Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Social Planner dan Para Penjaga Republik

17 Februari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Denni Puspa Purbasari*

Sampul majalah The Economist edisi 22 Desember lalu tampaknya berhasil menggambarkan rasa frustrasi ekonom atas kebijakan para pemimpin dunia. Dalam edisi A Rough Guide to Hell itu tergambar Presiden Putin, Presiden Bashar Assad, dan Kim Jong-un terendam dalam air panas neraka, sementara Euro dan Presiden Obama—yang mengendarai speed boat kesombongan—menyusul mereka. Dalam kartun itu (masih di dalam neraka) tampak Hamas dan Israel yang saling menyerang, Kanselir Merkel yang malas, Berlusconi yang mengejar nafsu untuk berkuasa kembali, Romney dan partai Republik yang iri dan membiarkan Obama menuju neraka, serta Abang Sam yang haus akan minyak.

Lewat gambar satire itu, The Economist ingin mengingatkan bahwa perekonomian akan masuk neraka ketika para pemimpin politik terus-menerus melakukan kesalahan atau dosa. Dosa itu tak lain adalah tujuh dosa mematikan, yaitu kemurkaan, ketamakan, kemalasan, kesombongan, nafsu, iri hati, dan kerakusan.

Berbeda dengan agama yang menuntut semua orang berbuat baik, altruisme dan kebajikan (benevolence) dalam teori ekonomi hanya "dituntut" ada pada negara, sedangkan bagi orang per orang atau perusahaan adalah sebuah pilihan, bukan norma. Teori ekonomi membuat asumsi sederhana tentang motivasi aktor-aktor ekonomi, yaitu konsumen umumnya memaksimalkan utilitas dan produsen umumnya memaksimalkan keuntungan. Meskipun sering disanggah, asumsi pesimistis ini sebenarnya pas, obyektif, dan tak basa-basi. Bahwa dalam dunia ekonomi orang memang cenderung memprioritaskan kepentingannya sendiri atau egoistis. Meskipun demikian, ini tak berarti bahwa altruisme dan benevolence tak penting dalam dunia ekonomi. Sangat penting malah. Namun keduanya "diwajibkan" ada pada negara—yang semestinya menjadi penjaga kepentingan publik.

Teori ekonomi awalnya sangat naif dengan mengasumsikan bahwa pemerintah atau negara akan selalu melakukan yang terbaik bagi perekonomian. Pemerintah adalah Sang Mahatahu dan Sang Mahabaik. Ketika perekonomian mengalami resesi, misalnya, pemerintah akan melakukan kebijakan x, y, dan z yang ia tahu akan mengangkat perekonomian keluar dari resesi. Setali tiga uang, ketika menghadapi keserakahan perusahaan, pemerintah diasumsikan tahu dan akan menerapkan kebijakan yang membuat pengejaran akan profit oleh perusahaan ini tak melanggar kepentingan publik. Namun siapakah sebenarnya pemerintah itu?

Fakta bahwa kebijakan pemerintah sering berbeda—bahkan berlawanan—dengan nalar ekonomi membuat ekonom mencoba membuka tabir siapa pemerintah itu sebenarnya. Awalnya teori melihat pemerintah tak ubahnya sebuah kotak hitam: sebuah entitas penting tapi misterius isinya. Ketika dibuka, pemerintah ternyata adalah sekumpulan politikus atau orang yang motivasinya tak berbeda dengan orang-orang kebanyakan, yaitu egoistis. Wujud dari egoisme ini macam-macam, bisa berupa keinginan untuk dipilih kembali, mendapatkan harta, kebanggaan, dan sebagainya.

Motivasi egoistis politikus ini di atas kertas bisa dibatasi bila institusi atau aturan main yang ada "sempurna". Bila tidak, kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang berisikan self-interest politicians atau individualis ini tak akan sama dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang bertindak sebagai social planner. Social planner adalah Sang Mahatahu dan Sang Mahabaik, penjaga kepentingan publik, yang sosoknya hanya ada dalam teori. Motivasi social planner hanya satu, yaitu memaksimalkan kesejahteraan umum.

Pada sosok imajiner yang disebut social planner inilah seluruh harapan tentang kebijakan ekonomi diletakkan. Dialah yang menciptakan institusi atau aturan main untuk membatasi egoisme pelaku ekonomi dan melindungi kepentingan publik. Dalam dunia nyata, sosok social planner ini tentu saja nihil. Yang ada adalah pemerintah, yaitu mereka yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, di pusat ataupun daerah. Meskipun tidak sempurna dalam pengetahuan dan kebaikannya, pemerintah semestinya bisa mencontoh pemikiran social planner, dan menjadi Sang Penjaga Republik di dunia nyata.

Social planner bukanlah pengejar popularitas atau suara. Dalam konteks Indonesia, barangkali ia akan menaikkan harga bahan bakar minyak karena ia tahu harga murah hanya akan mendorong pada pemborosan sumber daya. Bukan hanya itu. Harga BBM murah juga akan merentankan keberlangsungan hidup bangsa ke depan karena mematikan insentif orang untuk mengembangkan energi alternatif. Ia realistis bahwa konsumen egoistis-rasional, membeli BBM karena pertimbangan harga, bukan karena pertimbangan dampaknya pada pemanasan global, polusi, atau generasi selanjutnya. Karena itu, harga BBM harus dinaikkan.

Untuk agenda ini, social planner akan siap menjadi martir, demi Indonesia yang lebih baik, lebih sehat, dan lebih siap; dan ia akan menutup kuping rapat-rapat nasihat-nasihat dari para "charlatans" atau tukang obat palsu (istilah yang digunakan Mankiw, ekonom Harvard), yang mengusulkan solusi yang tak tepat tapi terlihat sangat menarik.

Social planner adalah pengoreksi mekanisme pasar. Karena itu, ia tak akan ragu untuk mengatur eksploitasi sumber daya alam dan eksploitasi ruang ataupun barang publik oleh tangan-tangan privat, sekalipun mereka ini adalah perusahaan nasional, lokal, bahkan wong cilik. Tanpa pengaturan, social planner tahu bahwasanya pasar akan membiarkan sumber daya alam dan properti publik, dari tambang, hutan, ikan di laut, sampai trotoar jalanan, dikuras habis dan dikapling-kap­ling karena nilai ekonomi yang terkandung di dalamnya. Bila ini terjadi, amanat kesejahteraan rakyat tercederai dan hanya orang-orang tertentu (yang sering mengatasnamakan rakyat atau kepentingan nasional) diuntungkan. Pengaturan oleh pemerintah justru membuktikan bahwa negara tidak menganut laizzes faire atau fundamentalisme pasar.

Sebaliknya, social planner bukanlah penganut sosialisme murni. Ia tetap membuka kesempatan kepada orang-orang, termasuk asing, untuk mengusahakan sumber daya alam yang dikuasakan oleh konstitusi kepadanya selama memberikan kemanfaatan terbesar bagi orang banyak. Ia tak akan tipis kuping bila dicap sebagai komprador asing atau neolib karena ia tahu kemanfaatan itu dapat bersifat langsung kepada entitas ekonomi nasional, ataupun tak langsung melalui penerimaan APBN, yang dananya digunakan untuk membangun Republik dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Rote. Ia sadar sepenuhnya bahwa motivasi mencari untung tidak hanya dimiliki oleh orang asing, tapi juga orang kita sendiri.

Untuk mendapatkan hak eksploitasi ini, mereka yang berhasrat bisa melakukan apa saja: suap, penggalangan opini, mobilisasi massa demo, gugatan ke pengadilan atau regulasi. (Untuk ini, Stigler, ekonom dari University of Chicago, penerima Hadiah Nobel, mengingatkan, "People use regulation for personal gain rather than for the general good.") Namun dialah Sang Penjaga Republik. Untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, ia tak akan menjual murah kekayaan republik dan tak akan membeli mahal barang atau jasa untuk publik. Dia hanya akan memberikan hak pengelolaan kepada the worthy, siapa pun itu.

Social planner adalah pemimpin yang cerdas. Ketika dihadapkan pada persoalan ekonomi konkret di lapangan, ia akan berfokus pada pilihan program dan implementasi di lapangan secara konsisten daripada bersilat lidah tentang hal-hal abstrak, seperti paradigma pembangunan atau sistem ekonomi. "Zigzag windings of the flowery path of literature" (mengambil istilah Edgeworth, 1889) hanya akan mengalihkan tenaga tanpa hasil konkret, sementara masalah ekonomi begitu banyak dan nyata. Untuk mengatasi kemiskinan, semua sistem pasti menyukai pendekatan pemberdayaan daripada pemberian bantuan sosial. Sebab, mengutip ucapan bapak kita Sukarno, "... tak ada satu negara pun yang bisa maju zonder kerja, zonder keringat."

Social planner tahu semua negara di dunia ini tak ada yang sepenuhnya bersandar pada pasar, atau sebaliknya bersandar sepenuhnya pada pemerintah. Pun tak ada pemerintah yang hanya peduli pada efisiensi (pertumbuhan) dan melupakan keadilan sosial. Tak ada satu negara pun, apa pun sistemnya, yang menyetujui korupsi, membiarkan kemiskinan, serta menyerahkan kedaulatan politik dan ekonominya di tangan asing. Konklusi-konklusi besar ini sudah ada di teori-teori ekonomi ataupun sejarah hidup bangsa-bangsa.

Pemerintah yang diilhami oleh social planner barangkali akan lebih realistis dan berfokus. Ia realistis bahwa swasta secara umum lebih baik dalam menyediakan barang dan jasa, dan berfokus pada tiga tugas pemerintah, seperti yang ditulis oleh Adam Smith, bapak ekonomi klasik, dalam The Wealth of Nations (1776). Ketiga tugas tersebut adalah: menjaga pertahanan/keamanan, menyediakan keadilan, serta menyediakan barang publik dan institusi publik. Ini semua tak dapat disediakan oleh swasta. Negara jangan masuk ke hal-hal yang bisa dilakukan swasta dengan lebih baik, dan justru abai pada tugas utama ini.

Perekonomian tak akan bisa maju bila ada gangguan keamanan, bila tak memiliki institusi keadilan yang berintegritas, dan bila semua urusan diserahkan kepada swasta dengan logika untung-ruginya. Pemerintah harus turun tangan ketika swasta tak melihat suatu aktivitas menguntungkan padahal penting bagi masyarakat, seperti jalan, dermaga, dan pendidikan. Khusus mengenai pendidikan, Smith mengatakan, "It is the duty of government to prevent the growth of cowardice, gross ignorance and stupidity."

Begitu mulia dan beratnya tugas social planner, tak mengherankan bila Wakil Presiden Boediono—yang ekonom—dalam berbagai kesempatan mengatakan: "Pemerintah, termasuk lembaga politik, perlu diisi oleh putra-putri terbaik Republik, seperti sejarah kita dulu." Menurut dia, di tangan pemerintah­lah institusi atau aturan main dibuat, dan diperbaiki. Barangkali saat itu di benak Boediono terlintas Sukarno, Hatta, Sjahrir, atau Tjipto Mangunkusumo, dan berangan-angan akan hadirnya banyak social planner di republik ini. Entahlah.

*) Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus