, tapi itulah kesan yang ditinggalkan konflik Aceh, produk satu tahun darurat militer, enam bulan darurat sipil.
Di Nanggroe Aceh Darussalam, ada gundukan yang semakin tinggi: timbunan dendam dan apatisme. Kita tahu, dendam dari ekses operasi militer telah menyuburkan regenerasi dan popularitas GAM, tapi darurat sipil?dengan wewenang lokal tertinggi berada di tangan orang sipil?telah mengobarkan pesimisme. Korupsi meranggas dengan kecepatan di luar dugaan. Program pembangunan jalan Ladia Galaska, yang melibatkan aneka instansi negara, menimbulkan kerusakan lingkungan serius dan menelan anggaran Rp 1,2 triliun. Tapi puncaknya adalah pengadaan genset Rp 30 miliar dan helikopter Rusia senilai Rp 12,5 miliar. Sampai sekarang, Gubernur Abdullah Puteh, yang disinyalir berada di balik itu, tetap berstatus tersangka.
Aceh semenjak Indonesia merdeka adalah sejarah sekumpulan trauma. Dari satu kebijakan ke kebijakan lain, tampaklah para pembuat keputusan di Jakarta, dari pemerintah Sukarno hingga Bambang Yudhoyono, sedemikian cepat mengartikulasikan kepentingan nasional, juga sangat cepat melupakan kepentingan lokal. Dalam keterangannya tentang hasil rapat kabinet tentang Aceh barusan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo A.S. menggarisbawahi, "Kepentingan nasional harus didahulukan daripada kepentingan daerah." Tentu saja, sebuah penegasan sikap sekaligus ilustrasi yang meninggalkan kesan: kepentingan nasional dan kepentingan daerah tidak selalu seiring-sejalan.
Ya, kalau kita bicara tentang Aceh, yang sangat mungkin dibutuhkan sekarang adalah interupsi terhadap rangkaian kekerasan dan pengabaian kepentingan daerah yang berumur panjang. Bukan perpanjangan status darurat sipil, melainkan Aceh yang tidak lagi menyandang status darurat. Sebuah pendekatan baru dengan logika terbalik: Aceh yang berstatus "non-darurat", dengan evaluasi yang cermat tiap-tiap bulan, dan selalu membuka bermacam opsi berdasarkan hasil evaluasi tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo