Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Sulitnya Membenahi Jamsostek

29 Januari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMELUT yang sekarang terjadi di PT Jamsostek sudah mengkhawatirkan. Bukan saja karena perusahaan ini mengelola Rp 47 triliun, satu jumlah yang sangat besar. Yang lebih penting, uang yang dikelola perusahaan yang 100 persen sahamnya dimiliki pemerintah itu adalah milik 7,4 juta orang buruh swasta yang menjadi anggota aktif. Jika ditambah anggota tidak aktif, peserta program jaminan sosial tenaga kerja di perusahaan itu mencapai 18 juta orang.

Tentu saja tidak elok jika uang yang sedemikian besar dijadikan rebutan oleh manajemen Jamsostek, sekumpulan orang yang justru hidup dari keringat para buruh kecil ini. Manajemen seharusnya berusaha membalas jasa kaum pekerja ini dengan bekerja mati-matian agar uang tersebut beranak-pinak dengan cepat dan aman. Mereka harus memastikan para pekerja kelak bisa hidup layak ketika pensiun, menikmati manfaat yang sebesar-besarnya dari sebagian upah yang sudah mereka tabung selama bekerja. Kisruh akibat berebut jabatan seperti yang mereka pertontonkan sekarang sungguh tidak etis.

Kisruh ini bermula ketika Dewan Komisaris Jamsostek memberhentikan sementara Direktur Utama Iwan Prijono Pontjowinoto dengan alasan tidak bisa bekerja sama dengan anggota direksi lain dan karyawan. Dewan Komisaris melihat kebijakan Iwan dianggap sudah membahayakan perusahaan dan menempatkan perusahaan itu pada posisi yang sulit. Dewan Komisaris kemudian menyodorkan nama Andi Achmad sebagai pelaksana tugas direktur utama—yang artinya membuat Iwan non-aktif. Iwan tak mau menyerah, ia ganti menyodorkan Acep Jayaprawira sebagai penggantinya.

Semua keputusan itu kemudian dianulir oleh Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sugiharto. Pemerintah lalu menyodorkan Wahyu Hidayat, bekas Direktur Utama Merpati, sebagai wakil direktur utama sekaligus pelaksana tugas direktur utama, sampai rapat umum pemegang saham dilaksanakan bulan depan. Iwan dinyatakan cuti. Di sini sudah tercium konflik. Dewan Komisaris, yang seharusnya mewakili kepentingan pemerintah, justru menganggap sepi keputusan Menteri Negara BUMN.

Meskipun pemberhentian sementara Iwan oleh Dewan Komisaris ada dasarnya, yaitu Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Jamsostek, tindakan itu sudah bisa dikatakan membuat perusahaan gonjang-ganjing. Tanpa direktur utama yang definitif, keputusan besar tentu tak bisa diambil. Menteri Negara BUMN bisa saja membatalkan keputusan Dewan Komisaris dalam rapat umum pemegang saham bulan depan, tapi kelancaran kerja perusahaan pasti sudah terganggu tanpa direktur utama yang definitif.

Lagipula, harusnya kinerja seorang direktur utama mesti jelas ukurannya. Kalau Iwan dianggap tidak adaptif terhadap lingkungan, kinerja keuangan yang ditunjukkannya mesti dihitung juga. Aset Jamsostek meningkat tajam, dari Rp 32 triliun menjadi Rp 47 triliun selama setahun Iwan memimpin. Keuntungan bersih juga naik, dari Rp 630 miliar menjadi Rp 775 miliar. Dari aspek keuangan, Iwan layak mendapat bintang, bukan pemecatan.

Tentu ukuran non-keuangan perlu diperhatikan, misalnya dalam hal kerja sama dengan jajaran direksi yang lain serta komisaris. Tapi aspek non-keuangan semacam itu semestinya tidak mengalahkan hasil nyata seperti yang telah dicapai selama ini. Kalau prestasi di bidang keuangan selalu dikalahkan oleh aspek yang lain, itu bisa memberikan pesan yang salah kepada publik. Seolah-olah Jamsostek tidak bisa menerima seorang direktur utama yang memiliki kinerja keuangan baik, walau tidak adaptif terhadap kultur perusahaan yang selama ini dikenal sebagai sarang koruptor itu.

Maka, prestasi lain yang mesti diperhatikan adalah kemampuan seorang direktur utama membersihkan korupsi. Tolok ukur ini sangat penting. Sebab, sudah luas diketahui, di masa lalu banyak sekali duit kaum buruh yang diinvestasikan di tempat yang keliru. Bukan untung yang didapat, uang buruh malah amblas tak berbekas. ”Permainan” ini melibatkan orang dalam Jamsostek.

Salah satunya adalah ketika Jamsostek membeli surat utang Bank Global senilai Rp 100 miliar. Pada saat pemerintah menutup Bank Global pada awal 2005, Jamsostek tak bisa menarik duit tersebut. Ada dua investasi lain senilai hampir Rp 155 miliar yang juga sia-sia. Padahal, jika dana itu ditempatkan di deposito bank yang sehat, paling tidak bisa menghasilkan Rp 20 miliar setahun. Jumlah ini cukup untuk membebaskan biaya sekolah bagi hampir 60 ribu siswa sekolah menengah pertama selama satu tahun.

Dua orang dari jajaran direksi lama Jamsostek, Ahmad Juanedi dan Andi Rahman Alamsyah, memang sudah masuk bui gara-gara kesalahan tersebut. Tapi citra Jamsostek telanjur buruk. Setiap direktur utama dituduh ”ada main”, termasuk Iwan Pontjowinoto. Serikat Pekerja Jamsostek mengaku punya segepok bukti pelanggaran yang dilakukan Iwan.

Adalah tugas Menteri Negara BUMN untuk memikirkan pemulihan citra Jamsostek ini. Kisruh yang sekarang terjadi bisa jadi momentum baru bagi Menteri Sugiharto untuk bertindak tegas. Langkah itu bisa dimulai dengan memilih komisaris dan direktur utama yang bereputasi baik. Biarlah direktur utama sendiri yang membentuk tim kerjanya. Para kutu busuk secepatnya perlu disapu bersih. Sulit, tapi bukan tak mungkin dilakukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus