Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kafir Administratif Dan Kafir Substantif

6 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

A. Suryana Sudrajat*

Apakah batas yang memisahkan antara Islam dan kufur atau seseorang disebut muslim atau kafir? Lukman Sardi mungkin belum sempat mengubah kartu tanda penduduknya yang Islam ketika awal puasa lalu dia menyebarkan kesaksian mengenai agamanya yang baru. Ada yang marah dan menyumpahinya masuk neraka. Ada yang menyesali mengapa pemeran KH Ahmad Dahlan dalam film Sang Pencerah itu menjadi murtad. Pertanyaannya: apakah dengan sendirinya pernyataan Lukman Sardi mengenai keyakinan barunya tersebut telah mengantarkannya menjadi seorang kafir dan karena itu tidak akan selamat di akhirat kelak?

Syahdan terdapat sebuah ayat Al-Quran yang mudah dan jelas tapi, seperti dikemukakan Syu'bah Asa (2000: 15), menjadi susah di tangan para mufasir yang harus menyesuaikan pemahaman mereka dengan kesimpulan bahwa Islam "semestinya mengundangkan keselamatan ukhrawi hanya untuk pemeluknya". Ayat itu: "Sesungguhnya orang-orang beriman serta para yahudi, para nasrani, dan para shabi'in, yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan beramal saleh, bagi mereka pahala mereka pada tuhan mereka, tiada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka berduka." Ayat 62 Al-Baqarah ini secara gamblang menyamaratakan orang-orang beriman (umat muslimin) dengan para pemeluk agama lain. Yang terpenting adalah mereka beriman kepada Allah dan hari akhir (yang merupakan inti ajaran semua agama) dan beramal saleh. Jadi apakah batas yang memisahkan antara Islam dan kufur atau seseorang disebut muslim atau kafir?

Para ulama yang menjadi referensi kaum skripturalis dan kaum modernis, seperti Ibn Taimiah, Abduh, dan Sayid Quthb, serta ulama yang menjadi rujukan apa yang sekarang disebut jemaah Islam Nusantara, semacam Jalaluddin Suyuthi, Jalaluddin al-Mahalli, dan Al-Ghazali, menyatakan bahwa ayat Al-Baqarah itu berbicara tentang warga sebelum kerasulan Muhammad. Dengan demikian, setelah kedatangan syariat baru, syariat lama dengan sendirinya dihapuskan. Berbeda dengan pandangan Al-Ghazali dan lain-lainnya itu adalah pendapat Al-Anbari dan Al-Jahizh.

Menurut Anbari, semua orang yang berijtihad, yang mengerahkan akal budi ke arah kebenaran, mendapat pahala sampai pun mengenai masalah pokok agama yang sudah "tidak bisa digugat", alias dianggap selesai. Sedangkan Jahizh menilai orang yang berbeda kepercayaannya dengan Islam, apakah itu Yahudi, Nasrani, atau ateis, dan hal tersebut berlawanan dengan keyakinannya, maka dia pendosa. Jika dia mempertimbangkan tapi tidak mampu mencapai kebenaran, dia dimaafkan. Jika dia tidak mempertimbangkan, karena tidak mengenal kewajiban berpikir, ia juga dimaafkan. Dengan demikian, yang diazab di akhirat adalah orang yang melawan keyakinannya sendiri.

Bukankah Allah tidak akan membebani suatu jiwa kecuali sekadar kesanggupannya? Jadi, kafir dalam pengertian Anbari dan Jahizh adalah orang yang melawan terhadap sesuatu yang telah diyakini.

Pada 1950-an, Mahmoud Syaltout, syekh Al-Azhar, Kairo, Mesir, mengemukakan argumen yang brilian mengenai batas antara Islam dan kufur. Dalam magnum opus-nya, Al-Islam, 'Aqidah wa Syari'ah, Syaltout menyatakan seseorang disebut ingkar (kufr) kepada pokok-pokok keimanan Islam jika telah mempelajari akidah-akidah tersebut dan dia puas menerimanya. Tapi, karena pamrih tertentu, dia menolak memeluknya dan mempersaksikan kebenarannya.

Sebaliknya, kata ulama yang memberi nama Al-Azhar untuk masjid di Kebayoran Baru saat berkunjung ke Jakarta itu, jika dia tidak mendengar ajaran tersebut atau ajaran tersebut sampai kepadanya dengan gambaran yang membuat orang lari atau gambaran yang benar tapi dia bukan orang yang bisa mempertimbangkan atau bisa mempertimbangkan tapi tidak dikaruniai kecocokan alias?taufik untuk itu, sementara dia terus berpikir untuk mencari kebenaran, dia tidak menjadi kafir sampai maut menjemputnya. Kepada orang-orang?yang seperti ini tentu saja tidak bisa dilekatkan predikat kafir.

Jadi, menurut Syaltout, ada kafir dalam pandangan Allah, atau sebut saja "kafir substantif", yakni yang mengakui kebenaran risalah Muhammad tapi menolaknya. "Mereka mengingkarinya, sementara diri mereka meyakininya, didorong oleh kezaliman dan sikap congkak," demikian ayat suci yang dikutip Syaltout mengenai "kafir dalam pandangan Allah".

Tampaknya hanya Allah dan yang bersangkutan yang tahu mengenai jenis kafir yang satu ini. Sedangkan kafir yang bukan "dalam pandangan Allah" bolehlah disebut kafir syar'i atau "kafir administratif", atau menurut istilah Syu'bah Asa,?nonmuslim. Benar, kata Syaltout, mereka tidak dikenai hukum orang Islam yang berlaku antara mereka dan Allah serta di antara mereka sendiri. Tapi mereka bukan kafir sebagaimana dalam pandangan Allah itu. Jika kolom agama dalam KTP masih dipertahankan, mudah ditengarai siapa yang muslim dan siapa yang "kafir administratif". Jika dalam Al-Quran disebutkan "harus bersikap keras kepada kafir", tampaknya itu ditunjukkan kepada mereka yang menolak risalah Muhammad atas dorongan kezaliman dan kecongkakan, bukan kepada mereka, sesama kaum beriman, yang berasal dari agama-agama tersebut.

Buya Hamka (Tafsir Al-Azhar), yang meminta nama kepada Syaltout untuk masjid di dekat rumahnya di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, menyebutkan ayat yang menyamaratakan orang-orang beriman (kaum muslim) dengan penganut agama-agama lain sebagai sebuah pesan "perdamaian dan hidup berdampingan secara damai di antara sekalian agama"-dan sebagai orang beriman kepada Tuhan, apa pun agamanya, mereka dituntut untuk melakukan amal saleh. Konflik dan perkelahian di antara pemeluk agama terjadi karena agama telah menjadi golongan, bukan lagi dakwah kebenaran. Penjelmaan agama sebagai golongan itu akhir-akhir ini kerap kita saksikan dalam setiap perhelatan perebutan kekuasaan. Alih-alih sebagai dakwah kebenaran, agama merosot menjadi dagangan politik.

Berangkat dari asumsi mengenai dua kecenderungan di masyarakat yang meremehkan perihal kafir dan mudahnya mengkafirkan orang, Majelis Fatwa Majelis Ulama Indonesia melalui Ijtima Ulama 2015 telah mengeluarkan tiga kriteria tentang kafir. Pertama, seseorang dapat dikatakan kafir secara niat, yaitu jika dia memiliki segala macam keyakinan yang bertentangan dengan salah satu rukun iman yang enam atau mengingkari ajaran Islam yang qath'i. Kedua, kafir ucapan, yaitu segala bentuk ucapan seseorang yang mengandung pengakuan atas akidah kufur atau penolakan terhadap salah satu akidah Islam, termasuk di dalamnya penistaan agama, baik secara akidah maupun syariah. Ketiga, kafir perbuatan, yaitu setiap bentuk perbuatan yang mengandung indikator nyata akidah yang kufur.

Menurut MUI, jika seseorang atau kelompok memenuhi salah satu kriteria di atas, dapat dikafirkan dengan syarat. Syarat-syarat itu antara lain ucapan dan perbuatan dilakukan orang dewasa atau sehat akal dan jiwa, tidak terpaksa, stabil emosi, telah sampai kabar dakwah, tidak karena syubhat takwil tertentu atau menafsirkan syariah dengan nafsu, serta penetapan kafirnya seseorang atau kelompok ini sesuai dengan syarat syariah dan bukan opini.

Betapapun batas yang dibuat MUI untuk memisahkan antara Islam dan kufur tampak "ketinggalan zaman", atau tidak "mencerahkan" menurut bahasa orang sekarang, bahkan jika dibandingkan dengan argumen Al-Anbari dan Al-Jahizh, juga dengan Mahmoud Syaltout. Apalagi dengan interpretasi yang diajukan oleh pemikir muslim kontemporer Asghar Ali Engineer, yang tampaknya lebih relevan dengan situasi dan persoalan yang dihadapi dunia sekarang. Berbeda dengan para ulama umumnya, Asghar Ali menafsirkan kufur dan Islam secara lain.

Tokoh yang dikenal vokal dalam membela kaum lemah ini berpendapat bahwa orang Islam bisa kufur dan orang-orang nonmuslim, atau yang kita sebut "kafir administratif" tadi, bisa Islam. Asghar Ali menafsirkan kekufuran sebagai tindakan yang bercorak menindas, zalim, merusak, dan seterusnya. Wallahualam. l

*) Pengasuh Pada Balai Pendidikan Pondok Pesantren Darul Ihsan, Anyer, Serang, Banten

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus