Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di depan gerbang Kota Thebes berdiri makhluk yang ganjil dan perkasa yang mencegat tiap orang yang lewat dengan teka-teki. Ia, Sphinx, akan bertanya: "Makhluk apakah yang di waktu pagi berkaki empat, tengah hari berkaki dua, dan senja berkaki tiga?"
Tak ada yang bisa menebak. Akhirnya singgah Oedipus. Lelaki muda pengembara ini menjawab: "Manusia."
Mendengar ini, Sphinx melesat terbang. Ada yang menceritakan ia menabrak karang dan tewas; dalam cerita saya ini, ia menghilang.
Mithologi sering sampai ke kita sebagai enigma; kita tak mudah mengerti maksudnya. Tentang cerita di atas, saya menawarkan satu tafsir: Sphinx sesungguhnya hendak menguji, sejauh mana orang-orang merenungkan keadaan diri mereka sendiri sebagai makhluk dibumi yang bergerak ini. Tapi ia kecewa. Setelah beratus-ratus orang tak peduli, kini datang seseorang yang cerdas tapi tak sabar.
Dengan cepat Oedipus menebak teka-teki itu; manusia tak lagi ia anggap sebuah misteri. Sphinx terkejut. Di hadapannya, tanpa ragu, manusia dikemukakan sebagai sebuah konsep yang mencakup bayi yang merangkak, orang dewasa yang tegak, dan pak tua yang berjalan dengan bertelekan tongkat. Dengan kata lain, wujud yang berbeda-beda itu diabstraksikan; ia jadi satu identitas tunggal.
Sphinx tak menyangka Oedipus dengan gampang menyimpulkan manusia hanya sebagai makhluk yang dibentuk waktu. Tampak ia punya kesanggupan mengendalikan kehidupan dengan mereduksi keanekaragamannya yang tak terhingga dan nuansanya yang tak terduga-duga.
Setelah Sphinx menghilang, Oedipus pun memasuki Kota Thebes-sebuah kota tempat ia tak bersua dengan "manusia". Yang ia temui perempuan dan lelaki (atau bukan perempuan dan bukan lelaki) yang riang atau murung, bekerja atau capek, elegan atau kikuk. Pendek kata: wujud yang beragam, berubah, konkret. Saya ingat Sartre mengutip Marx: "Aku tak melihat manusia.... Aku hanya melihat buruh, kaum borjuis, intelektual." Bahkan sebenarnya "buruh" dan "borjuis" itu pun satuan-satuan yang dirampatpapankan: konsep untuk analisis.
Tapi Oedipus dengan nyaman menggunakan itu, dan ia jadi raja.
Kemudian kita tahu hidupnya berakhir tragis. Tanpa disadarinya, Oedipus menikahi ibu kandungnya sendiri, Iokasta, yang tak pernah dikenalnya karena begitu lahir ia dibuang jauh-jauh. Ia pendosa yang tak sadar, tapi ia seakan-akan terkena karma: ia harus memenuhi ketentuan sesuai dengan ke-manusia-annya. Ia sesungguhnya tak sama dengan bayi yang dibuang dari Thebes ke pegunungan. Ia pendatang baru di kota itu, yang tak mengenal dan dikenal Iokasta. Bahwa perkawinan mereka dianggap melanggar tabu, itu karena larangan yang ada berlaku bagi siapa saja, kapan saja. Ia harus dihukum seperti yang lain-lain, meskipun sebenarnya ia tak berniat membuat skandal-bahkan, seperti disebutkan dalam lakon Sophokles, skandal itu memang rencana dewa-dewa....
Cerita teka-teki Sphinx dan Oedipus adalah cerita awal humanisme, atau tentang "manusia" dan ambiguitasnya yang ganda.
Pertama, di satu sisi makhluk ini diletakkan dengan hakikat yang tetap dan kekal, yang membedakannya dari fauna, flora, ataupun dewa-dewa. Di sisi lain ia wujud yang konkret yang diguncang satu kejadian yang tak lazim.
Juga di satu sisi Oedipus tak bisa mengelak dari kekuasaan langit, berupa takdir. Di sisi lain ia memiliki kemerdekaan, kemauan, dan keteguhan yang luar biasa untuk melaksanakan hukuman terhadap dirinya sendiri: menusuk mata sampai buta dan meninggalkan Thebes. Ia mengubah dirinya. Ia bukan lagi raja, melainkan seorang tunanetra yang tak punya negeri.
Beberapa abad setelah Sophokles, di Eropa para pemikir humanis menekankan ambiguitas itu: manusia ditentukan, tapi ia juga menentukan. Dalam humanisme ala Sartre, manusia adalah "faktisitas", himpunan hal yang menetap dalam dirinya: en-soi; tapi ia juga "transendensi", kesadaran yang bisa melampaui dan menghadapi dirinya sendiri: pour-soi. Ia tak ditentukan satu esensi atau hakikat; ia adalah eksistensi, yang "men-jadi" dan "ter-jadi" karena pilihannya.
Itu sebabnya manusia sebenarnya tak bisa dirumuskan secara a priori-dan Sphinx putus asa bahwa Oedipus, seorang manusia, justru melakukan itu. Wajar jika ia, Sphinx, yang sudah hidup ribuan tahun, memiliki wawasan yang lebih dalam. Makin jelas Oedipus salah; manusia bukan identitas yang hanya berubah karena waktu. Kini makin santer pembicaraan tentang sebuah zaman baru yang menunjukkan manusia bisa tak terduga-duga, mendobrak apa yang selama berabad-abad dianggap kodratnya.
Lebih dari 30 tahun yang lalu, terbit A Cyborg Manifesto, sebuah esai yang cemerlang dari Donna Haraway. Dalam "manifesto" ini manusia bukan lagi identitas yang sudah selesai dan terpisah. Haraway melihat retak dan ambruknya tiga perbatasan sejak abad ke-20: antara manusia dan hewan, antara manusia-hewan dan mesin, antara yang jasmani dan yang bukan-jasmani. "Menjelang akhir abad ke-20... kita adalah cyborg." Kita adalah hibrida antara mesin dan organisme, dalam teori dan dalam produksi. Identitas apa pun tak boleh mencengkeram kita. Identitas, kata Haraway, mengandung kontradiksi, bersifat sepihak, dan mengandung strategi menguasai.
Saya tak tahu adakah manifesto ini-yang menyeru untuk zaman yang tanpa arogansi manusia, zaman pasca-Oedipus-kini dilupakan. Tampaknya ilmu dan teknologi dengan optimisme yang berpendar menggantikan konsep cyborg dengan transhuman-manusia yang melampaui kematian, usia tua, dan menggabungkan ke dalam dirinya kecerdasan komputer yang tercanggih. Makhluk super ini akan menguasai dunia, kata penganjur transhumanisme-dan yang lemah entah apa nasibnya.
Bukan mustahil. Tapi saya bayangkan kini Sphinx tua itu akan bergidik, terbang, ketakutan: manusia memang makin menakjubkan, manusia makin mencemaskan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo