DI Kabupaten Manggarai (Flores Barat), konflik PDI dengan aparat
pemda dimulai sejak dipecatnya 5 guru SMA Swadaya Bersubsidi
Ruteng, 26 Maret lalu.
Kampanye di ibukota kecamatan Reok, 30 Maret lalu, tidak
dizinkan karena pejabat setempat, Stefanus Djelaut B.A.
menyatakan rakyatnya "sudah 100% Golkar". Begitu pula
pamongpraja desa Satar Punda, kecamatan Lamba Leda, dan desa
Wangkung, kecamatan Reok. Di sana juga ada larangan kampanye,
pemukulan anggota PDI, dan pemberhentian guru-guru swasta
yang pro-PDI.
Menurut laporan DPC PDI Manggarai, pemilu di desa Ndoso,
kecamatan luwus dimulai jam 5 pagi. Di desa Ranggu bahkan mulai
lebih pagi lagi. Di desa Tengku Leda, di mana Golkar dinyatakan
100% menang anggota Polri Daeng Lara dan Hansip berada dalam
bilik pencoblosan.
Di desa Arus ada petugas TPS yang langsung membuka surat-surat
secara setelah ditusuk. Dan di kampung Menge surat panggilan
sudah dikumpulkan tanggal 30 April, dan pemilih tidak usah
datang lagi tanggal 2 Mei.
Laporan itu belum dicek kebenarannya. Tapi bahwa ada yang kurang
enak, ini terlihat dari reaksi para pastor dan calon pstor. Di
Ruteng, setiap khotbah minggu dimanfaatkan oleh Uskup Vitalis
Djebarus SVD mengingatkan pemerintah dan rakyat akan hak-hak
azasi dan suara hati yang perlu dibela dalam pemilu. Bukan
justru diinjak-injak. Bahkan sampai 1 Mei, Mgr. Djebarus masih
berpesan "pemilu bukan sandiwara". "Kalau pemilu sandiwara atau
disandiwarakan", begitu sang Uskup yang masih kerabat Bupati
Lega berkhotbah, "maka kuasa yang diperolehnya akan dipatahkan
oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, seperti bencana di Sodom dan
Gomora".
Memang, sikap Uskup itu tak luput mengundang kritik rohaniwan
yang masih berpendapat bahwa pastor tidak boleh campur urusan
politik. "Ini bukan soal politik", kata Mgr. Djebarus pada
TEMPO, "ini justru soal agama, soal membela perikemanusiaan dan
keluhuran suara hati". Soal guru-guru PDI yang dipecat itupun
sudah digugatnya pada ketua Golkar setempat, tapi belum ada
tanggapan.
Berkat kegigihan pengurus PDI Manggarai yang didukung oleh
uskupnya, di Ruteng mereka masih berhasil menggaet 30% suara.
Namun di luar kota hampir tandas. Gejala yang sama, juga tampak
di kabupaten lain. Kabupaten Sikka tahun ini PDI tinggal
kebagian 10%.
Padahal tahun 1971 Partai Katolik memperoleh 85%. Maklum daerah
ini merupakan kampung halaman banyak dedengkot Partai Katolik
seperti Frans Seda, VB da Costa, Ben Mang Reng Say dan ketua
PMKRI Chris Siner Key Timu. Bupatinya sendiri, Laurens Say,
adalah saudara Ben Mang Reng Say yang kini dubes di Meksiko.
Tahun ini, perlawanan terhadap penekanan bukan berasal dari
tokoh-tokoh tua, tapi dari Sekolah Tinggi Filsafat & Teologia
Ledalero, tempat penggemblengan calon pastor SVD. Dua tokoh
Golkar dari Jakarta dan Menteri Sumarlin, dengan resmi ditolak
"berkampanye" di kampus itu.
Sebaliknya ketika para mahasiwa berusaha jadi sukarelawan saksi
pemilu, dengan resmi pun kehadiran mereka ditolak lewat telegram
Kepolisian Kupang. Di situ Golkar berhasil menang 90' di
Kabupaten Sikka, mengoper kedudukan Partai Katolik 5 tahun lalu.
Akibat keterlibatan sejumlah pastor dan calon pastor dalam
pemilu ini arus baliknya saunpai terasa sesudah pemilu usai.
Menurut laporan, justru sesudah pcmilu muncul "banyak gangguan"
bagi para biarawan dan biarawati. Maka pengurus IDI minta DPP
PDI mengirim peninjau dan pembela ke sauIa. Dan da Costa pun
dikirim ke sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini