Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ronny P. Sasmita
Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemberian subsidi pariwisata untuk tiket dan hotel, terutama menuju daerah tujuan wisata prioritas nasional, saat kondisi ekonomi cukup mengkhawatirkan adalah pilihan yang kurang bijak dan etis. Perlambatan ekonomi global yang kian nyata dan stagnasi ekonomi domestik yang berpacu dengan penyebaran virus corona sejatinya menjadi alasan yang sangat logis bagi pemerintah untuk menyiapkan langkah-langkah intervensi strategis, bukan reaksi sektoral yang sangat teknis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertama, prioritas subsidi pada orang-orang yang kelebihan uang untuk bersenang-senang di daerah wisata prioritas pada saat tingkat konsumsi rumah tangga 40 persen kelas menengah ke bawah sedang morat-marit tentu saja menjadi opsi yang kurang adil dan sensitif. Langkah paling strategis adalah mencari kebijakan intervensi yang tepat untuk menjaga daya beli agar pertumbuhan kuartal pertama tahun ini tidak meneruskan tren kuartal IV tahun lalu yang jatuh di bawah 5 persen akibat merosotnya tingkat konsumsi rumah tangga dari 40 persen kalangan terbawah. Apalagi kontribusi konsumsi rumah tangga tak kurang dari 56 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Tentu dimengerti bahwa ada niat baik pemerintah untuk menjaga sektor pariwisata tidak tertekan serius oleh isu corona. Memang, rata-rata pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara dalam lima tahun (2014-2018) sempat mencapai 14 persen per tahun. Angka tersebut selalu dibangga-banggakan sebagai lebih tinggi dibanding rata-rata pertumbuhan kunjungan pada periode 2009-2013 yang hanya 9 persen per tahun. Menurut Badan Pusat Statistik, kunjungan wisatawan mancanegara pada 2009 tercatat sebanyak 6,32 juta orang. Artinya, angkanya hanya meningkat menjadi 8,8 juta orang pada akhir 2013.
Sebenarnya, dalam tiga tahun belakangan, tren penurunan kunjungan wisatawan mancanegara sangat nyata terjadi. Hal tersebut jelas terlihat dari pertumbuhan pada 2019 yang hanya tersisa 1,88 persen. Jadi, persoalannya lebih banyak disebabkan oleh langkah-langkah strategis pariwisata nasional yang kinerjanya kurang signifikan ketimbang isu corona.
Celakanya, pergantian menteri pariwisata tidak dibarengi dengan pergantian sosok yang benar-benar baru dengan paradigma kepariwisataan yang baru pula. Istana masih sangat yakin akan beberapa strategi kepariwisataan nasional, yang terbukti selama tiga tahun belakangan tak bergigi dalam menghadirkan angka kunjungan wisatawan mancanegara sesuai dengan harapan.
Di sisi lain, beberapa kebijakan nasional beberapa waktu lalu jelas-jelas mendepak daya beli kalangan menengah ke bawah. Sebut saja kenaikan harga barang dan jasa yang diatur pemerintah, seperti naiknya iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, pemangkasan subsidi solar, dan kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen. Semuanya berpotensi menebalkan biaya hidup dan menekan konsumsi masyarakat. Padahal konsumsi berperan sekitar 56 persen terhadap produk domestik bruto nasional. Artinya, jika terjadi guncangan pada daya beli masyarakat, setengah roda ekonomi akan terganjal. Apalagi, pada Maret 2019, meski data kemiskinan menurun 0,15 persen dibanding September 2018, nyatanya terdapat peningkatan jumlah penduduk hampir miskin dan rentan miskin sebesar 3,9 persen, atau kini mencapai 66,7 juta jiwa (BPS, 2019).
Kelompok inilah yang paling berisiko jika tidak dijaga daya belinya. Saat terjadi guncangan pada pendapatan, 40 persen masyarakat terbawah akan jatuh ke dalam lubang kemiskinan. Maka, dari perspektif etika dan keadilan, konsumsi rumah tangga, terutama untuk 40 persen masyarakat terbawah, jauh lebih penting dijaga dan diberi berbagai macam insentif, termasuk aneka rupa subsidi, ketimbang mengakalinya dengan berbagai justifikasi untuk dipindahkan ke saku kalangan menengah atas yang akan pelesiran.
Hal yang juga perlu pula ditimbang secara arif adalah apakah langkah yang tersisa untuk menurunkan harga tiket pesawat di satu sisi dan menggairahkan sektor pariwisata di sisi lain hanya opsi subsidi, suntikan dana dari anggaran pendapatan dan belanja negara, sekaligus secara tidak langsung untuk meliputi langkah penyelamatan Garuda secara cepat sebagai salah satu pihak ketiga yang akan ikut mengeksekusi dana subsidi setengah triliun rupiah tersebut? Persoalan tiket pesawat yang mahal bukanlah salah Garuda, tapi karena kondisi makro ekonomi nasional yang sudah tidak bersahabat lagi dengan usaha penerbangan. Nyaris semua perhitungan bisnis penerbangan berdasarkan dolar, sementara mayoritas lini bisnisnya berjibaku meraup rupiah. Risikonya, saat dolar sedikit saja menyentil rupiah, bisnis penerbangan akan jatuh-bangun.
Artinya, subsidi tiket pesawat tidak akan mengubah lanskap bisnis penerbangan yang terus-menerus tertekan. Subsidi tersebut tidak diperlukan secara strategis oleh maskapai, terutama Garuda, karena tidak akan memurahkan harga tiket dalam jangka panjang. Ia hanya menghindari Garuda merugi saat ratusan ribu kursinya dijual murah. Jadi, jelas bahwa subsidi atau stimulus pariwisata seharga Rp 500 miliar tersebut adalah kebijakan yang dari moralitas ekonomi Pancasila dan secara ekonomi strategis juga jauh panggang dari api.