Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SKANDAL Malinda Dee bisa dicalonkan sebagai perkara paling kontroversial tahun ini. Bekas Senior Relationship Manager Citibank itu didakwa menggelapkan sedikitnya Rp 20 miliar uang nasabah. Bukti-bukti penyelewengannya amat jelas: sejumlah apartemen di jantung segitiga emas Jakarta, empat mobil mewah sekelas Ferrari dan Hummer, serta sejumlah properti di Inggris dan Australia. Lewat pengacaranya, Malinda pun mengaku telah melakukan ”pelanggaran prosedur”. Anehnya, sampai tiga pekan setelah ia ditangkap, belum satu pun nasabah mengadukan perempuan 47 tahun yang ”seronok” itu ke kantor polisi.
Seorang nasabah—diketahui sumber Tempo sebagai perwira tinggi polisi—yang membuat kasus ini terbongkar bahkan tidak melapor kepada markas tempat ia berdinas. Sang perwira tinggi, kemudian juga dua nasabah lain, hanya mengungkapkan kepada Citibank bahwa duit mereka yang berjumlah miliaran rupiah ternyata amblas. Polisi memeriksa ketiga nasabah tajir itu setelah manajemen bank Amerika Serikat ini mengadu kepada aparat penegak hukum.
Perilaku nasabah kelas Citigold—nasabah dengan rekening paling kecil Rp 500 juta—ini sangat berbeda dengan nasabah Bank Century. Ketika Century dilanda krisis likuiditas, pada 2008, nasabah Century yang duitnya tak kembali berdemo di depan kantor bank itu. Mereka menduduki kantor-kantor cabang, juga beramai-ramai mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat. Unjuk rasa nasabah Century bahkan sempat menjadi kepala berita sejumlah media massa selama berhari-hari.
Kesediaan Citibank mengganti uang nasabah jelas ampuh menahan mereka turun ke jalan. Tapi sesungguhnya belum jelas apakah nasabah yang bertindak ceroboh juga akan mendapat ganti. Walaupun hubungan antara nasabah Citigold dan manajer seperti Malinda lebih banyak dilakukan lewat telepon, Citibank biasanya melakukan cek ulang kepada nasabah apabila terjadi penarikan uang dalam jumlah besar. Setelah proses verifikasi itu, barulah bank memindahkan uang nasabah, misalnya untuk membeli produk investasi. Dalam kasus seperti ini, belum ada kepastian apakah Citibank juga akan mengganti kerugian nasabah.
Masih perlu ditunggu apakah nasabah yang dibujuk Malinda sampai bersedia mengambil risiko melanggar prosedur resmi itu akan muncul ke permukaan. Berlangsungnya praktek ”bawah tangan” ini di luar pengetahuan bank menguatkan dugaan Malinda tidak bergerak sendiri. Mungkin ia menjalin hubungan khusus dengan orang dalam untuk memuluskan aksinya. Di luar kantornya, ia mendirikan sebuah perusahaan yang salah satu komisaris dan pemegang sahamnya diduga seorang perwira tinggi TNI. Perusahaan ini ditengarai menampung dan memutarkan uang yang digaet Malinda dari nasabah Citigold yang dilayaninya.
Semakin hari, polisi akan semakin terang menggambarkan lika-liku permainan Malinda. Tapi nasabah kelas kakap yang dirugikan Malinda tetap saja kabur—paling tidak sampai akhir pekan lalu. Agaknya para nasabah itu menganggap ”ongkos” muncul di permukaan, dengan melapor kepada polisi, lebih mahal ketimbang sekian miliar rupiah yang raib di tangan Malinda.
Seandainya benar sebagian nasabah Malinda perwira tinggi polisi, urusan tentu akan semakin runyam. Masyarakat akan mengaitkan rekening yang diurus Malinda dengan sejumlah perwira tinggi polisi dalam daftar ”rekening gendut” yang diributkan pada pertengahan tahun lalu. Dengan sejumlah risiko itu, alasan para perwira korban Malinda untuk menyembunyikan identitas akan semakin kuat.
Selain menduga Malinda melakukan pencucian uang, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) perlu melacak rekening para klien Malinda itu. Bila sang pemilik tidak merasa perlu ribut-ribut setelah kehilangan miliaran rupiah, bisa dibayangkan betapa besar jumlah uang dalam rekening itu. PPATK jelas mempunyai kewenangan memonitor rekening yang mencurigakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Kewenangan itu termasuk melacak transaksi oleh nasabah yang patut diduga sengaja dilakukan untuk menghindari standar pelaporan penyedia jasa keuangan—dalam kasus ini Citibank. PPATK juga bisa melacak rekening yang dicurigai dibuat menggunakan harta yang berasal dari hasil tindak pidana.
Di samping memastikan status dan asal-usul duit di dalam rekening klien Malinda, PPATK bisa menyerahkan hasil pelacakannya kepada Presiden, Kejaksaan, Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, juga kepada Dewan Perwakilan Rakyat, untuk diteruskan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Bila mereka yang dulu menjadi klien Malinda itu tidak membayar pajak dengan benar, atau malah tidak membayar pajak sama sekali, tentu mereka perlu mendapat sanksi. Jangan biarkan bank-bank yang beroperasi di negeri ini menjadi surga para pencuci uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo