MEROSOTKAH PDI? Kesan pertama, ya. Menurut angka Lembaga
Pemilihan dan Umum sampai akhir pekan lalu, partai ini cuma
mendapat 8,7% dari jumlah suara yang masuk, sementara dua
kontestan lain berada di atas 20% (Golkar: 62,1%, PPP: 29,2%).
Sementara itu. di daerah seperti Nusa Tenggara Timur, misalnya,
tampak penurunan presentase suara yang menyolok dibanding dengan
dua pemilu sebelumnya. Juga di Maluku dan Sulawesi Utara.
Namun para tokoh PDI, seperti misalnya dikatakan TAM Simatupang
dari DPP PDI pekan lalu dalam diskusi dengan TEMPO, tidak setuju
untuk memakai kata "kemerosotan". Bahkan ketua Umum PMKRI Chris
Siner Key Timu - seraya mengatakan bahwa dia bukan anggota PDI.
dan menyatakan beberapa kritiknya kepada PDI - menegaskan bahwa
"sebenarnya PDI justru menang, kemenangan moril". Baginya
kemenangan Golkar justru kemenangan dalam tanda kutip. Dengan
fasilitas macam-macam dengan mengerahkan hampir semua menteri
dan pejabat daerah, kata Chris, presentase suara Golkar malah
kurang dibanding pemilu 1971. Sementara itu, BN Marbun, sarjana
lulusan Jerman yang ikut berkampanye buat PDI di Sumatera Utara,
PDI baru bisa dibilan merosot nanti kalau meman turun angkanya
dalam pemilu 1982.
Jika lebih teliti memperhatikan grafik presentase suara PDI di
daerah basis partai-partai terkuatnya (lihat: Grafik, hal. 6)
memang "kemerosotan" itu tak terjadi benar. Bahkan di Bali
meskipun di situ ada "penggarapan" hebat dari Golkar dan aparat
pemerintah daerah, ada kenaikan sedikit dibanding pemilu 1971.
Juga di Sumatera Selatan dan Jawa Barat.
Anehnya, ada beberapa daerah Lampung dan Irian Jaya misalnya
justru tak ada kampanye PDI, malah suara yang didapat bertambah.
Menurut kalangan PDI, di daerah di mana tak ada atau sangat
sedikit PDI kampanye, dianggap sepi oleh Golkar, "hingga tak ada
tekanan-tekanan". Itulah sebabnya DPP PDI lantas mengambil
kebijaksanaan melaksanakan kampanye dengan cara getok-tular,
bisik-bisik dari rumah ke rumah.
Jauh sebelum saat kampanye sudah "kami perhitungkan akan adanya
penyalahgunaan kekuasaan", kata TAM Simatupang. "Karena itu kami
menghindari kampanye terbuka dan lebih cenderung kampanye secara
getok tular, seperti di Jawa Barat. Hasilnya Jawa Barat naik
200%". Sebaliknya dengan Jawa Tengah dan Bali. Mula-mula
getok-tular. Setelah merasa kuat, lantas kampanye terbuka.
"Akibatnya tekanan-tekanan pun menjadi-jadi", tambahnya.
Padahal, PDI "belum siap mengnadapi pemilu" seperti diakui oleh
drs. Suryadi, bekas ketua umum GMNI. "Selain belum mampu
mengemukakan identitasnya, soal-soal intern akibat dari fusi
juga belum selesai", kata Suryadi pula.
Lebih dari itu di pinggiran Jakarta PDI dianggap sebagai "partai
Kristen". Anggapan seperti itu juga terdapat di daerah lain. Di
Kalimantan Timur tak sedikit orang-orang PNI (beragama Islam)
yang tak begitu berkenan melihat daftar calon PDI yang banyak
pendetanya. Sementara itu masyarakat Sumatera Barat menganggap
PDI identik dengan kristen dan Tionghoa. Parkindo punya basis di
Mentawai, sedang Katolik berakar di kalangan Tionghoa.
Kalangan bekas partai yang berfusi sendiri pun tampaknya
ragu-ragu menghadapi PDI. Misalnya Virga Belan bekas tokoh LKN
yang juga suka bicara politik. Baginya, PDI "tidak punya pedoman
politik yang jelas, hingga massa pun tidak tegas menghadapi
pemilu", katanya. Bekas tokoh katolik. Lo SH Ginting, bahkan
menyatakan, "dari segi idiil saya tidak yakin akan program PDI,
karena tidak jelas".
Karnarajasa, putera bekas tokoh PNI Ali Sastroamidjojo almarhum
bahkan menyebut "PDI tak punya guts (nyali)". Mungkin itu
sebabnya selain ada tokoh seperti Lo Ginting yang menusuk Ka'bah
dan Banteng ("untuk memperbaiki keseimbangan politik"), banyak
pula kaum nasionalis yang justru memilih PPP lantaran ingin
memberikan anti government vote.
Tapi sebab serius juga lantaran tiadanya dana. "Selain dana dari
pemerintah sebanyak Rp 175 juta, kami tak minta bantuan sepeser
pun. Bantuan itu dibagi rata, setiap DPD Rp 1 juta, dan
masing-masing Rp 300.000 untuk 280 cabang", kata TAM Simatupang,
ketua DPP PDI. Meskipun ada tokoh-tokoh uang dalam PDI seperti
TD Pardede. Hasyim Ning atau ir. Siswono atau Guntur, toh partai
ini masih juga kesulitan uang. Menumt sementara kalangan PDI,
para tokoh bisnis itu tak nenyumbang sepeserpun.
"Untunglah ada bantuan spontan dari simpatisan", tambah
Simatupang. AP Batubara dan DPD Jakarta menambahkan simpatisan
Jakarta Pusat ada yang mencetak tanda gambar dengan biaya
sendiri. Bahkan ketika kampanye di Lapangan Banteng, beberapa
grup anak-anak muda dengan tulus menyumbang atraksi musik:
Kolintang Vocal grup Irian Jaya, juga Elsipigo dari UKI dan
artis Mien Sondakh.
"Sampai detik ini malah saya tak tahu siapa yang menyumbang 35
truk untuk mengerahkan massa", tambah Batubara. Dan Suryadi
mencatat beberapa sumbangan spontan yang lain. Di Yogya beberapa
anggota PDI membuat sepanduk sendiri bahkan menyewa truk. Di
Jawa Tengah pula Suryadi terharu campur prihatin. "Ada aktivis
PDI yang menjual gelang, kalung dan cincin untuk membiayai
kampanye. Padahal orangtuanya calon dari Golkar", ujarnya. Ada
juga cerita dari Sala. Di sana banyak para pemuda menerima
sumbangan kaus oblong putih bertanda-gambar kontestan lain.
"Lalu pemuda-pemuda PDI mencelup puluhan kaos itu dengan warna
hitam dan jadilah kaos PDI".
Kesulitan PDI lain ialah adanya tekanan-tekanan. DPP PDI
mencatat, sampai saat ini sudah 3 orang PDI yang meninggal,
masing-masing di Bali, di Sulawesi Utara, dan seorang di
Semarang. "Di Cilacap malah ada yang ditembak tapi tidak
meninggal", kata Suryadi.
Di Jawa Tengah, cerita Suryadi, ada eks tapol G30S/PKI yang
dihukum 6 tahun memimpin penyerangan terhadap PDI, dengan
mengerahkan truk dan bis. "Mereka mengenakan jaket resmi salah
satu kontestan. Eks tapol itu namanya Kisromi, anak ketua CDB
PKI Jateng, Pego Pranowo", kata Suryadi. "Saya sendiri yang
menulis laporan ke Koramil", tambahnya.
Di Brebes, Tegal, Pekalongan, katanya, juga banyak recidivis
yang"sengaja" dipakai untuk mengacau massa PDI. Di NTT, selain
ada "pemaksaan-pemaksaan" pada tanggal 1 Mei malam, di sana di
setiap TPS dikabarkan ada 10 orang "buta bikinan". Mereka ini,
disuruh pura-pura buta, hingga ada alasan menuntunnya ke bilik
suara, lantas dicobloskan tanda gambar tertentu (lihal box).
Juga PDI pernah disebut sebagai partai yang tidak sah. "Bahkan
di Maluku PDI dianggap sebagai RMS, di NTT sebagai PKI, di Irian
dituduh OPM", kata TAM Simatupang. Kabarnya rnalah ada ketua
DPRD dan bupati di NTT yang mengatakan begitu. "Di Bali, secara
terbuka, malah ada bupati yang bicara diam bekas massa PKI:
'saudara-sadara dulu dibunuh oleh PNI, sekarang saatnya
membalas'. Atau mengatakan bahwa memilih PDI akan bernasib sama
dengan PKI", tutur Suryadi. Kasus-kasus seperti itu sudah
dilaporkan. "Tapi, belum diapa-apakan", tambah Suryadi kesal.
Dari hasil peninjauannya ke daerah-daerah, akhirnya Suryadi
berpendapat: "Saya lantas berfikir, pemilu 1977 lebih kasar dari
pada tahun 1971. "Tahun 1971 dulu, tak ada warga PDI yang
meninggal", katanya. "Saya lantas berfikir apa pemilu memang
mutlak perlu diselengarakan, kalau korbannya begitu besar,
katanya.
Biaya pemilu yang Rp 60 milyar, itu tidak banyak terutama
dibanding dengan kerugian mental yang kita derita, katanya.
Maksudnya, berubahnya pandangan rakyat terhadap penguasa,
penegak hukum, ABRI. Sikap Suryadi niscaya cukup keras. Meskipun
selama masa kampanye dan sesudahnya banyak orang menilai PDI tak
cukup keras melancarkan protes.
Mengapa? "Soalnya PDI ingin menjadi partai yang bermoral", jawab
Batubara. "Kami memprotes, sejalan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan yang berlaku. Bahwa sang petugas tidak
menjalankan undang-undang, biarlah menjadi catatan sejarah bahwa
pemerintah orde baru belum mampu melaksanakan peraturan
perundang-undangan", tambahnya.
Menurut kalangan DPP PDI, mereka sebenarnya cukup keras, "cuma
sayang tak ada korang-koran yang memuat", seperti kata TAM
Simatupang. PDI memang tak punya organ resmi seperti halnya
Pelita bagi PPP.
Oleh TAM Simatupang, sikap PDI dibuktikan dengan adanya delegasi
yang membacakan sikap PDI di depan Presiden. "Dan salah satu
sikap yang menjadi keputusan DPP ialah: kalau ada kecurangan,
PDI akan menyatakan bahwa pemilu tidak sah", kata Simatupang.
Betapapun, orang-orang PDI optimis melihat masa depan. Apalagi,
dalam masa kampanye, tidak sedikit anak muda yang tampil. "Di
Jawa Barat dan Jawa Tengah banyak anak muda yang memimpin
kampanye. Bahkan di Bogor dan Purwakarta ada anak ABRI yang
membantu PDI, hingga orangtuanya dipanggil Kodim", kata TAM.
"Dan PDI membuka diri untuk generasi muda", kata AP Batubara.
"Beberapa sesepuh PDI juga bersikap demikian. Artinya mereka
percaya pada kami yang muda-muda ini memimpin partai",
tambahnya. Batubara benar. Sesepuh PDI seperti Wilopo
menyatakan, "soal PDI kini urusannya yang muda-muda". Dan Frans
Seda, bekas ketua umum Partai Katolik, senada dengan Wilopo.
"Yang menggembirakan ialah entusiasme kaum muda dalam PDI. Hal
inilah yang tidak dimiliki oleh Golkar", katanya.
Sementara Parulian Silalahi, yang bertugas di bidang pengkaderan
menyebut, kini sudah 3.000 kader dipersiapkan, Usep punya
rencana mencetak kader di setiap cabang. "Kemudian pimpinan
cabang berkongres untuk menentukan pimpinan partai, hingga
terpilih pimpinan yang dipercaya dan diterima semua anggota",
katanya. Kapan kongres itu, "belum tahu. Itu mahal sekali
biayanya", jawab Sanusi Hardjadinata, sang Ketua Umum.
Bisakah optimisme itu menunjang PDI melangkah ke depan? Masalah
yang seharusnya secara serius diperhitungkan terlebih dahulu
adalah kenyataan lain yang sejak terbentuknya PDI sebagai fusi 5
parpol sampai hari ini belum juga diselesaikan. Meski tidak
resmi menjadi orang PDI, tapi bekas tokoh PNI seperti Roeslan
Abdulgani dari luar melihat ketidak-kompakan dalam tubuh PDI.
"Partai-partai yang berfusi masih terpengaruh oleh masa lampau
masing-masing. PNI misalnya, friksi antara PNI Ali dengan PNI
Osa-Usep masih saja berlangsung", katanya. Dalam hal
kepemimpinan pun, belum terseleksi. "Tapi PDI masih muda,
terlalu pagi untuk menilainya", tambahnya.
Dari luar, ketidak-kompakan itu juga jelas tampak. Misalnya
dalam soal pencalonan Presiden. Achmad Sukarmawidjaja, ketua
DPD-PDI dari unsur IPKI pernah menyatakan bahwa PDI sudah
sepakat kembali memilih Soeharto sebagai Presiden. Tapi menurut
TAM Simatupang, soal itu masih terlalu pagi untuk dibicarakan
sebab MPR belum dilantik. "Dan DPP-PDI secara resmi belum
menyatakan soal itu. Membicarakannya dalam rapat pun belum",
tambah Simatupang.
Di lain pihak, Usep berusaha meyakinkan, bahwa partainya
sudah"lebur jadi satu, bukan hanya fisik tapi juga mental".
Kelima parpol itu, katanya, harus patuh pada anggaran dasar PDI
yang memuat identitas PDI. "Mereka tidak boleh lagi berpegangan
pada yang dulu-dulu", katanya. Tapi bahwa ada konflik di dalam,
tak bisa ditutup-tutupi, meskipun seperti kata Sanusi konflik
yang berarti, tak ada. "Hanya perbedaan pendapat", katanya.
Konflik itu timbul, mungkin juga sebab tidak tertampungnya semua
bekas pimpinan partai dalam DPP PDI seperti sinyalemen Muhiddin
Nasution dari Murba. Salah seorang ketua DPP PDI itu
menyebutkan, hanya 29 orang yang duduk dalam DPP. "Yang lain,
karena tak mengikuti perkembangan, sering membuat hal-hal yang
mempengaruhi aparat partai", katanya.
Meskipun kesepakatan berfusi sejak kongres I antara lain mencari
titik-titik pertemuan dan tidak lagi menganut ideologi lama
masing-masing partai, toh nyatanya kelima partai itu belum
betul-betul lebur. Di Jawa Tengah misalnya orang menganggap
tanda gambar PDI identik dengan banteng PNI. "Dalam pengumpulan
dana pun, tercermin kegagalan fusi itu. Orang Katolik tidak
memberikan dananya langsung kepada PDI melainkan kepada bekas
Partai Katolik", kata Lo Ginting.
Kemelut dalam tubuh DPP itu, bagi Frans Seda berporos pada
konflik yang belum terselesaikan di kalangas bekas pimpinan PNI.
"Menurut saya, harus ada tindakan tegas dalam PNI. Jangan
coba-coba merangkul semua. Pakai saja Sanusi dan singkirkan yang
lain. hingga bersih dari kecurigaan adanya A-Su", katanya.
Konflik PNI Ali-Surachman dan PNI Osa-Usep tampaknya memang
masih berlangsung, meskipun secara formil, seperti cerita AP
Batubara. persoalan itu dianggap sudah selesai sejak Kongres
Bandung. Tapi friksi-friksi memang tak mudah dihindarkan. "Dan
biasanya dipakai sebagai alasan memukul lawan dalam rangka
rivalitas", kata Suryadi. "Seperti yang terjadi di Purwakarta 4
calon PDI dalam DPRD dicoret meski sebelumnya mereka juga
anggota DPRD, dengan tuduhan bekas PNI A-Su".
Tampaknya sulit membayangkan kedua golongan dalam PNI itu bisa
kembali rujuk. Apalagi banyak di antara PNI A-Su yang lebih
kerasan berlindung dibawah Beringin. Seperti Mochtar (bekas
Gubernur Jawa Tengah) dan Jusuf Merrukh di Jakarta yang
berkampanye untuk Golkar, tentu agak menggoncangkan. Pekan lalu
DPD PDI Jakarta telah memecat Jusuf dan kawan-kawannya.
"Pak Mochtar saya kenal kader Pak Ali yang tak pernah
menyimpang. Jadi saya tak tahu apakah hal itu gejala lokal atau
memang ada fikiran untuk menghapus PDI sama sekali. Kalau Jusuf
Merrukh, dia memang biasa begitu", kata Karnarajasa.
Ketidak-kompakan dalam tubuh DPP PDI mungkin akan terus berlarut
selama konflik dalam unsur PNI belum teratasi penuh.
Selain masalah PNI, ketidak kompakan itu tampaknya bisa dilihat
dari beberapa kemungkinan. Salah satu di antaranya ialah unsur
Katolik dan Protestan yang barangkali merasa lebih 'dekat'
dengan Golkar dari pada dengan PDI. "Apalagi banyak cendekiawan
Katolik yang duduk di CSIS dan jadi tokoh Golkar dalam DPR",
kata Lo Ginting. CSIS (Centre for Strategic and International
Studies) adalah lembaga studi yang dikenal dekat dengan Golkar.
Toh kenyataan di NTT, basis Katolik itu, setidaknya sedikit
membantah dugaan tersebut. Menurut Chris Siner Key Timu, selama
masa kampanye di Flores banyak calon imam pakai jaket PDI ke
gereja. Dan di kabupaten Manggarai malah ada mobil pastur yang
ditempeli tanda-gambar PDI. Ini bukan suatu pemihakan politik.
tapi sikap moral: membela yang paling lemah. Dan di Jakarta,
tampaknya 'kantong-kantong' Protestan tetap bertahan.
Tapi masalan pokok bagi PDI seka rang ialah bagaimana
melangkahkan kaki selanjutnya. Seperti halnya proses fusi dalam
PPP, fusi PDI pun selain diciptakan iklimnya dari atas, dari
bawah sendiri memang sudah ada kesadaran penyederhanaan
kepartaian - satu hal yang oleh Wilopo SH dirindukan sejak 1955,
ketika pemilu I diikuti oleh begitu banyak partai.
Tapi melihat kehidupan kepartaian sekarang, Wilopo agak kecewa.
"Saya tidak mengenal kehidupan kepartaian sekarang. Sekarang
ahli tidak begitu bebas. Pembinaan iklim kepartaian yang
seharusnya dibina terus-menerus, sekarang ini kelihatannya hanya
dipusatkan pada pemilu saja", katanya. Dan meskipun ia juga
melihat bahwa pemerintah cukup memberi kesempatan kehidupan
berkembangnya partai politik. "Tapi partai mesti punya cabang
sampai desa. Kepada Presiden, DPA pernah mengusulkan hal itu.
Tapi ada sebuah TAP MPR yang secara tersirat menolak kehadiran
partai di desa", kata ketua DPA itu.
Cita-cita orang seperti TAM Simatupang, ialah meneruskan
perombakan struktur politik. "Selain penyederhanaan partai
memang perlu, sistim kepartaian yang kita inginkan ialah yang
otonom dan terbuka", katanya. Dan dengan tidak ingin bersandar
pada ikatan primordial serta daya pikat pimpinan, PDI ingin jadi
partai kader dan partai massa - yang berpegangan bersama pada
satu program.
Lo Ginting malah berharap PDI bisa menjadi seperti Partai
Liberal di Inggeris, yang punya 'dapur' di mana konsepsi politik
digodog oleh para ahli. Atau seperti Partai Sosial Demokrat di
Jerman Barat. Di pihak lain adalah pendapat Karnarajasa. "Sifat
PDI itu 'kiri tengan' dan tak banyak beda dengan Golkar". Bagi
Karnarajasa, PDI belum "merupakan satu alternatif".
Maka Karnarajasa menyarankan agar PDI tegas-tegas meminjam jalan
sosialisme. "Dengan begitu orang-orang yang lebih condong pada
prinsip liberalisme-kapitalisme lebih baik memilih Golkar,
hingga spektrum politik jadi jelas. Sebab kalau kekuatan
lowongan yang pernah diisi oleh kekuatan kiri di Indonesia tidak
lekas terisi. dikhawatirkan aku diisi oleh kaum komunis",
katanya.
Dalam pada itu partai ini mehadapi dilema yang cukup berat,
apalagi sebagai partai. Ia bertekad melaksanakan kontrol yang
efektif meskipun sistim 'demokrasi pancasila' tidak mengenai
oposisi. Sementara itu ia juga ingin pula duduk dalam lembaga
eksekutif, meskipun dalam sistim kabinet presidensiil akomodasi
itu tergantung pada Presiden.
Tentang ikut sertanya PDI dalam eksekutif, menurut TAM
Simatupang, "sebab pemerintahan yang kuat adillah yang didukung
oleh seluruh rakyat".
Tapi dalam kesempatan lain, sekjen DPP-PDI Sabam Sirait kepada
TEMPO pernah dengan tegas menyatakan "lebih baik tidak ikut
dalam eksekutif, sebab lebih sedikit tanggungjawab kita". Ini
sesuai dengan tokoh muda PPP Ridwan Saidi. Tapi alasan Sabam
antara lain, keadaan yang kritis dalam masa 5 tahun mendatang.
Pokoknya, "mundur dari eksekutif, giat dalam legislatif".
Namun yang pertama perlu dijawab ialah: dasar perjuangan apa
yang akan dipegang PDI?
Dalam hal ini, Suryadi, Simatupang maupun AP Batubara bersetuju
untuk membawa PDI sebagai partai yang memperjuangkan keadilan
sosial, perataan pendapatan, masalah hak-hak warga negara.
"Termasuk di dalamnya misalnya perlunya tanah untuk rakyat",
kata Batubara. Dan apabila memang begitu pori yang akan digarap
oleh PDI, tak usah dicemakan adanya polarisasi Islam dan
non-Islam, sehubungan dengan kemungkinan semakin
diperhitungkannya PPP sebagai kekuatan sosial politik setelah
pemilu ]977. (TEMPO, 14 Mei).
Dalam hal ini Suryadi melihat dua kemungkinan pada PPP. Ada
kemungkinan bahwa tema keagamaan yang dilancarkan PPP hanyalah
sebagai satu-satunya cara yang paling efektif untuk menghadapi
tekanan. "Kalau memang benar demikian maka kewajiban pemerintah
untuk mengurangi atau sama sekali menghilangkan tekanan-tekanan
itu. Hingga dengan demikian PPP bisa diajak bicara", katanya.
Kemungkinan kedua, PPP memang dengan sadar sebagai partai yang
lebih menekankan perjuangan keagamaan, satu hal yang sebenarnya
merupakan langkah mundur dari cita-cita perombakan struktur
politik. "Kalau demikian halnya, tentu PDI tak bisa bekerjasama
dengan PPP. Sebab sejak masa kampanye PDI sudah menampilkan
tema-tema yang murni rasionil", kata Suryadi. "Tapi dalam hal
kemungkinan kerjasama itu bukanlah merupakan apriori bagi PDI.
Barangkali PDI akan bisa kerjasama menurut kebutuhan. Dan
demikian pula dengan Golkar", tambahnya.
Nampaknya peranan PDI di DPR kelak bisa jadi "gadis rebutan".
Tapi yang belum diketahui ialah apakah di tengah massa ia bisa
jadi wahana yang hidup dengan gerak-gesit - dari bawah. Bila
tidak, ia akan habis. Tendensi mengecil itu toh sudah nampak,
bila dilihat prosentase suara yang memilihnya dibandingkan
dengan suara masuk yang sah (lihat grafik hal. 7). Siapa tahu
PDI akan berakhir hanya sebagai "partai satelit", yang mengekor
kekuatan lain yang lebih kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini