Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Senjakala Islam Politik Indonesia

17 Februari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yusuf Wibisono*

Berbagai survei terbaru secara konsisten memprediksi raihan suara partai politik Islam akan semakin menurun di masa mendatang. Setelah stagnasi satu dekade, dengan raihan sekitar 15 persen suara dari Pemilihan Umum 1999 hingga Pemilu 2009 dan kegagalan Partai Bulan Bintang tampil di Pemilu 2014, proyeksi ini jelas memprihatinkan, melihat kegemilangan partai politik Islam yang pada Pemilu 1955 mampu meraih 44 persen suara. Prahara paling akhir yang menerpa Partai Keadilan Sejahtera, partai politik Islam terbesar saat ini, semakin mempertebal pesimisme terhadap masa depan Islam politik di Indonesia. Mengapa Islam politik gagal meraih dukungan publik?

Secara umum, partai politik Islam tampil semakin moderat dan dengan agenda yang semakin pragmatis. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara muslim lainnya. Beberapa pakar percaya bahwa keterlibatan dalam proses politik, baik secara demokratis maupun tidak, akan membawa pemimpin partai Islam, seperti partai Wasat di Mesir (Wickham, 2004) dan AKP di Turki (Mecham, 2004), menjadi moderat secara ideologis; beralih dari teokrasi ke demokrasi.

Sementara moderasi ideologis partai Islam di negara lain, seperti AKP, merupakan hasil political learning dalam jangka panjang sebagai respons strategis atas berbagai hambatan institusional dan pengalaman demokrasi untuk memperoleh kekuasaan (Bermeo, 1992), moderasi ideologis partai Islam di Indonesia lebih merupakan strategi elektoral untuk secara pragmatis meningkatkan raihan suara dalam jangka pendek. Moderasi ideologis dipercaya membuat partai politik Islam menjadi semakin lebih diterima dan karenanya memperoleh dukungan publik yang semakin luas. Lonjakan suara PKS serta anjloknya suara PPP dan PBB pada Pemilu 2004 menjadi pembenaran tesis ini.

Namun tesis ini mendapat beberapa kualifikasi. Dukungan publik terhadap partai politik Islam tak hanya karena citra moderat semata, tapi juga karena kinerja politik yang sangat baik. Di Turki, moderasi ideologis AKP berjalan beriringan dengan kinerja partai yang sangat baik di tingkat lokal, terutama di daerah-daerah industri baru. Mereka secara pragmatis menyelesaikan permasalahan ekonomi dengan sikap business-friendly, pro-Uni Eropa, pro-globalisasi, dan outward-looking. Dikombinasikan dengan kekuatan organisatoris di tingkat bawah dan penzaliman pemimpin partai yang populis, AKP mendapat kepercayaan publik yang menginginkan perubahan dari keterpurukan ekonomi dan kesenjangan yang besar.

Kemenangan partai Islam di banyak negara juga sering kali lebih disebabkan oleh kegagalan partai sekuler inkumben yang lemah dan korup. Di Aljazair, kemenangan FIS terjadi beriringan dengan turunnya kinerja partai mayoritas FLN. Keluarnya kelompok menengah dari FLN yang kemudian menggeser dukungannya ke FIS, khususnya pelaku usaha kecil, birokrat tingkat bawah, dan kelompok terdidik, menjadi kunci kemenangan FIS (Chibber, 1996). Kemenangan partai Refah di Turki sebagian besar disebabkan oleh fragmentasi kekuatan politik, distribusi pendapatan yang sangat tak merata, menurunnya kapasitas redistribusi, dan menurunnya moral otoritas negara (Öni, 1997).

Karena itu, meroketnya raihan suara PKS pada Pemilu 2004 sejatinya lebih memperlihatkan kemuakan publik terhadap partai politik yang sebelumnya berkuasa yang dipandang korup dan tak kredibel dibanding sebagai hasil moderasi ideologis. Ketika ekspektasi publik ini tidak terpenuhi, strategi moderasi ideologis yang berlanjut dan bahkan dengan derajat yang lebih tinggi pada Pemilu 2009, sebagaimana ditunjukkan PKS, tidak lagi memperlihatkan hasil memuaskan.

Pada saat yang sama, moderasi ideologis sebagai strategi elektoral ini juga membuat partai Islam membidik massa cair yang merupakan swing voters dengan politik pencitraan melalui iklan dan kampanye yang masif. Strategi seperti ini menciptakan kebutuhan pendanaan yang besar dan persisten. Dengan keterbatasan sumber pendanaan, strategi ini diduga telah memaksa partai Islam terlibat dalam aktivitas rent-seeking, praktek umum semua partai politik di negara miskin demokratis.

Demokrasi memiliki keunggulan dibanding otoritarianis­me dalam mengendalikan biaya rent-seeking yang berasal dari keterbukaan yang lebih besar, kebebasan ekonomi dan politik yang lebih luas, serta kebutuhan pemerintahan demokratis untuk menarik simpati pemilih agar dapat terus bertahan di kursi kekuasaan. Namun, di Indonesia, rent-­seeking dan korupsi tak mereda setelah jatuhnya rezim diktator dan beralih ke demokrasi.

Menggunakan analisis Johnston (1997), korupsi di negara miskin demokratis seperti Indonesia adalah fungsi dari ketidakseimbangan politik ketika peluang politik lebih besar daripada peluang ekonomi. Peluang otonomi elite juga lebih besar daripada aksesibilitasnya. Indonesia baru yang demokratis pun mewarisi struktur, institusi, dan budaya politik yang korup (Robertson-Snape, 1999). Transparansi dan akuntabilitas lemah, konsep kekuasaan hierarkis dan patrimonial, intervensi pemerintah ekstensif dalam perekonomian, serta memberi kepada penguasa dan rekanan bisnis sudah menjadi kultur.

Pada saat yang sama, partai politik memiliki kebutuhan pembiayaan yang dibenarkan untuk bertarung dalam pemilu. Untuk negara sebesar dan seluas Indonesia, biaya iklan, tingginya persaingan dan biaya membeli dukungan patron, serta biaya kampanye adalah sangat mahal. Dengan ketiadaan sistem dan instrumen yang memadai tentang pembiayaan partai politik, hal ini mendorong tumbuhnya korupsi. Partai politik terdorong mengumpulkan dana sejak dulu dan politikus menyumbang untuk memastikan kursi di parlemen. Ini menciptakan ekspektasi bahwa di masa depan mereka akan menerima return dari investasi politik mereka melalui korupsi.

Lebih jauh lagi, akuntabilitas parlemen yang lemah membuat korupsi partai politik menjadi masif (Keefer, 2002). Partai memiliki kredibilitas kebijakan yang terbatas dengan pemilih, sehingga mereka tak memiliki insentif untuk menjaga integritas. Sistem politik juga sangat berorientasi pada partai sehingga loyalitas legislator lebih kepada partai, bukan kepada konstituen. Koalisi yang dibangun juga merusak insentif memerangi korupsi karena koalisi tak berbasis platform.

Dalam lingkungan seperti ini, partai politik mudah tergoda dan dengan cepat bertransformasi menjadi tempat pertemuan para pengejar rente, termasuk partai Islam. Dalam klasifikasi Kunio (1988), pengusaha merapat ke partai politik untuk berbisnis (crony capitalist), partai politik dan politikus mengeksploitasi pengaruhnya untuk menghimpun dana (politician-turned capitalist), serta pengusaha menggunakan modalnya untuk meraih kekuasaan politik dalam rangka melanggengkan bisnis (capitalist-turned politician).

Partai politik Islam di masa mendatang harus mampu menampilkan orientasi kerakyatan secara pragmatis dan kemampuan partai dalam mengelola pemerintahan. Hanya dengan demikian persepsi kesenjangan antara idealitas Islam partai dan kompromi-kompromi politik di lapangan dapat diredakan. Partai Islam juga harus mampu memunculkan creative action berbasis kinerja, bukan citra moderat semata, yang akan membuat mereka mempertahankan orisinalitasnya dan memperluas daya tarik terhadap pemilih.

Agenda demokrasi jangka pendek terpenting saat ini adalah reformasi sistem keuangan partai politik. Dengan kondisi saat ini, partai mana pun akan mudah tergoda dan terjerumus dalam aktivitas rent-seeking, yang akan menggerus demokrasi. Partai politik Islam harus tampil di depan dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan cara terhormat serta mendorong merit system.

Sejumlah agenda dan inisiatif strategis dapat didorong partai politik Islam untuk mendorong iklim antikorupsi sekaligus mengembalikan citra bersih partai Islam, seperti transparansi penerimaan dan pengeluaran partai dan terbuka untuk diaudit (public disclosure). Partai juga harus mendorong pembatasan belanja iklan partai dengan cara mengalokasikan waktu iklan secara gratis di media, menerapkan batas atas belanja partai secara legal, iuran wajib anggota partai, hingga pembuktian terbalik untuk kekayaan pribadi ­elite partai.

*) Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus