Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBAKARNYA kilang minyak Cilacap lagi-lagi mencerminkan rapuhnya sistem keamanan instalasi vital bahan bakar kita. Bencana ini seharusnya bisa dicegah dengan disiplin dan kehati-hatian yang tinggi. Patut disayangkan hal itu terjadi pada saat kita sangat membutuhkan energi, kala harga minyak dunia kian melejit akibat revolusi di Timur Tengah.
Anehnya, Pertamina, sang pemilik kilang, sepertinya tak pernah memetik pelajaran dari bencana Cilacap. Padahal kebakaran dahsyat baru saja melanda kilang terbesarnya itu dan menewaskan empat karyawan, pada Maret 2008. Meski tak ada korban tewas, kejadian serupa terulang pada Juni dua tahun silam.
Belum lagi serentetan musibah yang mendera depo dan kilang minyak dalam dua tahun belakangan ini. Depo Plumpang di Jakarta Utara dilalap api pada 2009. Kilang minyak di Balikpapan, Kalimantan Timur, terbakar Januari tahun lalu, disusul kobaran api di depo elpiji Makassar. Api juga pernah membara di Kilang Balongan, Indramayu, Jawa Barat.
Seharusnya peristiwa buruk itu tak boleh terulang. Ironisnya, Cilacap, yang “berpengalaman”—telah tiga kali kebakaran dan satu kali meletup sesaat—dalam musibah ini, tak mampu mengatasi bencana serupa. Jelas dibutuhkan sistem pemeliharaan, pengamanan, dan prosedur operasi laik standar keselamatan yang ketat. Sekecil apa pun problem yang dapat memicu kebakaran harus dicegah. Usia tangki yang uzur semestinya diwaspadai.
Faktanya, tiga dari tujuh tangki dalam cluster di Cilacap tersebut bocor, sehingga api begitu digdaya merundung kilang itu berhari-hari. Unit Pengolahan IV Cilacap merupakan satu dari enam unit pengolahan minyak di Indonesia. Berkapasitas 348 ribu barel per hari, kilang ini memproduksi bensin, bahan baku pelumas, dan zat aromatik. Sekitar 34 persen kebutuhan bahan bakar minyak nasional—serta 60 persen kebutuhan Jawa—dipasok dari sini. Namun peran penting kilang Cilacap ternyata tak sebanding dengan pengamanannya.
Galibnya, sebuah kilang minyak yang rawan bahaya mutlak disangga elemen pengamanan yang memadai. Itu sebabnya, aneh jika sistem pendingin tak berfungsi baik di kilang Cilacap ketika kebakaran terjadi. Tak ada helipad. Bahkan kanon untuk menyemprotkan busa, yang selama ini efektif memadamkan api, harus didatangkan dari Plumpang, Balongan, dan Cirebon. Belum lagi seabrek kelemahan teknis lain.
Pertamina, dan instansi pemerintah yang berwenang lainnya, perlu segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua kilang minyak negara. Mereka kudu menentukan skala prioritas perbaikan. Lakukan audit teliti dan efektif. Hasilnya bisa digunakan untuk dasar merancang regulasi baru perkilangan. Patokan ihwal jarak aman antarkilang hingga radius ideal dari wilayah berpenduduk juga perlu diatur.
Kilang yang aman bagi keselamatan kerja, melancarkan produksi, niscaya menjamin ketersediaan bahan bakar yang kini begitu susah kita dapatkan. Jangan lupa, kehadiran kilang Pertamina di Cilacap, dan lima wilayah lain di Indonesia, membuat kita lebih mandiri, tak lagi berurusan dengan kilang-kilang minyak asing—Singapura, antara lain.
Pertamina harus berani mencanangkan zero defect, tidak ada lagi sedikit pun kesalahan dalam bekerja di kilang yang bisa menyebabkan terjadinya kebakaran. Ini harus menjadi komitmen semua pihak yang ditunjukkan dengan sikap keseharian operator di lapangan. Tak boleh ada kesalahan dan kelengahan sedikit pun, yang bisa menyebabkan terjadinya kecelakaan fatal, di semua kilang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo