Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan yang ditopang kepentingan pemodal menjadi pemantik keretakan sosio-ekologis pada komunitas tapak.
Masyarakat, terutama kaum perempuan dan anak-anak, kemudian berhadapan dengan lingkungan yang rusak serta tidak layak.
Bencana akibat penindasan terhadap alam oleh manusia menghasilkan kerentanan baru dari kondisi yang sudah timpang.
KAUM perempuan selalu menjadi kelompok yang menanggung ongkos kerusakan lingkungan paling besar dalam satu dekade terakhir. Tak hanya menanggung dampak secara tak langsung, mereka juga kerap menjadi korban langsung dalam konflik sumber daya alam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 2023 saja, berdasarkan catatan Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), setidaknya ada 11 kasus kekerasan berbasis gender di tengah konflik sumber daya alam dan tata ruang. Kasus-kasus ini menambah panjang deretan penderitaan kaum perempuan serta memperpanjang 59 kasus kekerasan lain yang belum terselesaikan dari tahun-tahun sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wacana pembangunan yang dipromosikan pemerintah tidak dapat dipisahkan dari berbagai konflik yang mewarnainya. Pembangunan yang ditopang kepentingan pemodal menjadi pemantik keretakan sosio-ekologis pada komunitas tapak. Berdasarkan data konflik agraria yang dihimpun oleh Konsorsium Pembaruan Agraria, selama 2015-2023, tercatat ada 2.939 insiden konflik yang melibatkan 6,3 juta hektare lahan dan berdampak pada 1,759 juta keluarga.
Berbagai konflik itu merupakan dampak kecenderungan negara yang berpihak kepada pemilik modal di tengah perpanjangan eksploitasi sumber daya alam yang terjadi secara global. Kondisi ini mencapai babak baru ketika proyek strategis nasional (PSN) digunakan sebagai alat mencerabut dan merampas ruang hidup yang merupakan pijakan keberlanjutan hidup masyarakat, terutama kaum perempuan dan komunitasnya.
Berbagai proyek strategis, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara, lumbung pangan, energi, dan penghiliran, menggerogoti keasrian hutan-hutan di Indonesia serta komunitas yang menggantungkan hidup di dalamnya. PSN akhirnya menjadi alat dominasi dan relokasi. Masyarakat, terutama kaum perempuan dan anak-anak, kemudian berhadapan dengan lingkungan yang rusak serta tidak layak.
Proyek-proyek pembangunan yang digembar-gemborkan sebagai capaian pemerintah sebenarnya hanya bertujuan menarik investasi ke dalam negeri. Terlepas dari wacana global yang sedang dominan, pemerintah hanya memprioritaskan celah pendanaan tanpa visi yang jelas dan terarah.
Sebagai contoh, kebijakan penghiliran nikel di Indonesia yang hanya berfokus pada peningkatan nilai tambah komoditas melalui pembangunan smelter nikel. Kebijakan penghiliran bahkan dikemas sebagai upaya negara menjalankan transisi energi melalui promosi industri kendaraan listrik dalam negeri. Padahal belum ada korelasi antara smelter nikel yang menjamur saat ini dan manufaktur kendaraan listrik.
Hingga saat ini belum terlihat bagaimana proyek-proyek penghiliran ataupun transisi energi dapat meringankan beban perempuan dan menghasilkan keadilan gender. Yang terjadi justru para perempuan menjadi korban. Perempuan di Sulawesi, Maluku, Papua, Kalimantan, dan banyak daerah lain harus menanggung beban ekologi yang besar hanya demi gagasan penghiliran yang diagung-agungkan oleh pemerintah.
Tanpa keberpihakan yang jelas kepada perempuan dan lingkungannya, ekstraktivisme nikel akhirnya mengundang bahaya yang lebih besar dari pembukaan lahan pertambangan. Bencana dan pencemaran di sejumlah titik pembangunan kawasan industri nikel menimbulkan kerugian yang tak ternilai. Hal ini mengundang eskalasi efek domino yang dalam jangka panjang berdampak pada kekerasan berbasis gender.
Maka, tidak berlebihan ketika Komisioner Komnas Perempuan Rainy Maryke Hutabarat menyatakan konflik sumber daya alam setara dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ia berargumen, konflik sumber daya alam menghilangkan pekerjaan, menyebabkan kemiskinan, meretakkan ikatan sosial, mengancam keamanan dan kenyamanan, serta membahayakan keanekaragaman hayati dan identitas sosial-budaya.
Penjarahan, eksploitasi seksual, serta bentuk kekerasan berbasis gender lain merupakan dampak-dampak yang tidak masuk kalkulasi pemerintah dan justru dinormalisasi. Bencana akibat penindasan terhadap alam oleh manusia menghasilkan kerentanan baru dari kondisi yang sudah timpang.
Mengubah Paradigma
Pembangunan harus berangkat dari imajinasi tentang masa depan yang berkelanjutan. Namun keberlanjutan itu hanya dapat dicapai dengan pemenuhan hak-hak dasar, serta memastikan eksploitasi tidak dilakukan secara berlebihan dan tak ada seorang pun yang “ditinggalkan” atau no one left behind.
Dengan kerusakan lingkungan yang tak terkendali, solidaritas antara manusia dan alam harus menjadi titik perjuangan baru. Prinsip no one left behind juga berarti kita tidak boleh berpaling dari alam. Isi bumi sudah dikeruk, perempuannya sudah menderita, lalu apa yang kita peroleh dari pembangunan?
Berangkat dari pengamatan Val Plumwood, penulis ekofeminis, tata kelola sumber daya alam dalam konteks pembangunan menjadi timpang ketika negara atau pemerintah mengabaikan ongkos tersembunyi stratifikasi buatan antara manusia dan alam, yang pada akhirnya berdampak pada krisis sosio-ekologis.
Ke depan, transparansi dan akuntabilitas tidak berhenti pada kebermanfaatan bagi manusia, tapi juga bagaimana kegiatan pembangunan dapat memberikan manfaat terhadap alam. Kepemimpinan perempuan juga harus dikedepankan untuk memastikan distribusi manfaat dan risiko yang adil dalam setiap kebijakan serta mengurangi asimetri kekuasaan antara negara dan perempuan.
Hanya dengan cara itu kita dapat memenuhi hak-hak perempuan dan lingkungan melalui pembangunan yang beradab karena ini soal kemaslahatan bersama. Tidak ada keuntungan yang setimpal jika berdiri di atas penderitaan perempuan dan lingkungan. ●