Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HEBOH betul pemerintah mengurusi Grup Bakrie. Gara-gara imperium bisnis milik keluarga Aburizal Bakrie limbung diterjang krisis keuangan global, disayangkan kabinet sampai mesti terbelah: pro dan kontra untuk membantu konglomerasi milik orang terkaya Indonesia tahun lalu versi majalah Forbes Asia itu. Siapa yang peduli Bakrie?
Tidak sulit menjawabnya. Sebab, dari Istana Wakil Presiden, Jumat lalu, Jusuf Kalla berkata jelas: apa salahnya pemerintah membantu. Wakil Presiden menganggap grup bisnis milik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat itu merupakan aset nasional. Jusuf Kalla seakan tak menganggap keliru ada kebijakan kabinet yang khusus dibuat untuk membela kepentingan salah satu anggotanya.
Wakil Presiden merujuk pada kebijakan pemerintah Amerika Serikat yang mengucurkan dana talangan buat sejumlah perusahaan raksasa keuangan yang kolaps. Dia lupa bahwa tak ada anggota kabinet Bush yang secara langsung menikmati kebijakan yang diputuskan pemerintahnya.
Keputusan Amerika menyediakan dana bailout US$ 700 miliar atau sekitar Rp 8.000 triliun seharusnya memberi pelajaran. Rencana itu disetujui setelah lewat perdebatan sengit di Kongres. Presiden George Bush pun menyampaikan dulu niat itu kepada seluruh rakyat Amerika lewat pidato di televisi.
Proses inilah yang alpa dilakukan oleh pemerintahan Soeharto sepuluh tahun silam. Ketika itu pemerintah juga berbaik hati menyelamatkan konglomerat pemilik bank yang diamuk krisis— termasuk Grup Bakrie. Rakyat tak dilibatkan dalam pengambilan keputusan pengucuran ongkos krisis perbankan sebesar Rp 700 triliun. Anggaran belanja negara harus menanggung beban itu sampai sekarang.
Wakil Presiden agaknya menganggap benar tindakannya karena bukan pinjaman uang yang digelontorkan, melainkan penundaan pencabutan suspensi alias penghentian perdagangan saham PT Bumi Resources. Instruksi inilah yang membuat pencabutan suspensi pada 5 November dibatalkan. Suspensi saham Bumi dan lima perusahaan Bakrie lain terjadi sejak 7 Oktober.
Harga saham itu longsor hebat. Saham perusahaan batu bara andalan Grup Bakrie yang sempat mencapai Rp 8.500 pada Juni lalu itu terjun bebas tinggal Rp 2.175 saat dilakukan suspensi. Pemerintah khawatir, turunnya saham Bakrie, yang nilainya sekitar 20 persen dari seluruh nilai saham di bursa, akan memicu rontoknya indeks bursa.
Kekhawatiran Bakrie lebih besar karena saham itu digadaikannya ke kreditor dalam dan luar negeri. Merosotnya harga saham membuat Bakrie harus segera melunasi utangnya US$ 1,2 miliar atau sekitar Rp 14 triliun. Terpaksalah Bakrie menjajakan sahamnya kepada sejumlah investor, hingga terbetik kabar telah dicapai kesepakatan rencana penjualan 35 persen saham Bumi kepada Northstar Pacific.
Mendengar rencana itu, wajar saja jika pengurus bursa merasa tak perlu lagi menyetop perdagangan saham Bumi. Sementara Bakrie berkepentingan memperpanjang suspensi supaya sahamnya tak anjlok dan mengancam proses jual-beli. Di sinilah tangan Istana bekerja dan berhasil memaksa bursa membatalkan pencabutan suspensi hari itu. Patut disesalkan bahwa Menteri Keuangan sampai menemui Presiden dan ”mengancam” akan mengundurkan diri hanya untuk memaksa suspensi dicabut esok harinya. Menteri Sri Mulyani tentu merasa kewenangannya sudah terlalu jauh direcoki.
Tatkala saham Bumi terus anjlok hingga kini tinggal sekitar Rp 1.200, Departemen Keuangan seakan-akan dikeroyok kanan-kiri. Petinggi pemerintah, investor, dan broker menyalahkan pencabutan suspensi. Jusuf Kalla pernah menyatakan suspensi merupakan kewenangan bursa, tapi pengelola pasar modal itu wajib melindungi investor dan perusahaan. ”Bursa institusi swasta, tapi juga bagian dari pemerintah,” katanya.
Argumen Kalla meleset. Intervensi pemerintah jelas dilarang Undang-Undang Pasar Modal Nomor 8/1995. Pembekuan atau penghentian transaksi saham disebutkan merupakan kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), yang operasionalisasinya dilakukan Bursa Efek Indonesia sebagai badan otonom.
Sebagai wasit, Bapepam dan Bursa Efek Indonesia harus independen. Tugas utamanya menegakkan aturan main tanpa pandang bulu. Soal siapa yang menang dan kalah dalam ”pertandingan” bukan urusan sang wasit. Suspensi semata-mata dimaksudkan untuk menjamin meratanya informasi bagi semua pemain. Suspensi bukan dilakukan supaya perusahaan menyelesaikan masalahnya.
Kemandirian pasar modal ini harus juga dijaga oleh Istana. Wakil Presiden pernah berkata di hadapan para saudagar Minang beberapa waktu lalu: tak perlu risau dengan rontoknya harga saham di pasar modal. Sebab, kata dia, hanya segelintir rakyat Indonesia yang dirugikan. ”Kecuali yang jatuh Pasar Tanah Abang,” katanya waktu itu.
Ia benar. Tapi mengapa sekarang pemerintah begitu repotnya mengurusi saham Bakrie?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo