Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sulit nian nasib pengemudi angkutan umum belakangan ini. Bila menaikkan tarif dimusuhi penumpang, bila tak melakukannya terancam rugi. Maklum, kenaikan harga bensin dan solar tak hanya membuat biaya operasional naik tapi juga menambah biaya dapur. Maka alternatif yang tersisa adalah meminta bantuan pemerintah. Sialnya, mereka tak punya saluran langsung untuk menyampaikan aspirasi ini. Untuk urusan transportasi orang banyak ini, pihak yang mempunyai hubungan dengan para birokrat adalah Organda, organisasi pemilik kendaraan umum.
Bila kebetulan kepentingan awak dan pemilik sarana publik ini sejalan, tentu tak ada soal. Masalahnya kadang kala kepentingan mereka berlawanan. Misalnya pemilik mobil pasti berharap uang setoran pengemudi bertambah, sedangkan awak kendaraan berkeinginan sebaliknya. Wajar jika pemilik cenderung mendukung kenaikan tarif sebagai kompensasi meningkatnya harga bahan bakar, sedangkan pengemudi khawatir ditinggalkan penumpang dan memilih aksi mogok sebagai bentuk protes.
Kedua pilihan ini ujung-ujungnya menyulitkan konsumen. Sebagian warga kehilangan sarana angkutan kota dan sebagian lain terpaksa merogoh kocek lebih dalam untuk ongkos transportasi. Bila keadaan ini terus berlanjut, banyak penumpang akan mencari alternatif lain, misalnya membeli sepeda motor. Jika ini terjadi, akhirnya pengemudi dan pemilik kendaraan umum jua yang merugi.
Pemerintah tentu wajib membantu mereka. Bagaimana cara yang paling efektif untuk melakukannya jelas lebih merupakan urusan pemerintah daerah ketimbang pusat. Namun, karena keputusan menaikkan harga bahan bakar merupakan wewenang Istana, seharusnya pemerintah pusat melakukan koordinasi yang intensif dengan pemerintah daerah sebelum membuat kebijakan baru. Hal ini, sayangnya, alpa dilakukan. Buktinya, banyak pemerintah daerah terkesan tak siap mengantisipasi dampak kenaikan bahan bakar terhadap angkutan umum di wilayah mereka.
Kini Organda menuntut pemerintah memberikan subsidi sebagai kompensasi atas meningkatnya berbagai biaya yang ditanggung sektor angkutan umum. Permintaan itu ada yang wajar dan ada yang berlebihan. Untuk mengakomodasi tuntutan yang wajar, pemerintah pusat hanya perlu berembuk dengan pemerintah daerah dan biarkanlah penguasa daerah yang kemudian menyelesaikannya dengan pemilik dan awak kendaraan umum di wilayah masing-masing.
Persoalannya kemudian adalah dari mana sumber bantuan terhadap sektor angkutan publik ini diperoleh. Majalah ini berpendapat, sebaiknya pemerintah mencabut saja subsidi bahan bakar bagi kendaraan pribadi dan mengalirkan sebagian hasil penghematan itu untuk keperluan ini. Pemerintah tak perlu terlalu khawatir hal ini akan menimbulkan kebocoran besar-besaran. Pertamina terbukti telah berpengalaman menjual minyak tanah dengan tarif yang berbeda. Yang tanpa subsidi untuk sektor industri dan yang disubsidi berat untuk rakyat jelata.
Pertamina bahkan cukup berhasil melakukan program konversi minyak tanah rakyat ke elpiji di Jakarta dan merencanakan program serupa di kota-kota lain. Jadi cukup beralasan mengharapkan Pertamina dapat melakukan hal yang sama di sektor transportasi. Cara ini tak saja terasa lebih adil tapi sekaligus menghemat uang negara.
Bukankah uang negara yang terbatas jumlahnya ini lebih baik dipakai membantu kepentingan umum ketimbang diberikan kepada para pemilik mobil pribadi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo