Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Stop Pemberangusan Suara Kritis

Intimidasi yang berujung pada pembatalan diskusi tersebut telah memberangus kebebasan akademik dan menindas kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.

2 Juni 2020 | 06.23 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi Universitas Gadjah Mada (UGM). Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mungkin terlalu berlebihan menyamakan pemerintahan Presiden Joko Widodo dengan Soeharto. Namun tak salah pula jika sebagian kalangan khawatir “masa kegelapan” seperti di bawah penguasa 32 tahun Orde Baru itu bakal kembali, setelah melihat berbagai pemberangusan suara kritis akhir-akhir ini.

Teror terhadap penyelenggara diskusi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada merupakan contoh terakhir pemberangusan itu. Memang, kita belum mengetahui siapa pelaku intimidasi yang membuat diskusi berjudul "Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan" itu dibatalkan. Meski begitu, pelakunya jelas bukan orang yang iseng mengingat modus teror yang sistematis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sangat mengherankan, ada pihak yang ketakutan atas penyelenggaraan diskusi mahasiswa. Padahal, acara daring itu hanya membahas soal teori pemakzulan presiden dengan mendatangkan guru besar tata negara. Secara teori, pemecatan presiden di tengah periode pemerintahannya dimungkinkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Syarat dan prosedurnya cukup panjang. Secara praktik, usaha ke arah pemakzulan saat ini bukanlah perkara mudah, terutama karena Jokowi menguasai sebagian besar kekuatan di Dewan Perwakilan Rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Usaha menggagalkan diskusi mahasiswa itu dengan intimidasi sangatlah keterlaluan. Selain memberangus kebebasan akademis dan menindas kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi, teror itu merupakan perbuatan kriminal. Pelaku meretas akun media sosial panitia untuk kemudian mengumumkan pembatalan diskusi. Mengatasnamakan unit kepolisian di Yogyakarta dan organisasi keagamaan, peneror mengancam akan membunuh panitia dan orang tuanya. Pengecut itu juga membajak akun sejumlah anggota panitia untuk memesan ojek online. Bentuk teror semacam ini mengindikasikan pelakunya bukanlah orang biasa.

Kepolisian tidak perlu menunggu laporan untuk mengusut pelaku intimidasi. Apalagi, kepolisian dalam pihak yang dirugikan karena institusi itu dicatut pelaku untuk meneror. Teknologi yang dimiliki kepolisian semestinya cukup untuk melacak nomor-nomor yang digunakan pelaku. Kepolisian juga memiliki kewajiban melindungi warga negara, termasuk mahasiswa, dalam memperoleh hak berpikir dan berpendapat.

Teror diskusi di Yogyakarta ini menambah panjang daftar intimidasi terhadap pengkritik pemerintah yang marak terjadi belakangan ini. Para pegiat hak asasi manusia memaparkan bahwa bentuk teror terhadap suara kritis selama pemerintahan Joko Widodo beragam, dari kriminalisasi, peretasan telepon seluler dan akun media sosial, pembunuhan karakter, hingga ancaman fisik.

Pada akhir tahun lalu, peretasan telepon seluler diarahkan kepada akademikus dan aktivis yang menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tindakan ilegal serupa diarahkan kepada Ravio Patra, peneliti dan aktivis yang mengkritik, antara lain, aktivitas staf khusus milenial Presiden. Ia kemudian dijadikan tersangka, disergap polisi di jalanan, diinterogasi tanpa pengacara, sebelum kemudian dibebaskan dalam status saksi karena tekanan publik.

Berbagai teror itu mengingatkan kita pada tekanan pemerintah Orde Baru terhadap kebebasan berpendapat. Agar tidak jauh memburuk, Presiden Jokowi sepatutnya memerintahkan pengusutan berbagai tindakan inkonstitusional tersebut. Ia juga semestinya meminta segala peretasan ilegal oleh aparat dihentikan. Tanpa sikap tegas Jokowi, tak salah jika orang membandingkannya dengan Soeharto.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus