Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANCAMAN terhadap Komisi Pemilihan Umum datang dari dua tempat di gedung parlemen dalam waktu yang hampir bersamaan, Kamis pekan lalu. Keduanya datang dari Komisi Pemerintahan, yang mengadakan rapat dengan KPU, dan Komisi Hukum, yang menggelar rapat dengan Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti. Peluru yang digunakan keduanya sama: audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap kinerja KPU dalam penyelenggaraan pemilihan presiden pada 2014.
Manuver ini merupakan buntut menipisnya peluang Partai Golkar mengikuti pemilihan kepala daerah serentak pada 9 Desember mendatang. Bukan kebetulan, dua komisi ini dipimpin politikus Golkar kubu Aburizal Bakrie, Rambe Kamarul Zaman di Komisi Pemerintahan dan Aziz Syamsuddin di Komisi Hukum. Rambe, misalnya, mengawali rapat dengan mengungkit ketidakpatuhan KPU tatkala menggunakan bujet pemilihan presiden. Akibatnya, terjadi indikasi kerugian negara Rp 34,3 miliar. "Apa temuan ini sudah diserahkan ke penegak hukum?" kata Rambe, Kamis pekan lalu.
Pada waktu yang hampir berbarengan, Komisi Hukum menggelar rapat dengan Kepala Polri. Agenda utamanya adalah membahas kinerja korps baju cokelat itu. Tapi politikus Golkar, John Kennedy Aziz, memakai momentum ini dengan menumpahkan unek-unek ihwal dualisme kepengurusan di partainya. Awalnya John, politikus dari kubu Aburizal Bakrie, curhat tentang penggunaan kantor Golkar di Slipi, Jakarta Barat. Dia meradang akibat tak bisa berkantor di Slipi karena dikuasai kubu Agung Laksono.
Setelah meminta bantuan kepolisian agar bisa berkantor bareng, John masuk ke topik utama. Seperti koleganya di Komisi Pemerintahan, ia mengeluarkan amunisi serupa, yaitu audit BPK. John menyinggung ketidakpatuhan pertanggungjawaban anggaran penyelenggara pemilu dengan total penyimpangan senilai Rp 334 miliar. "Ini indikasi tindak pidana masif," kata John sembari menyerahkan hasil audit kepada Badrodin Haiti.
Dua tekanan ini merupakan upaya lain setelah Golkar tak kunjung memperoleh kepastian mengikuti pemilihan kepala daerah. Rambe menampik jika berbagai manuver ini disebut untuk mengganggu tahapan pemilihan. "Kami bukannya mau menunda pilkada. Tidak ada upaya itu, supaya pers clear," kata Rambe sembari menoleh kepada wartawan yang meliput dari balkon Komisi Pemerintahan.
Partai Golkar patut menggantungkan nasib. Sengketa berkepanjangan di partai ini tak kunjung menemukan ujung. Partai berlambang beringin ini tersibak menjadi dua kubu, Aburizal Bakrie hasil Musyawarah Nasional di Bali dan Agung Laksono hasil Musyawarah Nasional di Ancol di sisi lain. Kedua kubu merasa paling berhak mengikuti pemilihan kepala daerah.
Tidak adanya tanda-tanda perdamaian mencemaskan Partai Golkar. Sebab, jika tak islah atau ada putusan berkekuatan hukum tetap, Golkar terancam tak bisa ikut pemilihan kepala daerah di 269 kabupaten/kota. Golkar memiliki tenggat menyelesaikan sengketa hingga 26 Juli, tatkala pendaftaran calon kepala daerah mulai dibuka.
Wakil Ketua Umum Golkar dari kubu Aburizal, Ade Komarudin, menuturkan, kegelisahan sudah melanda sejumlah kader di daerah. Jika tak bisa ikut pemilihan, Golkar terancam kehilangan infrastruktur politik di lebih dari setengah jumlah kabupaten/kota di Indonesia. Ketua Umum Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), organisasi kemasyarakatan pendiri Golkar, ini mengatakan kemenangan merebut kursi bupati dan wali kota merupakan modal merebut suara dalam Pemilu 2019.
Pada pekan lalu, hampir saban malam Ade menerima kader SOKSI di kediamannya di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Kepada Ade, mereka mengutarakan rasa cemas karena tak ada kepastian kendaraan politik. Pada Selasa malam pekan lalu, Ade menerima politikus Golkar dari wilayah Sulawesi. Salah satunya Bupati Minahasa Selatan Christiany Eugenia Paruntu. Selain itu, Ade menerima Ketua SOKSI yang juga Wali Kota Cilegon, Tubagus Iman Aryadi.
Gerilya kubu Aburizal sebenarnya berlangsung lama. Pada awalnya Komisi Pemerintahan menekan KPU dengan tiga rekomendasi syarat keikutsertaan partai bersengketa. Poin penting rekomendasi ini berbunyi: partai politik yang berhak mendaftarkan pasangan calon adalah mereka yang mengantongi putusan pengadilan terakhir. Bunyi poin ini menguntungkan kubu Aburizal, yang sudah mengantongi dua putusan pengadilan. Namun rekomendasi ini diabaikan KPU. Mereka berpuguh, yang berhak mengajukan calon adalah pemegang putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Titik cerah nasib partai beringin terlihat saat kedua kubu meneken kesepakatan islah di rumah dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 30 Mei lalu. Hanya, dalam kesepakatan itu masih ada sandungan, siapa yang bakal menandatangani berkas pendaftaran ke KPU pun tak kunjung terang. Pada Kamis pekan lalu, Sekretaris Jenderal Idrus Marham menemui Jusuf Kalla di kantor wakil presiden. Menurut JK, belum ada kepastian soal siapa yang akan menandatangani kepengurusan. "Nanti dilihat lagi," kata bekas Ketua Umum Golkar ini.
Buntu di semua lini, sejumlah politikus Golkar menemukan jalan ketika Badan Pemeriksa Keuangan mengumumkan hasil audit penyelenggaraan pemilu presiden. Dalam auditnya, BPK yang dipimpin bekas politikus Golkar, Harry Azhar Azis, menyatakan ada penggunaan dana Rp 334 miliar yang tak sesuai dengan undang-undang dari total anggaran senilai Rp 13,8 triliun. Anggota BPK, Agung Firman Sampurna, menyatakan perlu pemeriksaan mendalam apakah ada kerugian negara menurut audit ini. "Ini perlu pemeriksaan mendalam," kata putra politikus Golkar, Kahar Muzakir, ini.
Dalam rapat di Komisi Pemerintahan pada Kamis pekan lalu, serangan terhadap KPU semakin tajam. Politikus Golkar, Dadang S. Muchtar, menyebutkan penyelenggara pemilu menggunakan anggaran negara dengan seenaknya. Temuan BPK yang dia maksud adalah adanya transfer anggaran pemilu ke rekening pribadi. Dia menyebutkan KPU tutup mata menghadapi dugaan pelanggaran ini. "Transfer ke rekening pribadi sudah masuk pelanggaran pidana," kata Dadang. Sejumlah anggota Komisi Pemerintahan menyarankan temuan ini dilaporkan ke penegak hukum.
Sekretaris Jenderal KPU Arif Rahman Hakim punya dalih mengapa BPK menemukan penyimpangan. Ketika audit dilaksanakan, KPU masih disibukkan oleh proses rekapitulasi dan sengketa pemilihan presiden. BPK meminta lembaganya memverifikasi sejumlah temuan tersebut. "Kami diminta melengkapi bukti-bukti," kata Arif. Rencananya, kelengkapan bukti akan dilaporkan kembali kepada BPK.
Selain audit BPK, harapan menunda pemilihan serentak muncul dari ketidaksiapan anggaran pengamanan. Kepolisian mengajukan anggaran Rp 1 triliun untuk mengamankan hajatan ini. Total dana yang mengucur ke korps bhayangkara ini baru Rp 300 miliar. Namun Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan kekurangan dana tinggal separuh dari yang diajukan. Badrodin akan membicarakan kebutuhan ini dengan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Ketua Komisi Hukum Aziz Syamsuddin mengatakan tak ada ruang memperbaiki postur anggaran karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan sudah diketuk. Karena itu, dia menyarankan, "Sebaiknya pilkada diundur saja karena belum siap." Hanya, menurut Aziz, pengunduran jadwal membutuhkan kesepakatan antara Dewan dan pemerintah karena mesti mengubah undang-undang. Pasal 201 Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah menyatakan pemilihan serentak gelombang pertama dilakukan pada Desember 2015.
KPU bukannya tak bersiap diri menghadapi berbagai macam serangan yang ditujukan kepadanya. Pada Rabu pekan lalu, penyelenggara pemilu berkumpul di kantor KPU di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. Seorang peserta rapat menuturkan, topik utama pertemuan adalah partai-partai bersengketa, terutama Golkar. Menurut dia, KPU sedang menyiapkan diskresi peraturan agar partai bersengketa bisa menjadi peserta pemilihan kepala daerah. "Konflik Golkar menyita energi penyelenggara pemilu," kata seorang peserta pertemuan.
Hal lain yang dibahas adalah manuver sejumlah politikus Golkar terhadap KPU. Salah satunya audit BPK. Kekhawatiran ini terkonfirmasi tatkala Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Jimly Asshiddiqie bertanya kepada jurnalis yang menemuinya seusai pertemuan, "Ada berita apa soal audit BPK, biasanya wartawan tahu lebih banyak hal?" kata Jimly. Adapun Ketua KPU Husni Kamil Manik tak merasa bahwa audit BPK bakal digunakan media menekan lembaganya. "Memangnya itu serangan?" kata Husni justru balik bertanya.
Jimly menjelaskan, penyelenggara pemilu akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo dan Mahkamah Agung dalam waktu dekat. Dia berharap Mahkamah Agung bisa menggunakan wewenangnya untuk memprioritaskan penanganan perkara partai yang bersengketa. Dia menampik jika disebut bakal ada revisi aturan agar waktu pelaksanaan pemilihan bisa diundur. "Aturannya sudah ajek, tinggal pemainnya memanfaatkan celah," kata Jimly.
Wayan Agus Purnomo, Tika Primandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo