Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rapuhnya Keamanan Penjara Kita

Lemahnya sistem keamanan penjara membuat narapidana kabur dengan mudah. Bukti amburadulnya hukum di Indonesia.  

20 November 2024 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para narapidana makin mudah membobol tembok penjara.

  • Bobroknya integritas petugas membuat suap-menyuap dan pemerasan tumbuh subur dari balik penjara.

  • Apa yang terjadi di dalam penjara merupakan cermin amburadulnya sistem hukum.

BERULANGNYA narapidana kabur dari tahanan membuktikan tak seriusnya pemerintah membenahi tata kelola penjara. Selain jumlah narapidana yang melebihi kapasitas dan kekuatan bangunan yang tak memadai, amburadulnya sistem keamanan menyebabkan narapidana mudah membobol tembok penjara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekan lalu, tujuh narapidana kabur dari Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat. Mereka diduga kabur saat pergantian jadwal sipir dengan membobol terali jendela kamar mandi. Setelah meloncat dari jendela, mereka menyelinap lewat gorong-gorong. Salah satu dari mereka adalah Murtala Ilyas, gembong narkoba yang sebelumnya ditangkap Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Metro Jakarta Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kaburnya tahanan di Salemba merupakan insiden ketiga pada tahun ini. Dengan modus serupa, sebanyak 16 tahanan kabur dari Kepolisian Sektor Tanah Abang, Jakarta, dengan membobol terali besi kamar mandi pada Februari 2024. Sebulan sebelumnya, lebih dari 50 narapidana melarikan diri dari Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sorong di Papua Barat Daya. 

Pelbagai insiden itu menunjukkan betapa rapuhnya sistem keamanan penjara kita. Rata-rata penjara di Indonesia hanya berbentuk sel atau kamar-kamar, lalu dilapisi inner fence atau pagar dalam, kemudian langsung ke dinding luar bangunan penjara. 

Padahal idealnya bangunan penjara memiliki minimal empat lapis dengan dua sistem lapisan di setiap layer pengamanan. Jadi terdapat dua area steril sebelum pagar dalam dan dinding luar bangunan.

Faktor lokasi juga menjadi penyebab mudahnya para tahanan dan narapidana kabur dari penjara. Kebanyakan penjara berdampingan langsung dengan permukiman. Akibatnya, tahanan mudah menghilang setelah berhasil memanjat dinding luar penjara atau menyelinap lewat gorong-gorong.

Dari aspek struktur bangunan, penjara di Indonesia mayoritas adalah bangunan peninggalan kolonial. Tak sedikit bangunan yang telah rapuh dimakan usia, baik dinding maupun terali besinya. Saking rapuhnya, tak jarang kita mendengar tahanan kabur dengan menjebol plafon dan ventilasi kamar mandi atau membobol dinding dengan alat seadanya. Aksi mereka mirip kisah Si Bob Napi Badung, komik Belgia karya Paul Deliege.   

Belum lagi soal budaya dan manajemen kerja petugas penjara. Sipir-sipir penjara selama ini tidak pernah mendapat pelatihan memadai untuk mengantisipasi setiap risiko yang terjadi di lembaga pemasyarakatan. Mereka hanya diberi nasihat pembekalan setiap apel pagi. Ketiadaan pemahaman perihal aspek risiko security and safety di penjara menyebabkan para sipir tidak menerapkan prosedur operasi standar dalam menjalankan tugas. 

Bukan hanya itu. Jumlah narapidana di hampir semua lembaga pemasyarakatan di Indonesia melebihi kapasitas penjara. Akibatnya, rasio antara petugas dan narapidana tidak ideal. Gara-gara hal ini, program pembinaan tidak berjalan. Banyak narapidana melarikan diri karena lemahnya pengawasan.

Selain memudahkan narapidana kabur, lemahnya pengawasan membuat bisnis haram tumbuh subur di lapas. Salah satunya narkoba. Alih-alih memperbaiki diri dan tidak mengulangi perbuatan pidana, bandar narkoba meneruskan bisnisnya dengan berlindung dari balik tembok penjara. Lembaga pemasyarakatan menjadi "sekolah" bagi pelaku kejahatan.

Integritas para petugas lapas juga layak dipertanyakan. Dengan menyuap petugas, narapidana kasus korupsi bebas keluar-masuk dan pelesiran di luar penjara. Mereka bisa mendapat fasilitas mewah di dalam penjara. Suap-menyuap dan pungutan liar tumbuh subur dari balik penjara. Korupsi ini melibatkan pejabat di kementerian, kepala penjara, sipir, advokat, hingga narapidana yang menjadi kaki tangan petugas.

Apa yang terjadi di dalam penjara merupakan cermin bobroknya sistem hukum di Indonesia. Korupsi ratusan miliar pengadaan alat simulator surat izin mengemudi dan timah menyeret jenderal di kepolisian. Mahkamah Agung menjadi sarang mafia peradilan. Tak sedikit jaksa terjerat kasus korupsi. 

Kejahatan mereka bahkan melebihi kejahatan para tahanan yang melarikan diri. Di tengah amburadulnya sistem hukum di Indonesia, kaburnya para tahanan dari penjara jangan-jangan patut kita rayakan dan syukuri. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus