Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH kelewat benderang: pembentukan Panitia Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat adalah upaya melemahkan KPK. Anggota Panitia Angket hendaknya menghentikan retorika bahwa apa yang mereka lakukan merupakan upaya memperbaiki Komisi. Para pemimpin partai politik selayaknya berhenti berpura-pura: seolah-olah mengkritik kerja Panitia Angket, tapi membiarkan anggota partainya terus berada dalam tim tersebut.
Investigasi majalah ini menemukan fakta bahwa Panitia Angket dibentuk dengan tiga tujuan berjenjang: membubarkan KPK, melumpuhkan Komisi dengan mengurangi wewenangnya, atau setidaknya menyingkirkan para penyidik utama yang selama ini menjadi ujung tombak pengusutan korupsi. Niat jahat itu harus bersama-sama kita lawan.
Kronologi pembentukan Panitia Angket menunjukkan nawaitu yang tak patut itu. Berawal dari pengusutan terhadap megaskandal kartu tanda penduduk elektronik, KPK menemukan aliran dana haram kepada sejumlah anggota DPR. Pendanaan proyek besar itu membutuhkan persetujuan Dewan. Agar lancar, para pelaksana proyek menggelontorkan suap kepada para legislator. Nama-nama besar diduga menerima rasuah tersebut. Di antaranya Ketua DPR Setya Novanto; anggota DPR dari Partai Golkar yang kini Ketua Pansus, Agun Gunandjar Sudarsa; serta Yasonna Laoly, kini Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
KPK mendasarkan penyelidikan antara lain dari kesaksian Miryam S. Haryani, anggota Komisi II--yang di antaranya membidangi pemerintahan--dari Partai Hanura. Dialah yang diduga menjadi simpul utama praktik laknat tersebut. Belakangan, di pengadilan, Miryam mencabut kesaksian perihal praktik bagi-bagi duit tersebut. Kepada koleganya di DPR, Miryam menyebut ditekan penyidik. Kepada penyidik, ia mengaku dipaksa anggota DPR mencabut kesaksian.
Panitia Angket dibentuk dengan tujuan mula-mula memaksa KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam. Belakangan, setelah dikabulkan pembentukannya pada 28 April lalu, Panitia malah mempersoalkan kewenangan KPK, termasuk perihal tata kelola keuangan dan penyidikan. Drama kemudian masuk ke adegan paling konyol: Panitia beraudiensi dengan terpidana korupsi untuk menggali kesalahan KPK ketika memeriksa mereka--perbuatan yang terang-terangan menghina pengadilan.
Skenario penghancuran KPK itu ditengarai melibatkan pula kepolisian. Seorang jenderal polisi diduga berjanji mengerahkan penyidik polisi yang pernah bekerja di KPK untuk mencari kesalahan Komisi. Kesaksian Miko Panji Tirtayasa--yang menyebut dipaksa penyidik memberikan kesaksian palsu--akan pula dipakai sebagai gada penggebuk. Miko adalah perantara suap yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. KPK berulang kali membantah keterangan Miko tersebut.
KPK harus diselamatkan. Mahkamah Konstitusi mesti segera memproses gugatan pegawai KPK yang mempersoalkan legalitas hak angket. Mahkamah hendaknya mencermati pendapat yang meyakini bahwa hak angket hanya bisa diterapkan terhadap lembaga eksekutif. Mahkamah seyogianya juga tidak melupakan keputusannya pada 2006 yang menyatakan Komisi merupakan lembaga independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Keputusan itu dikeluarkan ketika kewenangan KPK dipersoalkan Mulyana W. Kusumah, tersangka korupsi. Kepolisian hendaknya menggagalkan upaya pelemahan Komisi. Aparat yang ditengarai terlibat harus diberi sanksi. Perbaikan citra Polri, yang saat ini gencar dilakukan, akan tercemar oleh perbuatan segelintir oknum.
Presiden Joko Widodo hendaknya tidak berpangku tangan. Pernyataan keprihatinan lewat statemen juru bicara jauh dari cukup untuk menggambarkan kepedulian Kepala Pemerintahan. Pernyataan bahwa Presiden menolak pembubaran KPK terasa hampa tanpa diikuti langkah nyata.
Presiden tidak boleh menganggap gerakan membela KPK sebagai langkah gaduh yang mengganggu jalannya pembangunan. Presiden selayaknya menyadari, tanpa upaya sungguh-sungguh memberantas korupsi, pembangunan akan berjalan terseok-seok. Jokowi memang tidak memiliki kewenangan langsung untuk menyetop hak angket. Tapi tak boleh dilupakan: ia bisa memaksa partai pendukungnya tak melanjutkan hak angket. Saat ini justru partai pendukung pemerintahlah yang menjadi motor hak angket.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo