Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Stop Program Sekolah Bertaraf Internasional

Banyak ketidakjelasan dan penyimpangan pelaksanaan RSBI. Lakukan pembenahan mendasar sistem pendidikan.

11 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK guna mempertahankan program sekolah berstandar internasional, yang terbukti lebih banyak mudarat ketimbang manfaatnya. Program yang dimulai pada 2003 itu penuh jejak kesalahan sepanjang jalan.

Pemerintah pun, sebetulnya, memutuskan penghentian izin baru rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI)—tahap ”magang” sebelum memenuhi syarat sebagai SBI—sejak Maret 2011. Namun lebih tepat program ini dihentikan saja, karena konsepnya pun tak jelas.

Dasar SBI adalah Undang-Undang Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 50 ayat 3 disebutkan, pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan dan semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.

Undang-undang itu diterjemahkan ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17/2010, pasal 1 no 35: pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi standar nasional pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju. Namun definisi ini tidak diturunkan menjadi kurikulum dan petunjuk proses pelaksanaan RSBI.

Konsep ”bertaraf internasional” diinterpretasikan sendiri-sendiri, tanpa standar jelas dari pemerintah. Prakteknya, sekolah—SD, SMP, dan SMA—yang masuk program RSBI lebih mengutamakan pemenuhan fasilitas, seperti AC, televisi LCD, laptop, dan fasilitas sambungan Internet. Ujung-ujungnya, biaya pendidikan membesar. Iuran sekolah sekitar Rp 450 ribu per bulan, dan masih ditambah sumbangan pembangunan sekitar Rp 6 juta per murid. SBI pun lalu lebih dikenal sebagai ”sekolah bertarif internasional”.

Setelah berjalan tujuh tahun, praktis tak ada bukti keberhasilan RSBI. Beberapa penelitian tentang penerapan RSBI hasilnya tak baik. Guru, sebagai tenaga pendidik, sama sekali tidak siap. Hasil Test of English for International Communication (TOEIC)—tes untuk orang berbahasa non-Inggris yang bekerja di lingkungan berbahasa Inggris—untuk 600 guru dan kepala sekolah RSBI menunjukkan 60 persen berada pada level terendah. Karena dipaksakan, muncul rupa-rupa ”dagelan”: guru menjelaskan dalam bahasa Indonesia, lalu ada yang menerjemahkan dalam bahasa Inggris.

Program ini juga semakin menyuburkan pengkastaan pendidikan. Program sekolah bertaraf internasional menjadi alasan untuk melakukan komersialisasi pendidikan. Anak-anak miskin niscaya makin tersingkir. Padahal prinsip dasar pendidikan adalah bebas diskriminasi.

Belajarlah dari Malaysia. Di sana, program mirip sekolah bertaraf internasional pernah dilaksanakan atas ide Mahathir Mohamad ketika menjadi perdana menteri. Namun, karena dipaksakan menggunakan bahasa Inggris, boro-boro mampu bersaing di kancah global, prestasi siswa di Malaysia justru merosot tajam. Program ini langsung dihentikan.

Lebih baik pemerintah membenahi sistem pendidikan secara mendasar, mengingat hanya 10,15 persen sekolah di Indonesia memenuhi standar nasional. Sisanya pas banderol, dan berada di bawah standar pelayanan minimal. Yang perlu diutamakan adalah pembenahan proses pendidikan, salah satunya dengan meningkatkan kualitas guru. Dengan tenaga pendidik berkualitas tinggi, pengembangan kemampuan anak didik, sebagai sumber daya manusia, pasti akan maksimal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus