Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak bisa tidak, skandal kebocoran senilai Rp 1,7 triliun di Bank BNI adalah perkara pidana. Ada unsur kejahatan perbankan, pemalsuan, dan mungkin menyangkut soal pencucianuang pula. Semua pelakunya harus ditangkap, direksi bank juga harus bertanggung jawab.
Akibat serentetan pemalsuan dan ketidakberesan surat kredit di sebuah kantorcabang Bank BNI Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, keuntungan bersih seluruh bankterpotong 40 sampai 45 persen tahun ini. Yang saatini terhitung sebagai kerugian—atau disebut keuntungan yang merosot, supayapahitnya berkurang—adalah Rp 941 miliar,karena sebagian surat kredit (L/C, letter ofcredit) yang bermasalah sudah dilunasi. Apapun istilah teknis pembukuan bank yang dipakai, cadangan untuk antisipasi kerugianmisalnya, kenyataan yang tetap ada ialah kehilangan uang sebesar hampir satu triliunrupiah yang tercuri dari bank itu.
Toleransi tak pantas diberikan bagi siapa pun. Tentunyatidak kepada pejabat bank yang langsung menangani, dan parapenerima dana kucuran yang tidak halal itu; juga tidakkepada direksi bank yang sekadar mengakui skandal terjadi akibatlemahnya pengawasan internal. Selanjutnya, juga sukar bisaditerima apabila polisi agak kendur menangani sehinggamembiarkan ada yang sampai lolos dari jerat proses hukum.
Semua harus waspada karena para pelakunya terkenallihai dan jumlah uang yang keluar sedemikian besar, sehinggakemungkinan digunakan untuk atur-sana-atur-sinibukanlah mustahil di zaman ini. Delapan orang tersangka sekarangjadi buron karena belum mematuhi panggilan polisi.Sebelumnya baru tiga tersangka yang ditahan. Dua di antaranyapejabat Kantor Cabang Bank BNI Kebayoran Baru.
Akal masyarakat biasa sukar menerima bahwakebobolan dalam jumlah segunung itu bisa terjadi begitu saja. Danadikeluarkan berkali-kali dari bank selama hampir setahun,dengan menggunakan wesel ekspor berjangka sebanyak 105transaksi. Sekalipun jumlahnya luar biasa, prosedur yangditempuh tidak memenuhi syarat sebagaimana diwajibkan.
Bank di luar negeri yang menerbitkan L/C—antara lainbank dari Kenya, Afrika—bukan koresponden Bank BNI,padahal seharusnya demikian untuk bisa diterima dan dihargai.Dokumentasi pendukung L/C tidak dilengkapi. Surat buktipengapalan ekspor tidak dicek kebenarannya. Segalanyadigampangkan saja. Terlebih lagi, kalau aturan dituruti, fasilitas L/Cseharusnya hanya diberikan kepada nasabah yang sudahdikenal baik. Karena itu, hanya yang sudah jadi nasabah lebihdari setahun yang boleh dilayani. Padahal penerima L/C fiktifitu adalah nasabah baru Bank BNI. Singkatnya, prinsipkehati-hatian yang paling elementer dalam perbankannyata-nyata telah dilanggar, bahkan ditinggalkan.
Kecurigaan seharusnya diperkuat karena weselekspor berjangka yang jatuh tempo tidak dilunasi oleh bank luar negeri yang menerbitkanL/C seperti lazimnya, tapi melalui transfer dari bank lain atau ditutup dari rekeningnasabah sendiri. Dengan sendirinya mengharap timbulnya kecurigaan demikehati-hatian tidaklah tepat, karena yang dalamkeadaan normal harus mencurigainya, yaitu pejabat bank yang bersangkutan, justruterlibat kerja sama dalam penyimpangan yang berencana itu.
Sesungguhnya, sampai tahap ini, belum bisa diterangkan dengan pasti apa danbagaimana peristiwa pembobolan itu terjadi. Yang terlibat, khususnya yang berdiri dibelakang, beberapa pemain kawakan di dunia finansial yang pernah berurusan denganpolisi dan ada yang dihukum penjara di masa lalu. Prosesnya disusun denganberbelit-belit dan canggih, memanfaatkanlekuk-liku operasi perbankan. Teknik yang dipakaiselalu berkisar di daerah kelabu, sehingga antara yang legal dan tidak senantiasa bisa dibuat kabur.
Dalam bahasa awam, pembobolan yang dilakukanmungkin bukanlah bermaksud menggelapkan dan melarikan danabank secara langsung. Kiatnya adalah untuk mencari danmenggerakkan dana berjumlah besar dan murah, guna diputardalam proyek-proyek yang membawa untung cepat, dengan caragali lubang tutup lubang. Misalnya, dana yang diperolehdigunakan untuk membeli aset dari BPPN dengan harga amat rendah,untuk kemudian dijual kembali dengan selisih yangmenguntungkan. Yang penting adalah faktor waktu, kapan danadipinjam dan kapan harus dikembalikan, dengan menggali darisumber lainnya, sambung-menyambung terus-menerus, semakinbesar dan selama mungkin. Kalau waktunya meleset, operasibisa meledak dan gagal, seperti terjadi sekarang.
Direksi Bank BNI sendiri tampaknya lebih tertarik padausaha mengembalikan dana yang terbang, agar kerugian bankdiperkecil, daripada mengurusi kesalahan apa yang terjadiatau mencari siapa yang salah. Memang betul, perbuatancurang dan penipuan di bank selalu bisa terjadi. Tapi bank yangbaru keluar dari krisis dan hidupnya ditunjang olehrekapitalisasi yang bersumber dari keuangan negara hendaknya jauhlebih berhati-hati dalam melangkah. Sikap yang ditunjukkanbukan berupa penyesalan yang sepadan dengan keadaan yangdihadapi, bahkan terlihat seakan-akan tidak terlalu peduli,kalau bukan tergolong angkuh dan kurang tahu diri.
Skandal Bank BNI ini harus dipakai sebagai titik baru untuk membersihkan dunia keuangan dan perbankan kita. Pembersihan yang mengakar dan mendasar. Unsur-unsur lama, yang dulu sudah merusak dan ikut menghasilkan krisis yang kita derita, harus disapu habis. Sebagai tanda kesungguhan, maka tindakan tegas dimulai dengan merombak total direksi Bank BNI sendiri, sekalipun korbannya lebih besar dari yang langsung bertanggung jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo