DARI mana anda belajar dasar moral? "Dari sport", jawab Albert
Camus. Sastrawan Perancis pemenang Hadiah Nobel ini - sebelum ia
mendadak mati dalam kecelakaan mobil -- agaknya layak mendapat
pertanyaan itu. Ia semacam suluh untuk suatu masa yang luka oleh
permusuhan. Perang Dunia II baru berakhir. Orang mencari basis
yang kokoh kembali untuk kehidupan bersama.
Di masa kecilnya yang melarat di Aljazair, dan juga di masa
remajanya yang penuh kenangan, Camus memang asyik dengan
pertandingan bola. Ia menonton, dan pernah jadi kiper. Di bawah
gawang itu ia sepenuhnya terlibat dalam pertandingan, tapi
sekaligus bisa sendirian untuk mengamati dan merenungkan.
"Sport", yang di Malaysia diterjemahkan "sukan", memang lebih
luas maknanya ketimbang sekedar "olahraga". Dalam sport tak cuma
tubuh yang diolah, tapi juga sikap. "He is a good sport", kata
orang Inggeris tentang seseorang yang bisa menerima kekalahan
dengan hati bersih dan berniat menang tanpa menjegal.
Bagi Camus itulah ajaran yang layak. Ketika Perancis ditindas
Jerman, ia ikut gerakan di bawah tanah. Teror dan pembunuhan
terjadi, dan orang Perancis melawan. Tapi tulisan Camus dalam
selebaran gelap Combat waktu itu toh tetap satu gema dari apa
yang luhur dalam diri manusia. "Kami ingin menghancurkanmu dan
kekuasaanmu, tanpa merusakkanmu dalam sukmamu". Baris itu
ditulisnya buat kawannya, seorang Jerman, yang telah jadi
musuhnya, menjelang Paris jadi medan pertempuran dalam Lettres
a'un allemand.
Dan ia belajar dasar moralitasnya dari sport.
Tapi mungkin kini orang akan mengejeknya. Sport kini toh
mengalami krisis ethika. Penggunaan obat perangsang, "doping".
penyuapan, pengaruh dukun dan politik menyusup sampai ke arena
pertandingan. Uang dan kekuatan (gaib atau tak gaib)
dimanfaatkan, tanpa malu. Untuk kemenangan.
Apa gerangan yang terjadi, begitu banyak orang bertanya. Mengapa
pegangan ethis yang paling elementer pun -- yang dengan mudah
bisa diterima anak Sekolah Dasar -- kini berantakan?
Ini tanda akhir zaman, kata seorang yang salih. Mungkin juga.
Sebab mungkin zaman akan berakhir karena manusia putus-asa. Dan
mungkin ada semacam kegiatan subversif dari Setan untuk
menyebarkan putus-asa itu lebih luas, hingga kian banyak orang
mengeluh, lalu mengalah: "Ah, dunia memang tak akan blsa
diperbaiki lagi". Dan dengan begitu kian banyak yang akan ikut
dalam gerakan memerosotkan riwayat manusia - secara pasif atau
aktif. Lalu Tuhan, sang Pencipta manusia, mereka gugat.
Satu komplotan untuk meniadakan harapan dengan begitu terbentuk.
Lambangnya adalah wajah manusia yang keji. Tak lagi terpancar di
sana cahaya moralitas untuk kehidupan bersama. Tak ada lagi
sport yang dulu. Tak ada lagi aturan yang adil, tak pula hakim
yang layak dipercaya, yang tak berat sebelah. Setiap kata
"moral" diketawakan sebagai suara yang hipokrit atau naive. Dan
kalau ada ucapan yang berbahagia, "Ternyata masih ada hakim yang
adil", maka ucapan itu harus dicurigai. Kepercayaan antar
manusia, ikhtiar untuk kembali berharap, tergetarnya lagi dasar
ethis - semua itu harus digertak. Semboyan telah berganti: "Saya
bobrok, karena itu kita semua musti bobrok".
Tapi gambaran itu mungkin terlampau suram hingga mustahil. Siapa
tahu masih ada anak yang bisa menikmati acara "Cerdas Cermat"
TVRI. Di sana pertandingan berlaku terbuka, sang wasit bersuara
riang, dan beda antara yang bertanding hanya nisbi, tidak
hitam-putih. Bukankah anak-anak itu masih bisa nyanyi, dengan
suara murni, bahwa Indonesia adalah "tanah yang mulya"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini