Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Calon Presiden Jalur Nonpartai

Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan calon presiden perseorangan. Baik untuk rakyat, baik juga untuk partai politik.

11 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAU tidak baru, gagasan ini sudah saatnya disokong. Dewan Perwakilan Daerah pekan lalu melontarkan ide calon presiden perseorangan. Seseorang bisa menjadi kandidat RI-1 tanpa melalui jalur partai politik. DPD lalu menuangkannya dalam paket perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945. Jika mendapat dukungan memadai—dan seharusnya memang begitu—usul ini bakal dibahas di Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Agustus mendatang.

Sejauh ini reaksi publik terbelah. Mereka yang setuju menyambut gagasan calon presiden independen sebagai angin segar di tengah kesumpekan politik di negeri ini. Hampir setiap pekan kita mendengar dan menyaksikan skandal demi skandal yang melibatkan politikus dari berbagai partai. Ada saja wakil rakyat yang bikin berita miring: mulai terjerat kasus suap sampai kepergok menikmati video porno di sela sidang paripurna. Tak aneh jika di mata banyak orang, wajah partai sudah demikian coreng-moreng.

Yang tak setuju tentu juga punya alasan. Banyak yang khawatir presiden tanpa basis partai bisa dijadikan bulan-bulanan di “parlemen”. Tanpa dukungan Dewan Perwakilan Rakyat, roda pemerintahan bisa macet. Semua usul anggaran dan rancangan undang-undang dimentahkan atau bahkan disabot di Senayan. Dampaknya bisa gawat: pemimpin tak efektif, negara tak stabil, dan rakyatlah yang akhirnya merugi.

Calon presiden perseorangan tak boleh dipandang sebagai ancaman buat partai politik. Justru kehadirannya bisa “memaksa” partai lebih peka menangkap aspirasi rakyat. Karena itulah, di banyak negara demokrasi, ada tradisi konvensi dan pemilihan pendahuluan untuk menentukan calon presiden dari partai. Hakikatnya, partai sebisa mungkin tidak memonopoli proses pemilihan. Dengan begitu, kesan adanya oligarki pun bisa ditepis.

Oligarki partai politik berbahaya untuk demokrasi. Rakyat jadi terpinggirkan dan lama-kelamaan terputus dari proses politik yang kian elitis. Tidak usah jauh-jauh. Pemilihan kepala daerah Provinsi DKI Jakarta pada 2007 mengirim pesan penting. Ketika itu, sejumlah partai politik sepakat berkolaborasi sehingga hanya muncul dua calon gubernur. Adang Daradjatun, yang dicalonkan Partai Keadilan Sejahtera, berhadapan dengan Fauzi Bowo, yang diusung belasan partai politik lain.

Skenario politik pendukung Fauzi memang berjalan mulus. Dia menang dengan 57,9 persen suara. Tapi, yang sering luput dicatat, lebih dari 36 persen warga Jakarta tidak datang ke bilik suara pada hari pemilihan. Mereka “golput” dengan pelbagai alasan, termasuk kurang cocok dengan kandidat yang disodorkan partai. Total jumlahnya sampai 1,9 juta orang—angka tak sedikit, yang tak boleh dipandang dengan sebelah mata.

Keberadaan calon presiden perseorangan akan mengurangi risiko macam itu. Kemungkinan munculnya apatisme politik rakyat bisa dikurangi. Pemilihan umum pun menjadi lebih bermakna, bukan sekadar alat melegitimasi siapa pun yang disodorkan elite partai.

Tentu saja persyaratan menjadi calon perseorangan tak boleh dibikin sangat longgar. Jangan ada yang melenggang meski tak punya basis massa pendukung. Mereka kudu didukung sedikitnya sekian juta konstituen yang berasal dari minimal, katakanlah, sepuluh provinsi. Ini harus dibuktikan dengan tanda tangan yang dilampiri kartu penduduk. Jangan juga membuat kandidat dengan kantong tebal saja yang bisa masuk dari jalur nonpartai ini.

Tantangannya justru bagaimana mengegolkan usul amendemen konstitusi ini. Apalagi bolanya kini ada di kaki partai-partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Mereka bisa membuka babak baru demokrasi jika meloloskan agenda ini. Kesempatan bersejarah macam ini jarang datang dua kali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus