Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pelajaran Buruk dari Bali

Kampanye pemilu belum dimulai, tetapi korban sudah jatuh. Kenapa pengerahan massa masih disukai?

2 November 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Demokrasi kita sudah berjalan ke arah yang benar, meski tertatih-tatih. Kebebasan menyalurkan aspirasi politik pun sudah terjamin, walau partai kelewat banyak. Namun, yang masih tertinggal adalah cara partai politik berkampanye. Tetap kuno dan tidak memberikan manfaat apa-apa, yakni pengerahan massa. Jika itu dimaksudkan sebagai pendidikan politik kepada rakyat, sama sekali tidak nyambung. Coba bayangkan. Sekelompok pemuda tanggung berbaju kaus berlambang partai menderu-deru di atas sepeda motor, tanpa helm, mengibas-ngibaskan bendera partai sehingga membahayakan orang-orang di jalanan. Suara bising keluar dari knalpot sepeda motor, debu dan racun beterbangan, jalanan macet, orang-orang mengeluh. Apakah masih cara-cara seperti ini yang mampu mempengaruhi orang untuk tertarik pada partai itu? Dulu mungkin, karena orang bisa dibuat kagum sesaat oleh "kebesaran" parpol itu di jalanan. Tetapi kini orang sudah muak dan mencemooh. Alih-alih tertarik dan bersimpati, rasa muak ini membuat orang jadi antipati pada parpol seperti itu. Pengerahan massa secara brutal seperti ini juga rawan bentrokan. Emosi massa dalam jumlah yang besar bisa digiring untuk hal-hal tercela, misalnya mengobrak-abrik bendera partai lawan, merusak kantor partai pesaing, bahkan menghajar habis orang-orang yang "berani beda" dengan massa yang lagi turun ke jalanan itu. Di Batang, Jawa Tengah, seorang pemuda yang "tanpa sengaja" berkaus Golkar dikeroyok massa yang kebetulan berbaju PDIP. Yang lebih tragis tentu saja di Bali, tepatnya di Kabupaten Buleleng. Dua pengurus Golkar di Desa Petandakan dihajar sampai mampus oleh para kader (kata ini sebenarnya terlalu tinggi) PDIP yang kebetulan hari itu menggelar acara "gerak jalan". Putu Negara dan adiknya, Kadek Agustana, hanya sekadar lewat dengan sepeda motornya. Keduanya tewas di tempat, dan sepeda motornya dibakar. Gesekan antara massa Golkar dan PDIP di Bali memang kerap terjadi. Sebenarnya gesekan juga terjadi antara massa Partai Nasionalis Banteng Kemerdekaan (PNBK) dan PDIP. Kenapa begitu mudah saling gesek? Karena ketiga partai ini mengklaim punya massa besar dan kemudian mendirikan posko-posko di jalanan. Sudah tak perlu ditutup-tutupi lagi, posko itu dijaga pemuda-pemuda tanggung dengan aroma minuman keras yang menyengat. Malamnya dipakai berjudi. Posko pun penuh dengan simbol-simbol partai, terutama bendera. Karena itu, partai yang tidak (atau belum?) mendirikan posko, seperti Partai Pelopor, Partai PIB, PAN, PKB?parpol-parpol ini disebut karena punya pengikut banyak di Bali?tenang-tenang saja. Kerusuhan bernuansa politik di Bali sulit dicegah oleh lembaga adat dan agama, karena institusi tradisional itu tak punya akses sebagai penengah. Lagi pula ada kecenderungan lembaga tradisional itu emoh terlibat politik. Pecalang sebagai alat keamanan milik desa adat, misalnya, sudah tak mau lagi diperalat oleh parpol, setelah dulu mendapat kecaman keras saat digunakan sebagai pengaman dalam Kongres PDIP di Bali. Kini orang berharap kerusuhan bisa diredakan oleh polisi. Polisi Buleleng memang sudah menangkap para pembunuh Putu Negara dan adiknya, mereka jelas orang PDIP. Namun, polisi juga menangkap orang-orang Golkar yang mencoba melempar bom molotov di Desa Banyuning, sebuah permukiman seniman yang sebenarnya sepi dari ingar-bingar politik. Akankah polisi berani bertindak tegas dan tidak takut diintervensi elite politik? "Kasus Buleleng" jadi pelajaran buruk buat demokrasi kita, dan peringatan awal bahwa kerusuhan serupa mungkin banyak terjadi pada masa kampanye nanti kalau parpol tetap menggunakan pengerahan massa. Sebaliknya, polisi Bali bisa memberi pelajaran yang bagus kalau para tersangka itu diproses dan diajukan ke pengadilan tanpa menghiraukan apa partainya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus