Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Philips Vermonte *
TEKANAN terhadap Presiden Joko Widodo untuk melakukan reshuffle terhadap Kabinet Kerja semakin kuat. Ini sudah muncul bahkan di awal pemerintahan terhadap satu atau dua posisi menteri yang dianggap "menceraikan" PDI Perjuangan dari Presiden.
Kali ini tekanan menjadi lebih serius karena terkait dengan kinerja menteri-menteri ekonomi yang dinilai meragukan. Rujukannya antara lain tekanan ekonomi yang dialami Indonesia belakangan ini, misalnya nilai tukar rupiah dan beberapa hal lain. Isu reshuffle juga menjadi kompleks karena dikaitkan dengan kemungkinan reorganisasi koalisi terkait dengan kemungkinan masuknya kader dari partai yang bukan menjadi bagian dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH), penopang pemerintah Jokowi.
Tulisan ini tidak akan membahas soal siapa yang masuk atau keluar kabinet, tapi berfokus pada apa yang bisa dipahami dari isu reshuffle ini dan bagaimana hal itu mempengaruhi bangunan sistem politik kita. Sejatinya diskusi tentang ini terkait dengan hubungan Jokowi dengan partai politik, khususnya PDIP; dengan Dewan Perwakilan Rakyat; dan dengan aktor-aktor politik lain karena alasan-alasan berikut ini.
Pertama, untuk pemerintahan yang berjalan belum setahun lamanya tentu tidak sulit mengingat kerumitan yang terjadi saat Presiden membentuk kabinet. Boleh dikatakan bahwa semua faktor pesimistis mewarnai terbentuknya Kabinet Kerja ini: bahwa pemerintah Jokowi adalah minority government dalam arti koalisinya tidak menguasai kursi mayoritas di DPR; kenyataan bahwa Presiden adalah figur baru yang mungkin sekali tidak familiar dengan who's who dalam dinamika politik nasional, hingga tekanan dari partainya sendiri, PDI Perjuangan.
Karena dinamika sedemikian rupa itu, tidak semua menteri yang ditunjuk adalah pilihan pribadi Jokowi. Publik sering melihat "pertunjukan" politik ketika menteri-menteri memperlihatkan bahwa loyalitasnya bukanlah kepada Presiden, melainkan kepada kekuatan politik lain. Akibatnya, Jokowi harus memimpin kabinet berisi orang-orang yang beberapa di antaranya masih menolak dirinya sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Bila partai-partai politik dan kadernya yang duduk dalam Kabinet Kerja tidak hendak menerima fakta politik dan fakta konstitusional bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini, berapa kali reshuffle pun tidak akan pernah bisa menjadi solusi.
Kedua, sebaliknya, terkait dengan isu pergantian beberapa menteri yang memegang portofolio ekonomi, kritik juga bisa dialamatkan kepada Jokowi. Sebagian besar menteri dengan portofolio bidang ekonomi dalam Kabinet Kerja adalah dari kalangan profesional, yang pada dasarnya adalah pilihan Presiden sendiri. Bila ada kritik bahwa kinerja menteri-menteri ekonomi buruk dan Presiden mengiyakannya saja, sebetulnya itu menunjuk pada kelemahan judgment Presiden dalam menilai kemampuan dan memilih kandidat menteri pada Oktober tahun lalu.
Sepanjang pengalaman pemerintah kita, menteri-menteri ekonomi yang dipilih sejak masa Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan terakhir Susilo Bambang Yudhoyono secara umum dianggap berkinerja baik. Dengan kata lain, judgment para presiden terdahulu tersebut boleh dibilang lebih baik dalam membentuk tim ekonomi dalam kabinet.
Bidang ekonomi seharusnya adalah benteng utama pemerintahan Jokowi. Legitimasi politik terbesar telah dimilikinya melalui pemilihan umum langsung 2014. Legitimasi besar berikutnya terutama akan datang dari sisi ekonomi. Seberapa jauh presiden dianggap membawa perbaikan kesejahteraan relatif terhadap pencapaian presiden sebelumnya. Demikianlah bekerjanya mekanisme punishment dan reward dalam demokrasi elektoral di mana ekonomi akan menjadi pintu gerbang utama evaluasi kinerja pemerintahan oleh masyarakat pemilih pada pemilu berikutnya.
Karena itu, apabila benar reshuffle akan dilakukan untuk menteri-menteri dengan portofolio terkait dengan ekonomi, tidak ada pilihan bagi Jokowi selain menunjukkan best judgment dalam memilih menteri (atau menteri-menteri) dan bertarung untuk memastikan bahwa ia mendapat orang-orang terbaik.
Ketiga, benar belaka bahwa selama beberapa bulan pemerintahan Jokowi yang belum genap setahun ini terlihat berjalan agak berantakan. Komunikasi kepresidenan tidak optimal, dalam situasi "krisis mini", seperti isu beras plastik dan lainnya, terlihat gamang. Tapi, menurut hemat penulis, situasi-situasi "krisis mini" yang dieksploitasi oleh para pengkritik Jokowi itu adalah situasi minor, tidak terkait dengan kebijakan menteri/Presiden jangka panjang.
Perlu diingat bahwa, setelah dilantik, Jokowi dan kabinetnya tidak mendarat dalam pergulatan kebijakan dan politik di Indonesia secara soft landing. Berbeda dengan pemerintahan Yudhoyono, yang relatif lebih lancar di awal pemerintahannya dan kemudian juga dalam perjalanannya. Sebabnya sederhana dan justru karena itu tidak adil membandingkannya dengan pemerintahan Jokowi yang baru menjelang satu tahun ini: ketika memerintah pertama kali pada 2004 bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), Yudhoyono dan Kalla telah bekerja sebagai menteri sejak masa dua presiden sebelumnya. Saat memerintah sebagai presiden dan wakil presiden pada 2004, mereka telah menguasai kerumitan kabinet dan birokrasi kementerian, tune-in dan hit the ground running.
Jokowi adalah figur baru dalam politik nasional kita. Kenyataan ini bukanlah kekurangannya. Sebab, karena alasan itulah-bahwa Jokowi adalah figur baru yang paling sedikit terkait dengan rezim-rezim masa lalu yang dianggap dikuasai kepentingan terbatas elite politik lama-ia dipilih oleh rakyat secara langsung pada 2014.
Maka periode delapan bulan pertama ini menjadi tidak tepat bila dijadikan ukuran untuk menilai kinerja pemerintahan Jokowi, kecuali apabila aktor-aktor elite politik berhasil memaksanya melakukan evaluasi kinerja tersebut. Walaupun begitu, publik tetap berharap "orang-orang baru" dalam pemerintahan Jokowi tidak menjalani learning curve yang terlalu panjang untuk bisa segera tune-in dengan pemerintahan.
Terakhir, beberapa hal harus dikatakan terkait dengan aktor-aktor politik yang mendesak dilakukannya reshuffle segera. Setting politik kita pasca-Pemilu 2014 adalah seperti apa yang secara teoretis disebut oleh Haggard dan McCubbins dalam buku klasik mereka, Presidents, Parliaments, and Policy (2001), sebagai sistem politik dengan jumlah veto players yang cukup banyak. Veto players adalah orang atau sekelompok orang yang karena derajat kuasanya bisa menghambat, atau mendorong, pengambilan keputusan secara signifikan.
Bangunan politik kita hari ini memiliki banyak veto players. Wakil Presiden JK secara natural adalah veto player dengan bobot politik besar sebagai mantan menteri beberapa kabinet, mantan wakil presiden, dan mantan Ketua Golkar, partai pemenang pemilu legislatif 2004. Ini tidak berarti JK akan menjadi penghalang bagi Jokowi, yang secara konstitusional harus dilayaninya. Sebaliknya, JK bisa menjadi aset bila terbangun hubungan saling ketergantungan di antara keduanya. Megawati, dengan pengalaman sedemikian rupa, adalah veto player yang harus selalu masuk kalkulasi politik Jokowi. Veto player lain adalah DPR, yang secara mayoritas dikuasai koalisi partai-partai yang kalah dalam pemilu presiden lalu.
Kemampuan mengelola hubungan dengan para veto players ini akan menentukan dua hal penting bagi Jokowi: kemampuan dan kesigapannya mengambil keputusan (decisiveness) dan ketahanannya untuk berkomitmen pada keputusan yang telah diambil (resoluteness). Keputusan reshuffle dan komposisi menteri-menteri barunya nanti, bila jadi dilakukan, akan menjadi ujian yang diamati luas oleh masyarakat pemilih yang akan menilainya dari lensa decisiveness dan resoluteness sebagai dua aspek amat penting dalam kepemimpinan presidensial. l
*) Ketua Departemen Politik Dan Hubungan Internasional Csis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo