Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Subprime Mengguncang Ekonomi Kita?

10 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syahrir dan Pandu

  • Syahrir, ekonom.
  • Pandu adalah MBA dari Universitas Stanford dan bekerja di salah satu hedge fund di New York, AS.

    KEMEROSOTAN indeks bursa di Amerika Serikat yang memicu gonjang-ganjing bursa lain di dunia menimbulkan pertanyaan besar. Apakah ini awal dari krisis pasar modal dan keuangan dunia? Juga apakah akan terjadi prosesi yang tidak kurang parah nya dari resesi tahun 1930-an di Amerika Serikat? Apakah ini mempunyai dampak dahsyat pada ekonomi kita?

    Kita mendengar koor dari banyak kalangan, khususnya pejabat resmi, yang menyatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia amatlah kuat. Karena itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

    Sebelum kita bisa menarik kesimpulan yang lebih masuk akal, ada baiknya kita menelusuri yang terjadi di bursa-bursa dunia, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Ada beberapa hal yang membutuhkan pemahaman ulang untuk dapat menelusuri kait-mengkait yang terjadi di bursa Amerika Serikat dan merujuk pada beberapa pengertian dan konsep tertentu.

    Isu ini berawal dari kredit perumahan berbunga tinggi karena risiko yang tinggi akibat rendahnya aset dari peminjam rumah. Inilah yang disebut sebagai subprime mortgage, yang dalam tiga tahun terakhir mengalami kemerosotan kualitas pembayaran utang.

    Kemerosotan itu selama ini bisa dikompensasi oleh kegi atan yang dikenal sebagai securitization. Hal itu merupakan upaya lembaga keuangan, termasuk hedge fund, yang mencari laba dengan menggabungkan surat-surat berharga seperti surat utang rumah subprime, dengan surat berharga yang rating-nya lebih tinggi.

    Lembaga keuangan dan hedge fund itu merestrukturisasi utang dengan ”mencampur” pinjaman yang lancar (prime loan) dan pinjaman yang kurang lancar (subprime) dan menciptakan ranking dari AAA hingga BB. Bagaimana ra ting dilakukan adalah hal yang lazim dikerjakan oleh lembaga rating seperti Moody’s.

    Gejala sekuritisasi ini di Amerika berkembang sangat cepat karena ia memberi kesan ”aman” lantaran sejumlah hedge fund mengelola dana itu berdasar model matematika. Mereka dikenal sebagai quant fund. Quant fund inilah yang mengelola aktivitas sekuritisasi, yang ikut memperluas pasar produk sekuritisasi hingga mencapai hampir US$ 2 trili un di sektor kredit.

    Sepuluh tahun lalu, produk yang berkaitan dengan kredit rumah ini belum dikenal dalam sekuritisasi. Kini terjadi guncangan ketika ternyata subprime mortgage yang merupakan bagian yang cukup signifikan dalam sekuritisasi mengalami ”kerusakan” akibat makin banyaknya pengutang rumah yang tidak mampu membayar cicilan dan bunga.

    Tidak ada yang tahu persis berapa besarnya subprime itu dibandingkan total surat berharga dalam bentuk kredit. Namun, jelas beberapa investment banker ternama seperti Goldman Sachs, JP Morgan, Lehmann Brothers terpengaruh, bahkan Bear Stearns mengalami guncangan yang luar biasa.

    Yang menyulitkan kita memahami tingkat kerusakan pa sar kredit akibat kegagalan peminjam subprime ini adalah perkembangan dari quant fund itu sendiri. Apa sesungguhnya quant fund itu? Quant fund adalah hedge fund yang dijalankan dengan model-model komputer. Perdagangan dilakukan berbasis program yang memberikan order jual dan beli.

    Parameternya didasarkan pada tolok ukur yang dikenal di bursa seperti price earning ratio, price book value, dan EBITDA (Earning Before Interest, Tax, Depreciation and Amortization). Quant fund ini pada umumnya dikelola doktor-doktor ekonomi yang biasanya membeli berbagai tipe surat berharga (utang, saham, komoditas, uang) yang mere ka kategorikan sebagai over valued atau under valued.

    Mereka kemudian melakukan peminjaman berlipat kali banyaknya dan para pemberi pinjaman tidak berkeberatan karena mereka melihat quant fund ini dapat dipercaya lantaran model matematis dan kesan ”ilmiah” yang ada pada mereka.

    Yang kemudian terjadi adalah, akibat tekanan di pasar utang gara-gara keguncangan subprime, muncullah kepanik an di pasar saham. Ini makin dipertajam oleh berita bahwa banyak perusahaan (yang terkait dengan industri perumah an) dilanda kekurangan likuiditas.

    Para doktor yang menggunakan program komputer itu kemudian dipaksa menjual aset mereka (securities) untuk mengambil posisi kepemilikan uang tunai. Tetapi, karena sebagian besar dari mereka mempunyai model yang mirip, terjadilah ketidakseimbangan permintaan dan penawaran. Ini menimbulkan herd effect, yang menciptakan volatilitas di bursa dunia, termasuk Indonesia.

    Menjadi penting untuk menyimak ucapan Kepala Fede ral Reserve (Fed) Ben S. Bernanke dalam simposium di Jackson Hole, Wyoming. Ia menyatakan bahwa berdasar perkembangan finansial terakhir, data-data ekonomi yang selama ini ada, apakah data bulanan atau triwulanan, menjadi kurang berguna dalam membuat forecast atas aktivitas ekonomi dan tingkat inflasi. AS yang baru saja mencapai pertumbuhan triwulan empat persen—yang dalam ukuran biasa adalah angka yang sangat tinggi—kini harus berhati-hati.

    Betapa tidak, berkurangnya pembangunan rumah secara langsung mengurangi pertumbuhan ekonomi AS sebesar 0,75 persen dalam satu setengah tahun terakhir. Apa hubung annya dengan potensi krisis di bursa AS? Lagi, menurut Bernanke, sekuritisasi pinjaman perumahan (home mortgage) melonjak amat tinggi. Pada 1970, angkanya kurang dari satu persen, tapi pada 1980 sudah 10 persen, dan kini 56 persen dari home mortgage itu telah securitized.

    Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa gejolak bursa adalah mata rantai aktivitas sebagai berikut. Kredit perumahan subprime berubah akibat naiknya gagal bayar debitor rumah. Sementara itu, securitization kian dirasuki oleh pasar kredit perumahan dan pada gilirannya membuat pasar dipertanyakan kredibilitasnya. Kepanikan di sana-sini tidak dapat dicegah, sementara penjualan quant fund membuat terjadinya penilaian ulang atas harga saham, komoditas dan pasar mata uang.

    Apakah ujung dari gonjang-ganjing ini dan apa yang bisa dilakukan Fed? Ada tekanan kuat bagi Fed untuk menurunkan lagi Fed rate, padahal sebelumnya Fed telah mengintervensi bursa senilai US$ 130 miliar, sehingga akses pada likuiditas sebetulnya telah dipermudah. Bukan itu saja, dibuka pula discount window yang memungkinkan akses pada likuiditas untuk kondisi tertentu.

    Namun hingga kini belum ada tanda-tanda bursa menjadi ”tenang”. Jika Fed menurunkan tingkat bunga dan kegelisahan di bursa masih terjadi, apa gerangan penyebabnya? Salah satunya adalah fakta bahwa sekuritisasi seyogianya memakan korban yang lebih besar dari sekadar Bear Stearns dan Goldman Sachs, karena kita tahu securitization itu banyak mengandung elemen kredit perumahan.

    Artinya, masyarakat bursa di AS belum melihat ada pihak yang terkena dan ”terbakar”, dan ini membuat kredibilitas bursa belum pulih dibandingkan sebelum kisruh dimulai pada 27 Juli lalu. Sebetulnya, indeks Dow Jones (DJI) dari 27 Juli hingga sekarang tidaklah memburuk, sementara indeks bursa Jakarta sedikit melemah.

    Selain itu, bila dilihat dari gejolak mata uang, nilai tukar dolar AS terhadap yen melemah (1 US$=119,16 pada 26 Juli, menjadi 1US$=115,35 pada 6 September atau terdepresiasi 3,19 persen). Sementara itu, rupiah justru terdepresiasi 3,2 persen terhadap dolar AS (dari Rp 9.108 pada 26 Juli menjadi Rp 9.400 pada 6 September).

    Kita kembali pada pertanyaan awal. Apakah gejolak subprime akan menimbulkan krisis di pasar modal dunia? Hingga kini, jawabannya adalah belum. Apakah bisa dijamin tidak ada krisis di pasar modal dan suasana bursa dunia akan terkendali? Jawabannya masih menunggu perkembangan di bursa AS.

    Jawaban yang lebih penting buat kita barangkali apakah gejolak subprime ini mempunyai efek yang bisa besar, sehingga bisa menimbulkan krisis yang parah pada ekonomi kita.

    Untuk itu, kita perlu melihat pergerakan Bursa Jakarta dan Wall Street. Pada awal kejatuhan saham di Wall Street, IHSG di posisi 2.365,26 dan DJI 13.473,57 (26 Juli 2007). Sementara titik terendah terjadi pada 16 Agustus ketika Dow Jones mencapai 12.845,78 dan IHSG 1.908,64. Namun kini kedua indeks kembali naik. Tapi hal apa yang bisa menguatkan kita bila terjadi keguncangan di AS?

    Pertama-tama kita butuh emiten baru. Privatisasi BUMN yang selama kepemimpinan Menteri Negara BUMN sebe lumnya tidak menjadi prioritas, kini harus diutamakan. Dan tampaknya memang sudah dicanangkan Menteri Negara BUMN yang baru. Kita harus melihat fakta bahwa kenaikan IHSG yang juga meningkatkan kapitalisasi pasar tidak sejalan dengan peningkatan jumlah emiten.

    Dari 2002 hingga September 2007, kapitalisasi pasar Bursa Jakarta melonjak dari Rp 268,4 triliun menjadi Rp 1.561,7 triliun. Namun jumlah emiten hanya naik dari 331 menjadi 349. Kita lihat, misalnya, kinerja bank-bank di bursa yang dianggap baik sesungguhnya bukan karena kualitas bank itu meningkat. Mandiri dan BNI banyak menikmati keuntungan dari SBI dan SUN. Dan itu tidak ada kaitannya dengan peningkatan kredit—yang seharusnya dilakukan.

    Untuk itu, perlu diberi insentif agar perusahaan privat listing di BEJ. Bila benar bahwa sebentar lagi akan ada pe ngurangan pajak bagi perusahaan publik, maka itu menjadi ”a necessary but not sufficient condition”. Kondisi lain apa yang dibutuhkan? Itu tak lain adalah sektor riil yang bergerak—yang hingga kini dirasakan masih tersendat-sendat.

    Kita harus melihat Cina. Gejolak subprime tidak mempengaruhi Cina karena sektor riilnya tumbuh amat cepat. Itu pula yang membuat bursa Cina lebih tahan.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus